Einstein muda duduk manis di ruang sidang skripsi, lengkap dengan jas almamater dan wajah penuh harap.
Dia buka laptop, siap mempresentasikan teori relativitas umum, gagasan yang bakal mengubah cara manusia melihat alam semesta.
Tapi sebelum sampai ke slide kedua, penguji sudah angkat tangan.
"Maaf, Mas Albert. Margin kirinya belum 4 cm. Ulang dulu, ya."
Dari situ semuanya bergulir makin absurd.
Slide dianggap terlalu ilmiah, font judul katanya kurang familiar, dan yang paling krusial landasan teori lokal belum ada.
"Minimal satu dari jurnal terbitan nasional," kata dosen pembimbing dengan tenang.
Einstein mengangguk pelan. Dalam hati, mungkin dia bertanya:
"Kalau aku kutip diri sendiri, boleh gak ya?"
Lucunya, ini gak jauh beda sama yang banyak mahasiswa di Indonesia rasakan hari ini.
Isi skripsi bisa aja tajam dan berbobot, tapi revisinya datang karena... tabelnya kepotong.
Atau karena "paragraf ini terlalu rapat, tolong beri spasi 1.5."
Atau, "judulnya to the point aja, Mas. Jangan terlalu filosofis."
Bukan berarti format gak penting. Tapi kadang, format justru jadi tembok tinggi yang bikin ide mandek sebelum sempat tumbuh.
Gak sedikit yang akhirnya menyerah bukan karena penelitian itu sulit, tapi karena template Word lebih menantang daripada jurnal ilmiah.