“Manusia yang masih membaca karya fiksi memang selalu begitu,” keluh Gramsci sinis. “Bahkan, tidak sekadar membaca, Ibu juga menjadikan karya fiksi sebagai kitab suci. Padahal, kita berada di zaman yang menjadikan teknologi dan sains sebagai agama!”
***
Dari hari ke hari, gosip asmaraloka antara Ayah dengan ORI 400003, terus menyebar ke seluruh penjuru buana. Di sisi lain, banyak ilmuwan mencurigai bahwa ORI 400003 merupakan wujud dari perempuan yang menjadi cinta pertama ayah. Tidak jarang, para ilmuwan tersebut hadir sebagai bintang tamu dalam acara talk show di saluran TV favoritku.
“Jadi, ORI 400003 bukan geminoid biasa?”
“Betul! Profesor Arnold menggunakan partikel sel otak Marissa Kalao untuk menyempurnakan AI dalam otak artifisial ORI 400003!”
“Perempuan itu dulu cinta pertama Arnold. Arnold mencintainya secara membabi buta. Arnold tidak peduli tentang rumor Marissa Kalao diduga sebagai otak klandestin para pemberontak. Mereka berpacaran semasa kuliah di Institut Teknologi Robotik. Walaupun mereka sebaya, Marissa Kalao telah menjadi dosen. Di sisi lain, Profesor Arnold berstatus sebagai mahasiswa jurusan AI di smester pertama. Maklum, tingkat kecerdasan Marissa Kalao empat level di atas Einstein. Sayangnya, Marissa Kalao tewas terbunuh pada ulang tahunnya yang kedelapan belas. Pembunuhnya tidak pernah ditemukan. Konon, kematian Marissa Kalao terkait dugaan dirinya sebagai otak klandestin.”
Dari hari ke hari, gosip tersebut terus berkembang luas, hingga membentuk bahari lara yang membentang luas—melampaui saujana. Di bahari lara itu, ibu berlayar dengan lakara bernama harapan. Walaupun telah banyak bukti dirinya dikhianati ayah, ibu tetap menjadikan ayah sebagai sabitah yang tidak akan hancur sampai habis usia dunia.
***
Seminggu setelah kepulangan kami dari liburan bersama, ibu tiba-tiba mencuat di pintu rumahku. Ia memintaku untuk menghubungi kedua saudaraku, Gramsci dan Beauvoir.
“Kita perlu berkumpul, Kristeva!” pinta Ibu.