Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Pantai, Perahu, dan Keramba: Mencari Titik Temu di Tengah Gelombang

10 Juli 2025   07:17 Diperbarui: 10 Juli 2025   07:17 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tumpukan keramba terapung rencananya akan dipasang di area  Pantai Timur Pangandaran.* Agus Kusnadi/Kontributor "PR"

Pantai, Perahu, dan Keramba: Mencari Titik Temu di Tengah Gelombang Aspirasi
"Amanah laut bukan hanya tentang izin, tapi tentang keseimbangan antara hidup dan penghidupan."

Oleh Karnita

Pendahuluan: Ketika Laut Jadi Ruang Bersilang Aspirasi

Dalam lanskap biru Pantai Timur Pangandaran yang biasa dipenuhi riuhnya perahu nelayan dan semarak water sport wisatawan, kini bergulir sebuah wacana yang memantik gelombang reaksi publik. Diberitakan oleh Agus Kusnadi dalam artikel berjudul "Nelayan dan Pelaku Wisata Water Spot Tolak Penambahan Keramba Jaring Apung di Pantai Pangandaran" yang dimuat Pikiran-Rakyat.com (6 Juli 2025), wacana pemasangan tambahan keramba jaring apung oleh PT Pasifik Bumi Samudera mendapat penolakan dari berbagai pihak, khususnya Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) dan pelaku wisata lokal. Dikhawatirkan, kebijakan ini akan menimbulkan gangguan pada lalu lintas perahu nelayan serta mereduksi daya tarik wisata air yang menjadi andalan ekonomi masyarakat.

Kita patut mengapresiasi keberanian media dan para tokoh lokal seperti Jeje Wiradinata yang menyuarakan potensi konflik ruang kelautan secara terbuka namun konstruktif. Dalam sejarah kebijakan pemanfaatan ruang laut, kerapkali terjadi tumpang tindih antara program investasi, konservasi, dan kepentingan ekonomi rakyat pesisir. Belajar dari berbagai kasus serupa, keterlibatan warga lokal dan transparansi pengambilan keputusan menjadi syarat mutlak agar pembangunan tak malah meninggalkan luka ekologis dan sosial.

Penulis tertarik mengulas isu ini karena relevansinya sangat tinggi terhadap keberlanjutan tata kelola pesisir. Konflik kecil di atas gelombang ini merepresentasikan persoalan lebih besar: bagaimana kita mengelola sumber daya laut secara inklusif? Apakah pertimbangan teknis cukup tanpa mendengar denyut nadi kehidupan di sekitarnya? Artikel ini tidak dimaksudkan untuk mendiskreditkan, melainkan mengajak semua pihak mencari solusi bersama dengan semangat kolaboratif seperti yang biasa didengungkan oleh tokoh-tokoh bijak seperti Sultani atau Nuning---yakni pembangunan yang menyatu dengan aspirasi warga.

1. Ruang Laut: Milik Siapa dan Untuk Apa?

Permasalahan utama yang mencuat bukan sekadar soal izin dari kementerian, tetapi lebih dalam: siapa yang punya kuasa menentukan fungsi ruang laut? Lokasi pemasangan keramba terapung di Pantai Timur Pangandaran merupakan area yang selama ini hidup oleh kegiatan perikanan rakyat dan wisata bahari. Ketika ruang ini tiba-tiba dialihfungsikan menjadi area budi daya industri, tanpa keterlibatan warga terdampak, muncul pertanyaan mendasar tentang keadilan ekologis dan sosial.

Dalam hal ini, pihak HNSI dan pelaku wisata bukan sedang menolak kemajuan. Mereka hanya menuntut keterlibatan yang adil dalam pengambilan keputusan. Keberadaan terumbu karang, jalur perahu nelayan, hingga kawasan konservasi di lokasi rencana pemasangan keramba adalah fakta ekologis yang tidak boleh diabaikan. Rencana investasi harus mengindahkan daya dukung dan daya tampung kawasan secara ilmiah dan partisipatif.

Solusinya? Perlu segera dilakukan audit lingkungan dan konsultasi publik terbuka yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Prinsip free, prior, and informed consent (FPIC) yang diakui dalam hukum internasional mesti diterapkan secara nyata di panggung lokal. Pemerintah daerah bisa memediasi ruang dialog agar konflik ini tak membesar menjadi resistensi sosial.

2. Ekonomi Biru, Tapi Tak Boleh Menenggelamkan Rakyat

Indonesia memang tengah mendorong narasi ekonomi biru---yakni pemanfaatan laut secara berkelanjutan untuk pembangunan. Namun, semangat itu harus berangkat dari pemberdayaan ekonomi rakyat pesisir, bukan dominasi korporasi. Jika keramba-keramba besar hadir di zona tangkap nelayan kecil tanpa mitigasi, maka sesungguhnya kita sedang menumbuhkan ketimpangan struktural.

Budi daya ikan dan lobster bukanlah aktivitas yang salah. Tapi ketika dilakukan tanpa mempertimbangkan relasi spasial dan sosial masyarakat lokal, justru bisa menciptakan 'zona konflik baru'. Apalagi jika hasilnya tidak dikembalikan dalam bentuk peningkatan kesejahteraan nelayan, melainkan hanya menguntungkan segelintir pihak.

Langkah strategis yang dapat diambil adalah memastikan perusahaan yang berinvestasi memiliki program pemberdayaan masyarakat yang nyata. Misalnya, dengan skema keramba rakyat yang dikelola koperasi nelayan, bukan sepenuhnya oleh korporasi. Kolaborasi ini akan memperkuat ekonomi lokal dan membangun rasa memiliki dari warga sekitar.

3. Wisata Bahari Tak Bisa Diabaikan

Pangandaran bukan sekadar pantai, ia adalah narasi wisata yang telah dibangun bertahun-tahun oleh pelaku lokal. Water spot seperti banana boat, parasailing, hingga perahu pesiar menjadi nadi ekonomi yang menyerap tenaga kerja lokal dalam jumlah besar. Penempatan keramba yang terlalu dekat dengan zona wisata jelas menjadi ancaman terhadap estetika visual, kenyamanan, bahkan keselamatan pengunjung.

Wisata bahari membutuhkan ruang yang lapang, bersih, dan aman. Jika area itu dipenuhi alat-alat budi daya terapung, dikhawatirkan akan terjadi konflik fisik di laut: antara kapal wisata dan fasilitas keramba. Ini bukan spekulasi, tetapi pengalaman dari daerah-daerah lain yang gagal menata zonasi laut secara adil.

Solusinya adalah dengan menyusun ulang marine spatial planning yang berbasis data dan partisipasi. Pemerintah daerah bisa menggandeng akademisi, pelaku wisata, dan warga untuk merumuskan zonasi baru yang memberikan ruang tumbuh bagi semua sektor: perikanan, wisata, konservasi, dan riset. Zonasi inklusif adalah jembatan damai bagi ekonomi pesisir yang beragam.

4. Ketika Sosialisasi Diabaikan, Ketegangan Tak Terelakkan

Jeje Wiradinata menyebut bahwa dirinya selaku Ketua HNSI tidak pernah diundang dalam sosialisasi rencana keramba. Ini alarm penting. Dalam sistem demokrasi, partisipasi warga bukan sekadar formalitas, tapi landasan legitimasi kebijakan. Ketika warga tak dilibatkan, maka transparansi pun dipertanyakan.

Kita belajar dari banyak kasus konflik agraria dan sumber daya alam di Indonesia---semuanya berawal dari minimnya komunikasi dua arah. Informasi hanya mengalir satu arah dari pusat ke daerah, dari atas ke bawah. Padahal, untuk urusan yang menyangkut ruang hidup warga, pendekatan top-down justru rentan memicu penolakan.

Langkah terbaik kini adalah menyelenggarakan forum dialog publik, difasilitasi oleh pemerintah daerah dan lembaga independen. Di sana, semua pihak bisa menyampaikan argumen secara rasional dan terbuka. Jika perusahaan memiliki niat baik, maka transparansi harus dikedepankan, bukan dilindungi oleh jargon "izin sudah ada".

5. Konservasi Bukan Penghalang, Tapi Penjaga Masa Depan

Isu konservasi terumbu karang dan kedalaman laut menjadi sorotan penting. Lokasi keramba berada di kawasan yang kedalamannya hanya 6--9 meter dan dekat dengan zona konservasi. Ini bukan sekadar soal teknis, tapi prinsip perlindungan ekosistem laut yang tak bisa ditawar. Ketika kerusakan terjadi, biaya pemulihannya bisa jauh lebih mahal daripada keuntungan yang didapat.

Sebagai bangsa bahari, kita punya kewajiban menjaga ekosistem pesisir untuk generasi mendatang. Kebijakan yang mengabaikan konservasi hanya akan menciptakan boom sesaat tapi krisis jangka panjang. Terumbu karang bukan hanya rumah ikan, tapi penyelamat iklim dan penahan abrasi.

Solusinya bukan menolak investasi, tapi memastikan bahwa setiap investasi laut tunduk pada prinsip konservasi. Ini bisa melalui studi lingkungan strategis (SES) dan integrasi proyek dalam kawasan konservasi lestari berbasis masyarakat. Jika dikelola bersama, konservasi bisa menjadi nilai tambah ekonomi, bukan penghambat.

Penutup: Di Atas Ombak, Kita Bisa Saling Menjaga

Laut adalah ruang kehidupan. Ia tak boleh dipandang semata sebagai ruang ekonomi, apalagi hanya sekadar koordinat izin. Konflik keramba di Pangandaran adalah cermin bagi kita semua: bahwa setiap pembangunan harus menjadikan aspirasi warga sebagai kompas utama. Ketika suara nelayan, pelaku wisata, dan warga lokal tidak didengar, maka pembangunan bisa kehilangan pijakan moralnya.

Sebagaimana dikatakan oleh mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, laut harus dijaga bukan hanya dengan izin, tapi dengan rasa memiliki. Kita berharap agar Pangandaran tetap menjadi surga pesisir yang adil bagi semua, dari nelayan tradisional hingga pegiat wisata. Di atas ombak, mari kita saling menjaga.

"Pembangunan terbaik adalah yang tak menyisakan korban di belakangnya."

Daftar Pustaka

  1. Kusnadi, Agus. (2025, 6 Juli). Nelayan dan Pelaku Wisata Water Spot Tolak Penambahan Keramba Jaring Apung di Pantai Pangandaran. Pikiran Rakyat. https://www.pikiran-rakyat.com
  2. Kompas.com. (2024, 3 September). Zonasi Laut dan Tantangan Pembangunan Pesisir Berkelanjutan. https://www.kompas.com
  3. Tempo.co. (2024, 10 Februari). Ketika Investasi Mengusik Ekologi Pesisir. https://www.tempo.co
  4. Media Indonesia. (2023, 14 Oktober). Nelayan vs Industri: Siapa Mengatur Laut?. https://www.mediaindonesia.com

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun