“Untuk apa Ibu meminta kami berkumpul?” tanyaku dengan nada bingung.
“Untuk menyelamatkan ayah kalian,” jawab Ibu sambil membenamkan tubuhnya yang ringkih di atas sofa.
“Ayah tidak perlu diselamatkan, Ibu!” ujarku setengah histeris. “Ia sedang bersenang-senang dengan kekasihnya di pulau keluarga kita.”
“Tidak, Kristeva!” tangkis Ibu sambil mengipaskan punggung tangannya.
“Ayah sudah berselingkuh, Ibu!” balasku. “Ia sudah berkhianat! Ibu pikir, diriku tidak tahu perbuatan ayah? Berkat satelit milikku, aku menyaksikan semua perbuatan menjijikkan yang diperbuat ayah dan pelakor itu!”
“Itulah kesalahan manusia di zaman ini, tidak membaca karya fiksi,” bantah ibu sambil meraih remote control dari atas meja.
“Untuk apa membaca karya fiksi!” bantahku. “Karya fiksi hanya berisi khayalan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.”
“Kau keliru, Kristeva!” balas Ibu sambil menatapku dengan sorot mata yang menyimpan seluruh kesedihan di dunia. “Fiksi itu sangat penting. Saya dari kecil hal pertama yang saya baca itu fiksi. Kenapa? Karena dia membuka imajinasi. Fiksi itu membawa kita masuk ke suatu impossible world–dunia yang mungkin–yang tidak ada di sini, sehingga imajinasi itu bisa begitu liar mengembara dan ketika masuk kembali ke dunia nyata, imajinasi ini membantu kita memahami dunia yang begitu carut-marut!”
“Tapi, Ibu—,” sanggahku dengan otak diisi miliaran penolakan.
"Kau pasti tertipu geminoid berwujud ayahmu," potong Ibu, "Itu karena pikiranmu selurus penggaris karena memberhalakan sains dan teknologi--miskin imajinasi. Padahal, ayahmu yang asli dalam bahaya!'
Sebelum aku menyanggah lagi, Ibu tidak memedulikan bantahanku. Ia menyalakan TV yang sudah lama kuabaikan karena terus menggoreng gosip asmaraoka ayahku dan geminoid miliknya.