Manusia lahir ke dunia dengan sebuah janji yang diam-diam. Bahwa perjalanan ini akan berakhir.
Namun, di antara hitungan jam dan napas itu, entah kenapa banyak yang lupa. Mereka mengejar harta seperti hendak tinggal seribu tahun. Mereka berperang demi kuasa, mencurangi sesama, seolah takkan pernah dipanggil kembali.Â
Mereka berlari, menimbun, merampas, seolah waktu adalah sesuatu yang bisa dikantongi, disimpan untuk besok, lusa, dan tahun-tahun setelahnya.
Padahal umur rata-rata manusia di negeri ini tak lebih dari tujuh puluh tiga tahun. Dan itu pun belum tentu dalam keadaan sehat seluruhnya. Tujuh puluh tiga kali matahari kembali ke titik yang sama. Itu saja.
Lalu untuk apa tangan-tangan yang gemetar itu masih mencengkeram ketamakan?
Untuk apa bangunan tinggi dan rekening gemuk, kalau tubuh ringkih itu perlahan tak mampu lagi menaiki satu tangga pun?
Mungkin yang mereka kejar bukanlah panjang umur, melainkan ilusi, bahwa meninggalkan lebih banyak harta berarti memperpanjang keberadaan. Padahal, tubuh akan kembali ke tanah, sementara nama, hanya hidup di hati yang pernah disentuh dengan kebaikan.
Orang-orang bijak mengerti ini lebih cepat. Mereka memilih membangun taman kecil untuk anak-anak berlari, menulis kalimat-kalimat sederhana yang menguatkan sesama, menyalakan satu lentera kecil di malam paling kelam.
Karena dalam keterbatasan umur itu, mereka tahu. Makna bukan diukur dari panjangnya napas, melainkan dari jejak yang tak lekang oleh waktu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI