Saya adalah seorang satpam komplek. Saya juga bagian dari warga di sini. Namun, berdasarkan aturan yang berlaku, kami yang bertugas sebagai satpam tidak memiliki hak memilih dalam pemilihan ketua RT.
Di komplek ini, pemilihan dilakukan dengan mekanisme voting siapa yang mendapat suara terbanyak, dialah yang terpilih. Bukan mufakat bulat, tapi murni penghitungan suara.
Saya memperhatikan dari jauh saat masa pencalonan dibuka. Beberapa orang mencalonkan diri. Mereka membawa niat baik dan janji-janji sederhana untuk memajukan lingkungan.
Dari tiga pasangan calon, ada satu yang membuat saya ragu. Bukan calonnya, tapi wakilnya. Masih muda, tampak belum banyak pengalaman. Dalam hati kecil, saya bertanya, "Benarkah ini orang yang siap memimpin?"
Hari pemilihan tiba.
Warga datang berbondong-bondong ke posko suara.
Saya ikut menyaksikan, menjaga jalannya proses, meski saya tahu saya tak berhak ikut memilih.
Saat suara dihitung satu per satu, saya tetap diam di sudut, memperhatikan. Dalam hati, ada harapan kecil, semoga warga memilih dengan bijak.
Namun, hasil berkata lain. Pasangan yang saya ragukan justru meraih suara terbanyak.
Ada rasa kecewa yang tidak bisa saya sembunyikan. Bukan karena pemilihan tidak sah. Bukan karena ada kecurangan. Tapi lebih kepada rasa khawatir, apakah mereka benar-benar mampu mengemban kepercayaan ini?
Obrolan kecil sempat muncul di antara kami, sesama satpam. Ada ide iseng untuk membuat surat keberatan. Tapi pada akhirnya, kami sadar, aturan sudah bicara. Proses sudah berjalan.
Dan lebih jauh lagi, saya mulai berpikir.
Bukan tentang siapa yang menang atau kalah. Bukan tentang siapa yang muda atau berpengalaman. Tapi tentang sesuatu yang lebih dalam.