Mohon tunggu...
Kang Marakara
Kang Marakara Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengangguran Terselubung

Belajar dan mengamalkan.hinalah aku,bila itu membuatmu bahagia.aku tidak hidup dari puja-pujimu

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Menjadikan Ranting Patah sebagai Alibi

19 April 2020   20:28 Diperbarui: 19 April 2020   20:43 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sepanjang perjalanan kata-kata, ribuan titik koma segera menjelma menjadi hulubalang, menjaga dan menterjemahkan kedalaman rasa sekehendak sabda. Suara sebagai tungganganya, butiran mutiara hikma sebagai pembeda. Siapa si pandir, siapa sang begawan nyatanya.

Riak-riak jernih berubah cepat menjadi comberan, tenangnya air tergenang menelan korban. Berenang atau menyelam dalamnya samudera bicara, mendengar kemudian menyampaikan tanpa tata bahasa, kehilangan citra diri sebagai si bijaksana.

Seumpama kata-kata tanpa di mintai pertanggung jawaban, dunia telah di penuhi banjir darah. Genangan air mata gampang tertumpah, ranting kering mudah patah sebagai dalihnya. Ringan dalam pengucapan, mengalir cepat melebihi aliran darah.

Sampai bila ranting-ranting menemui ajal, sampai bila berpatahan dalam gendongan sang ibu alam. Tak! Bunyi sabda meneriakan kata, setelah itu terjerembab tanpa daya. Ribuan aksara tanpa makna memenuhi pemakaman, arti dan makna menangisi sambil mengucapkan kutukan. "Berdebatlah atas nama kesombongan."

Bagan batu, April 2020

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun