Wildan Yatim memberi kita harapan bahwa masyarakat bisa sembuh, selama ada ruang untuk mendengar, menyapa, dan melepas ego sejarah. Novel ini menolak glorifikasi kekerasan dan menyuguhkan pentingnya membangun kembali dari puing konflik.
Ia menunjukkan bahwa penyembuhan sosial bukan datang dari elite, tapi dari warga yang bersedia merawat harmoni bersama. Inilah pelajaran paling penting dari Pergolakan: bahwa perdamaian sejati lahir dari bawah, dari hati yang telah belajar memaafkan.
Rekonsiliasi bukanlah pemaafan naif, tetapi pilihan cerdas untuk tidak terus-menerus saling melukai.
Ia adalah sikap kritis terhadap sejarah, tetapi juga jembatan bagi masa depan yang lebih dewasa. Dalam novel ini, jalan tengah bukan jalan lemah, melainkan jalan bijak yang berani merawat luka tanpa memperpanjang dendam.
Keunggulan dan Kelemahan
Keunggulan utama novel Pergolakan terletak pada keluwesan naratif yang menggabungkan dakwah, sosiologi desa, dan konflik politik tanpa terjebak pada dikotomi baik-buruk. Bahasanya sederhana, tetapi sarat makna. Deskripsinya hidup tanpa hiperbola.
Wildan Yatim menulis dengan nada tenang namun kuat, menciptakan suasana desa yang terasa otentik dan tidak artifisial. Pembaca seakan diajak menyelami realitas kampung yang menjadi mikrokosmos dari gejolak nasional.
Namun, kelemahannya terletak pada ketimpangan pembangunan tokoh pendukung. Beberapa karakter hanya hadir sebagai pelengkap konflik, tanpa pengembangan psikologis yang memadai. Selain itu, narasi sejarah PRRI dan PKI sebaiknya diberi sedikit penjelasan konteks agar pembaca generasi muda lebih mudah memahami.
Hal ini penting karena tanpa latar pengetahuan sejarah, pesan moral dan ideologis novel ini bisa kehilangan kedalaman maknanya. Meskipun demikian, kekuatan utama tetap terletak pada sentralitas karakter Abdul Salam sebagai jantung dari narasi moral dan spiritual novel.
Penutup: Novel yang Patut Diangkat Kembali dalam Diskursus Sastra Sosial
Pergolakan bukan hanya novel sejarah atau dakwah, tetapi kisah bagaimana masyarakat kecil mencoba bertahan dan berpikir jernih di tengah kekacauan ideologi. Ia tidak menjawab semua pertanyaan, tapi mengajak pembaca untuk merenung bersama.
Sebagaimana kutipan bijak yang bisa kita tarik dari semangat Abdul Salam:
“Yang harus kita menangkan bukan orang lain, tapi batin kita sendiri yang ingin marah saat tidak dimengerti.”
Wildan Yatim telah menulis karya yang layak diletakkan sejajar dengan novel-novel besar Indonesia bertema sosial-politik. Karya ini adalah napas panjang dari desa—yang ternyata mampu menyuarakan kebijaksanaan yang tidak kalah dari kota.
Daftar Pustaka: