Namun, buku ini juga berisiko terlalu menyederhanakan perjuangan mempertahankan konsistensi, terutama bagi mereka yang berjuang secara ekonomi atau emosional. Tetap perlu ada ruang untuk membahas burnout dan jeda sebagai bagian dari proses branding yang sehat.
3. Nilai sebagai Inti dari Branding
Bagi Derick, branding bukan soal seberapa sering seseorang tampil, tapi seberapa bernilai kehadirannya. Ia mengajarkan pentingnya memiliki "sesuatu untuk diberikan", baik itu ide, solusi, atau inspirasi. Hal ini membuat konsep personal branding tidak lagi sebatas impresi, tetapi kontribusi.
Di tengah dunia yang dipenuhi konten kosong dan pencitraan, pendekatan ini terasa sangat membumi. Derick mendorong pembaca membentuk citra dari dalam, bukan dari teknik pemasaran luar semata. Ia menempatkan keaslian, nilai, dan kebermanfaatan sebagai tiga pilar utama.
Namun, buku ini belum menyentuh cukup dalam soal bagaimana menyeimbangkan antara memberi nilai dan mempertahankan ruang privat. Dalam praktik, banyak pembuat konten kesulitan membedakan batas antara personal dan publik.
4. Persona yang Menjembatani Merek dan Manusia
Derick memperkenalkan konsep "persona" sebagai simpul antara personal branding dan brand korporat. Ini penting dalam konteks saat banyak perusahaan besar memilih bekerja sama dengan individu yang kredibel secara digital. Personal branding menjadi modal bukan hanya untuk dikenali, tetapi dipercaya.
Konsep ini sangat tepat sasaran, terutama bagi pembaca yang bekerja di bidang kreatif, komunikasi, atau kewirausahaan. Persona bukan pencitraan palsu, melainkan representasi diri yang dikurasi dengan nilai dan niat.
Namun demikian, pendekatan ini masih minim refleksi kritis terhadap kemungkinan manipulasi persona demi kepentingan komersial. Buku ini bisa lebih kaya jika mengulas batas-batas etika dalam memainkan persona publik.
5. Keteladanan Sebagai Dampak Branding