Tokoh Azhar---suami pertama Mariah---bukan hanya representasi dari suami yang gagal menjadi pelindung, tapi juga simbol dari budaya patriarki yang begitu mudah memvonis perempuan. Dalam satu momen, ia percaya pada fitnah tanpa memberi ruang klarifikasi. Selebihnya, hidup Mariah tergelincir karena satu keputusan gegabah itu.
Namun Hamka tidak serta merta membenci Azhar. Ia memberi ruang untuk penyesalan. Di akhir cerita, ketika Azhar menyadari bahwa ia telah mengusir berlian dari rumahnya sendiri, penyesalan itu tak cukup untuk menghapus jejak kehancuran. Di sinilah letak kepiluan yang mengiris: kadang kebaikan datang terlambat, dan manusia hanya bisa meratap di kuburan sesal.
Sementara suami kedua Mariah---seorang penjudi yang ringan tangan---melengkapi gambaran lelaki dalam novel ini yang kerap merasa berkuasa atas perempuan. Di titik ini, pembaca diajak merenung: berapa banyak Mariah dalam masyarakat kita yang luka karena kelalaian para lelaki yang tak pernah tahu caranya bertanggung jawab?
3. Dunia Gelap dan Nurani yang Masih Bernyala
"Kejahatan tidak selalu datang dari niat jahat. Kadang hanya dari rasa lapar dan dunia yang menutup semua pintu."
Terjun ke dunia pelacuran bukanlah pilihan Mariah. Ia dipaksa oleh situasi, oleh kerasnya hidup, dan oleh masyarakat yang lebih memilih mencaci daripada memberi tangan. Namun di tengah keterpurukan itu, Mariah tidak kehilangan martabatnya. Ia tetap seorang ibu, tetap perempuan yang bermimpi, tetap manusia yang ingin dicintai.
Hamka menggambarkan dunia pelacuran bukan untuk sensasi, tapi untuk menggugat. Ia menggugat tatanan sosial yang membuat perempuan terpaksa menjual tubuh demi sesuap nasi. Ia juga menggugat para moralist yang lantang bicara soal dosa, namun bisu ketika melihat ketidakadilan.
Meski Mariah terperosok jauh, hati nuraninya tetap menyala. Ia tetap mengingat anaknya, tetap menyimpan cinta yang murni. Dan ketika akhirnya ia membunuh karena ingin melindungi, kita tidak serta merta membenci. Kita memahami. Karena dalam dunia yang gelap, kadang yang kita punya hanyalah cinta yang tak sempat terucap.
4. Pertemuan Ibu dan Anak: Cinta Tak Mati oleh Waktu
"Antara ibu dan anak, ada benang halus yang tidak bisa diputus oleh waktu, jarak, atau kesedihan."
Pertemuan kembali antara Mariah dan Sofyan adalah klimaks emosional yang tak bisa dibaca dengan mata kering. Meski hidup memisahkan mereka sejak lama, darah tetap mengenali darah, cinta tetap mengingat rumahnya. Momen ini bukan sekadar kejutan cerita, tapi perayaan batin seorang ibu yang tak pernah benar-benar kehilangan anaknya.