Ziarah pada Makam, Ziarah pada Jiwa: Membaca Kesunyian dan Kegilaan dalam Novel Ziarah Karya Iwan Simatupang
"Esok akan menjadi kini. Kini yang menjadi kemarin tak dihiraukan, karena segala yang lampau hanya gumpalan hitam." — Iwan Simatupang, Ziarah
Oleh Karnita
Pendahuluan: Di Tikungan Sunyi, Kita Bertemu Diri Sendiri
Langit Kotapraja nyaris tak pernah biru. Di jalanan yang berdebu dan trotoar yang retak, seorang pria melangkah seperti tanpa arah, tapi dengan rindu yang pasti. Di setiap tikungan, ia berharap bertemu sosok yang telah tiada. Istrinya. Sosok yang membuat lukisan-lukisannya berhenti, malam-malamnya berubah menjadi perjamuan arak dan ratapan. Ia bukan lagi seniman. Ia telah menjadi ziarah itu sendiri.
Novel Ziarah karya Iwan Simatupang pertama kali terbit pada 1966, dan sejak itu menjadi tonggak dalam sastra Indonesia modern. Karya ini menyajikan absurditas eksistensial yang belum lazim dalam peta sastra kita kala itu. Ziarah menyentuh kegelisahan manusia akan makna hidup, kehilangan, dan keinginan untuk menyatu dengan sesuatu yang lebih besar—baik cinta, Tuhan, maupun kematian.
Dengan gaya naratif yang menabrak konvensi, Iwan Simatupang menghadirkan narasi filosofis yang menantang nalar, sekaligus menyentuh keintiman emosi pembaca. Tak heran, novel ini memenangi penghargaan Roman ASEAN terbaik pada 1977 dan diterjemahkan ke berbagai bahasa, menjadikannya bacaan penting dalam kajian sastra eksistensialisme Indonesia.
Sinopsis Ziarah
Novel Ziarah mengisahkan perjalanan eksistensial seorang tokoh yang tak disebutkan namanya secara eksplisit—dikenal sebagai "si peziarah". Ia melakukan ziarah ke makam sahabatnya, Mayor, yang telah gugur dalam peperangan. Ziarah ini bukan sekadar penghormatan, melainkan perenungan akan absurditas kehidupan, kematian, dan makna keberadaan. Dari langkah-langkahnya yang tanpa tujuan jelas, pembaca segera menangkap nuansa kesunyian, kegelisahan, dan pencarian jati diri yang kental.
Perjalanan si peziarah membawanya bertemu dengan beragam karakter absurd—mulai dari penjaga makam, pendeta, pelukis gila, hingga perempuan misterius. Tiap pertemuan tidak menyumbang alur linier, melainkan memantik dialog dan renungan filosofis. Tokoh-tokoh ini seolah hadir bukan sebagai individu utuh, melainkan sebagai simbol-simbol sosial dan eksistensial yang menantang pemahaman si peziarah terhadap kenyataan.
Sepanjang kisah, si peziarah tidak tampak ingin menyelesaikan sesuatu secara konkret. Ia tidak mencari kebenaran absolut, tetapi membiarkan pertanyaan-pertanyaan menggantung. Ia berjalan, berbicara, berpikir, dan bertanya, namun tidak menuntut jawaban pasti. Inilah yang menjadikan novel ini kuat sebagai narasi eksistensialis: ia bergerak di antara absurditas dan kesadaran diri, di antara kehidupan dan kematian, realitas dan absurditas.