Mohon tunggu...
Achmad Marzoeki
Achmad Marzoeki Mohon Tunggu... -

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Petugas Loket Pengadilan Agama

23 Januari 2019   08:30 Diperbarui: 23 Januari 2019   08:57 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fadlan dan Susan sangat berduka. Sapto, suami Alia, putri kesayangannya ternyata seorang yang tidak bertanggungjawab. Hanya setahun sesudah menikah dan dikaruniai seorang anak lelaki, Sapto meninggalkan Alia tanpa pesan, tanpa ada kontak yang bisa dihubungi. 

Semula Alia sabar menanti, kalau-kalau Sapto mendadak muncul kembali. Ternyata, sudah hampir tiga tahun dinanti, tidak juga ada kabar beritanya. Alia berniat mengajukan gugatan cerai kepada Sapto. Fadlan tak kuasa mencegah keinginan anaknya. Dia paham betul bagaimana penderitaan putrinya, ditinggal begitu saja dan harus sendirian mengurus anaknya.

Fadlan yang berprofesi sebagai dokter kandungan, mencoba membantu Alia mempelajari prosedur pengajuan gugatan cerai melalui berbagai informasi yang didapatkannya dari internet. Setelah semua berkas dokumen yang diperlukan siap dan surat gugatan dibuat, Alia pergi ke Pengadilan Agama didampingi Fadlan. Sementara Susan menjaga anak Alia di rumah.

Usai mengambil nomor antrian dan menunggu giliran, Alia dipanggil untuk mendaftarkan berkas gugatannya. Karena di depan loket hanya ada satu kursi, Fadlan lantas duduk di kursi tunggu terdepan, sehingga bisa mendengarkan dialog petugas loket pendaftaran dengan Alia.

"Ini yang membuat siapa?" pertanyaan pertama yang dilontarkan petugas mengagetkan Fadlan yang ikut mendengar.

"Saya buat sendiri dibantu Ayah saya," jawab Alia pelan.

"Owh pantas masih banyak kesalahannya. Diperbaiki saja di koperasi sebelah, supaya tidak salah-salah lagi." 

"Kesalahannya di mana, Pak? Saya sudah bandingkan dengan berbagai contoh surat gugatan cerai, umumnya seperti ini."

"Mbak atau Ayahnya pengacara bukan?"

"Bukan. Apa harus pengacara yang membuat? Dalam ketentuannya, masalah pengajuan gugatan cerai tidak ada keharusan menggunakan pengacara," Alia penasaran.

"Begini Mbak, membuat gugatan cerai tak hanya menyalin dan mengedit naskah. Harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Kalau tidak sesuai, meski pendaftaran kami terima, akan dikembalikan lagi saat diperiksa hakim dan ditemukan masih ada kekeliruan," jelas petugas.

"Karena itulah saya bertanya letak kesalahannya di mana?" Alia mencoba bertahan.

"Sudahlah, Mbak minta perbaiki saja ke koperasi sebelah. Mereka tahu letak kesalahannya."

Akhirnya Alia meninggalkan loket. Fadlan mencoba memeriksa surat gugatan yang dikoreksi petugas. Belum mencantumkan NIK (Nomor Induk Kependudukan), perlu ke kantor kelurahan meminta surat keterangan ghoib untuk suami, sebab alamat suami tak diketahui. Berhubung masih ada dokumen yang kurang, Fadlan dan Alia pulang.

Esoknya Fadlan dan Alia kembali ke Pengadilan Agama, setelah melengkapi dokumen dan memperbaiki surat gugatannya.

"Ini yang membuat siapa?" kembali petugas loket menanyakan hal yang sama.

Dialog kemarin berulang lagi, membuat Alia kesal dan Fadlan ikut emosi. Tampaknya petugas tak mengingat bila Alia sudah menghadap kemarin. Hanya karena ingin urusannya cepat selesai, membuat keduanya akhirnya pergi ke koperasi yang menyediakan jasa pembuatan surat gugatan.

Alia menceritakan permasalahannya kepada petugas koperasi. Setelah berbicara sebentar diserahkannya surat gugatan baik hard copy maupun shoft copy dalam bentuk CD, yang diminta diperbaiki oleh petugas loket pendaftaran. Tak sampai sepuluh menit petugas koperasi sudah memperbaiki surat gugatannya. Alia menerima surat gugatan rangkap enam beserta CD soft copy-nya. Petugas minta biaya administrasi dua ratus lima puluh ribu rupiah.

Hampir saja Fadlan meluap emosinya, apalagi setelah membaca surat gugatan yang dibuatkan tak banyak perubahan kecuali formatnya. Suasana keramaian yang membuat Fadlan masih bisa mengendalikan emosinya.

Ajaib, setelah Alia menyerahkan kembali berkas yang diperbaiki dan menjelaskan membuat di mana, petugas loket langsung menerima dan memprosesnya. Perkara gugatan cerai Alia sudah diregister, tinggal menunggu panggilan sidang.

"Nanti Mbak bisa juga mengecek perkembangan perkara secara online," jelas petugas loket pendaftaran perkara yang jadi berubah ramah melayani Alia.

Penasaran Fadlan memperhatikan petugas dan membaca nama yang tersemat di bajunya, Suprapto. Nama itu akan terus diingat-ingatnya.

Suatu sore saat sedang praktek, Fadlan dikejutkan dengan kedatangan sepasang suami istri yang masuk ke ruang prakteknya. Sang istri sejak beberapa bulan lalu memang menjadi pasiennya, sehingga sudah dikenalnya. Sang suami seperti pernah dia lihat sebelumnya.

Setelah perawat yang membantunya menyerahkan kartu pasien, Fadlan tidak ragu lagi. Suami pasien yang baru masuk ruang prakteknya tak lain adalah Suprapto, petugas loket Pengadilan Agama yang bikin kesal dirinya dan putrinya.

Rupanya Suprapto suami Surti, salah seorang pasiennya. Selama ini Surti kalau kontrol sendirian. Mungkin karena kandungannya sudah mulai besar, kali ini Surti diantar Suprapto. 

"Kalau itu yang membuat siapa?" tanya Fadlan sambil menunjuk kandungan Surti, sekadar meledek Suprapto, begitu keduanya duduk di hadapannya. 

Suprapto nyaris pingsan mendapat pertanyaan Fadlan. Terkejut bukan main, tak mengira akan langsung menghadapi pertanyaan seperti itu. Suprapto menduga dengan pertanyaannya itu, Fadlan meragukan status anak yang dikandung istrinya.

Awalnya Surti yang sudah paham Fadlan dokter humoris, hanya senyum-senyum saja. Namun melihat suaminya jadi tampak terbengong-bengong ditepuknya bahu suaminya.

"Kok jadi kayak orang linglung, Mas?" tegur Surti.

"Oh ... ya ... Emm... maksud Pak Dokter bagaimana?" Suprapto masih kebingungan.

"Nah, orang yang Pak Prapto tanya pasti juga kebingungan seperti Bapak sekarang."

Fadlan tampak menahan senyumnya. Merasa mendapat kesempatan mengingatkan Suprapto.

"Maksud Pak Dokter?"

"Begini Pak Prapto. Kalau kita melayani publik, tidak akan hafal dengan  semua orang yang pernah kita layani. Tapi orang yang kecewa dengan pelayanan kita, pasti akan hafal dengan kita."

"Saya masih belum paham dengan penjelasan Pak Dokter."

"Pak Prapto bekerja di Pengadilan Agama bukan?"

"Iya Pak Dokter?"

"Dan setiap kali menerima berkas pendaftaran selalu bertanya yang membuat berkas siapa?"

"Kok Pak Dokter tahu?"

"Itu tadi yang saya katakan. Yang melayani tidak akan hafal semuanya. Tapi yang Bapak layani, apalagi kecewa, pasti akan menghafal Bapak."

Ingatan Suprapto baru tertuju pada kebiasaannya bertanya kepada pendaftar perkara perceraian di Pengadilan Agama tempatnya bekerja. Bukan tanpa beban dia bertanya sekaligus sebenarnya mengarahkan, untuk tidak menyebut memaksakan, penggunaan jasa pembuatan surat pengajuan perkara.

Ada target yang harus dipenuhi. Semaksimal mungkin surat pengajuan perkara mesti dibuat biro jasa yang dikelola koperasi karyawan, meski dengan biaya yang tergolong mahal.

"Untuk peningkatan kesejahteraan kita," dalih rekan-rekan kantornya.

"Owh jadi ... Pak Dokter pernah dilayani Mas Prapto," Surti menyela, membuyarkan lamunan Suprapto.

"Ya. Saya pernah mengantar putri saya mengajukan berkas gugatan cerai ke Pengadilan Agama. Dan seperti itu pula pertanyaan Pak Prapto kepada putri saya maupun pendaftar yang lain?"

Cerita Fadlan hanya ditanggapi Suprapto dengan mengangguk-angguk. Ingatannya masih gagal untuk memastikan saat terjadinya peristiwa yang diceritakan Fadlan.

"Mengapa Pak Dokter tidak sampaikan ke saya kalau putri Bapak mau mendaftarkan perkara ke Pengadilan Agama?" sesal Surti.

"Saya sebelumnya tidak tahu, Bu. Kalau Pak Prapto bertugas di Pengadilan Agama. Lagi pula bukan itu masalahnya buat saya."

"Lalu?" Surti penasaran.

"Begini. Saya dan Pak Prapto sama-sama pelayan masyarakat. Hanya beda bidang yang dilayani. Namanya pelayan masyarakat harus telaten mendengar dan mengarahkan dalam menghadapinya. Bukan malah kita manfaatkan kebingungan masyarakat agar ada ongkos tambahan yang bisa masuk ke kantong kita."

Suprapto dan Surti jadi diam.

"Bisa dibayangkan kalau Bu Surti belum mengenal saya sebelumnya. Saya tanya seperti itu pasti langsung terkejut, seperti Pak Prapto tadi."

Suprapto dan Surti masih terdiam juga.

"Apalagi kemudian Pak Prapto dan Bu Surti terus saya suruh menjalani tes DNA untuk memastikan anak siapa, bayi dalam kandungan Bu Surti," lanjut Fadlan.

"Saya jadi malu, Pak Dokter," ucap Suprapto pelan.

Kali ini Fadlan tak kuasa meneruskan kata-katanya. Ikut terdiam beberapa saat. Setelah berhasil menguasai emosinya baru melanjutkan perkataannya.

"Semua manusia bisa khilaf Pak Prapto. Yang penting, saat ada yang mengingatkan, kita terus mau memperbaiki atau tidak?"

"Iya Pak Dokter. Saya akan berusaha memperbaiki."

"Apalagi Bu Surti sedang mengandung. Sebagai dokter kandungan saya akan selalu menasehati pasien dan suaminya untuk menjaga kesehatan jasmani dan rohani. Pak Prapto dan Bu Surti harus banyak berbuat baik, agar kelak anak yang dilahirkan bisa menjadi anak yang shalih atau shalihah."

"Aamiiiin," Surti dan Suprapto menjawab berbarengan.

"Emang gimana sih Mas, kalau bekerja di pelayanan loket pendaftaran perkara Pengadilan Agama?" tanya Surti sesampainya di rumah.

Suprapto menceriterakan apa yang dilakukannya. Tak ketinggalan juga tentang biaya jasa pembuatan surat gugatan.

"Masya Allah, Mas. Mahal amat. Pak Dokter Fadlan saja kaget bagaimana dengan orang yang kurang mampu?"

"Pengetahuan dan ketrampilan juga harus dihargai, Dik. Pendidikan kan perlu biaya," Suprapto mencoba membela diri.

"Penghargaan yang wajar dong, Mas. Lagi pula kesannya jadi memaksa begitu. Mas digaji untuk menjadi petugas penerima pendaftaran perkara. Mengoreksi kelengkapannya, bukan agen pemasaran biro jasa pembuatan surat gugatan," sergah Surti.

Kali ini Suprapto diam.

"Lagi pula orang mau mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama, menunjukkan orang yang sedang susah karena punya masalah. Masa bukannya dibantu malah dimanfaatkan untuk mencari keuntungan yang tidak wajar," protes Surti sambil memegangi perutnya. Tampaknya ada gerakan-gerakan bayi dalam kandungannya.

"Iya Dik. Jadi ingat pesan Pak Dokter tadi," Suprapto menjawab lirih sambil mendekati Surti.

"Mas harus belajar seperti Pak Dokter Fadlan, dalam melayani pasien. Sabar dan telaten mendengarkan keluhannya lalu memberikan solusinya. Baik yang menggunakan BPJS atau tidak, dilayaninya dengan cara yang sama."

Suprapto memandang wajah Surti. Pelan-pelan mendekat, mengelus perut istrinya yang kandungannya sudah memasuki usia 8 bulan, lalu mendekatkan telinga ke perut, seakan hendak mendengarkan sesuatu.

Suprapto masih diam sambil tetap mengusap-usap kandungan Surti, sebelum akhirnya berkata lirih, "Benar Dik, nasehat Pak Dokter Fadlan tadi. Agar kelak anak kita menjadi orang baik, kita sendiri juga harus senantiasa berbuat baik." 

Surti tersenyum, bayi dalam kandungannya pun kembali tenang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun