Meski tampak sunyi, novel ini penuh riak konflik batin dan paradoks sosial. Lewat teknik alur non-linier dan penggunaan narasi batin yang mendalam, Iwan Simatupang menghadirkan dunia yang tidak runut, tetapi sangat reflektif. Kritik terhadap militerisme, agama, seni, dan nilai-nilai kemapanan dibalut dalam absurditas yang menggelitik dan kadang menyakitkan. Setiap babak terasa seperti potret filosofis, bukan narasi konvensional.
Di akhir novel, si peziarah tampak tidak mencapai “akhir” yang definitif. Ziarahnya tidak menghasilkan jawaban, tetapi justru menegaskan absurditas itu sendiri sebagai bagian dari keberadaan manusia. Pembaca dibawa dalam semacam labirin pemikiran, di mana eksistensi, kehampaan, dan harapan saling silang. Ziarah bukan kisah tentang pencapaian, melainkan tentang perjalanan yang tak selesai—seperti hidup itu sendiri.
1. Kehilangan sebagai Titik Awal Kehancuran
Pelukis dalam Ziarah tidak diberi nama. Ia hanya disebut sebagai “Tokoh Kita”—sebuah pilihan yang membuka ruang identifikasi universal. Kematian istrinya menjadi poros kehancuran eksistensial. Ia berhenti melukis, membuang alat-alatnya ke laut, dan hidup dari pekerjaan serabutan. Kehidupan bukan lagi tempat kreativitas, melainkan arena derita dan pengasingan batin.
Tokoh Kita menolak dunia yang dahulu memujanya. Ia tidak lagi tinggal di hotel, tidak lagi berpesta dengan lukisan. Yang tersisa hanyalah ia, arak, dan kenangan. Dalam kegilaan yang tampak tidak masuk akal, ia terus menyebut nama istrinya, meneguk anggur, dan menanti istrinya muncul dari tikungan. Semua rutinitasnya menjadi ritual yang absurd, sekaligus ziarah yang personal.
Iwan Simatupang tidak hanya menarasikan duka, ia memaksa pembaca menatap duka dari dalam kepala si tokoh. Kita dibawa untuk menghayati kesedihan yang tidak bisa diredakan oleh logika. Ziarah menunjukkan bahwa kehilangan tidak selalu berarti perpisahan; kadang ia adalah kesatuan yang menyakitkan, yang menuntun seseorang ke dalam kekacauan batin terdalam.
2. Menjadi Opseter: Ziarah sebagai Jalan Spiritual
Ketika Tokoh Kita menerima pekerjaan sebagai pengapur tembok pemakaman, itulah titik balik dalam kisahnya. Ia tidak lagi hanya peziarah, ia menjadi bagian dari kuburan itu sendiri. Ia membersihkan, merawat, dan mengecat tembok makam, seolah menyapu luka-lukanya sendiri satu per satu.
Pekerjaan itu bukan hanya kerja fisik, melainkan bentuk meditasi. Lima jam sehari, ia mengecat tanpa bicara, tanpa interupsi. Ritual ini menjadi jalan spiritual yang membawanya kembali ke titik kemanusiaan yang lebih dalam. Ia berhenti menjadi seniman untuk menjadi penjaga sunyi: penjaga makam, penjaga luka, penjaga cinta yang telah tiada.
Relasi antara Tokoh Kita dengan opseter lama menjadi penting. Opseter adalah penjaga batas antara hidup dan mati, antara akal dan absurditas. Setelah opseter lama meninggal, Tokoh Kita melamar untuk menggantikannya. Ia tidak hanya ingin dekat dengan makam istrinya, tetapi juga ingin menjaga dunia ziarah itu sendiri. Ia, dengan caranya yang unik, telah menemukan "makna" yang tak lagi ia cari dalam lukisan.
3. Absurditas dan Ketakziman dalam Narasi yang Retak
Salah satu kekuatan Ziarah terletak pada ketidakpastian alurnya. Iwan Simatupang dengan sadar menyusun narasi yang mengalir seperti mimpi: loncat-loncat, penuh simbol, dan kerap mengacaukan antara realitas dan fantasi. Tokoh Kita bisa bercinta di aspal, bisa tiba-tiba jatuh cinta, lalu kehilangan, lalu menikah dalam birokrasi gila yang disahkan Brigadir Polisi.