Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Pantai, Perahu, dan Keramba: Mencari Titik Temu di Tengah Gelombang

10 Juli 2025   07:17 Diperbarui: 10 Juli 2025   07:17 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

2. Ekonomi Biru, Tapi Tak Boleh Menenggelamkan Rakyat

Indonesia memang tengah mendorong narasi ekonomi biru---yakni pemanfaatan laut secara berkelanjutan untuk pembangunan. Namun, semangat itu harus berangkat dari pemberdayaan ekonomi rakyat pesisir, bukan dominasi korporasi. Jika keramba-keramba besar hadir di zona tangkap nelayan kecil tanpa mitigasi, maka sesungguhnya kita sedang menumbuhkan ketimpangan struktural.

Budi daya ikan dan lobster bukanlah aktivitas yang salah. Tapi ketika dilakukan tanpa mempertimbangkan relasi spasial dan sosial masyarakat lokal, justru bisa menciptakan 'zona konflik baru'. Apalagi jika hasilnya tidak dikembalikan dalam bentuk peningkatan kesejahteraan nelayan, melainkan hanya menguntungkan segelintir pihak.

Langkah strategis yang dapat diambil adalah memastikan perusahaan yang berinvestasi memiliki program pemberdayaan masyarakat yang nyata. Misalnya, dengan skema keramba rakyat yang dikelola koperasi nelayan, bukan sepenuhnya oleh korporasi. Kolaborasi ini akan memperkuat ekonomi lokal dan membangun rasa memiliki dari warga sekitar.

3. Wisata Bahari Tak Bisa Diabaikan

Pangandaran bukan sekadar pantai, ia adalah narasi wisata yang telah dibangun bertahun-tahun oleh pelaku lokal. Water spot seperti banana boat, parasailing, hingga perahu pesiar menjadi nadi ekonomi yang menyerap tenaga kerja lokal dalam jumlah besar. Penempatan keramba yang terlalu dekat dengan zona wisata jelas menjadi ancaman terhadap estetika visual, kenyamanan, bahkan keselamatan pengunjung.

Wisata bahari membutuhkan ruang yang lapang, bersih, dan aman. Jika area itu dipenuhi alat-alat budi daya terapung, dikhawatirkan akan terjadi konflik fisik di laut: antara kapal wisata dan fasilitas keramba. Ini bukan spekulasi, tetapi pengalaman dari daerah-daerah lain yang gagal menata zonasi laut secara adil.

Solusinya adalah dengan menyusun ulang marine spatial planning yang berbasis data dan partisipasi. Pemerintah daerah bisa menggandeng akademisi, pelaku wisata, dan warga untuk merumuskan zonasi baru yang memberikan ruang tumbuh bagi semua sektor: perikanan, wisata, konservasi, dan riset. Zonasi inklusif adalah jembatan damai bagi ekonomi pesisir yang beragam.

4. Ketika Sosialisasi Diabaikan, Ketegangan Tak Terelakkan

Jeje Wiradinata menyebut bahwa dirinya selaku Ketua HNSI tidak pernah diundang dalam sosialisasi rencana keramba. Ini alarm penting. Dalam sistem demokrasi, partisipasi warga bukan sekadar formalitas, tapi landasan legitimasi kebijakan. Ketika warga tak dilibatkan, maka transparansi pun dipertanyakan.

Kita belajar dari banyak kasus konflik agraria dan sumber daya alam di Indonesia---semuanya berawal dari minimnya komunikasi dua arah. Informasi hanya mengalir satu arah dari pusat ke daerah, dari atas ke bawah. Padahal, untuk urusan yang menyangkut ruang hidup warga, pendekatan top-down justru rentan memicu penolakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun