“Ayah kalian yang dulu berbeda dengan sekarang,” tutur Ibu ketika kami berlibur di pantai, tanpa Ayah dan ORI 400003. "Menurut Ibu...."
“Dulu, ayah kalian—sehabis jam kerja—selalu pulang dari kantor dan senang menghabiskan waktu bersama keluarga. Kini, ayah kalian nyaris tidak pernah di rumah dan sebagian besar waktunya dihabiskan bersama ORI 400003. Begitu, bukan?" potong adikku, Gransci.
“Mungkin karena Ibu sudah tua,” sahut kakakku, Beauvoir, “sekarang ayah memiliki perempuan muda yang memiliki kecantikan amerta. Bagaimana dirinya tidak tergoda menduakan hati?”
“Sudah banyak kekacauan yang ditimbulkan kehadiran geminoid. Itulah sebabnya, teknologi geminoid pernah ditentang keras semasa H.B. Jassin masih hidup," jelasku.
“Sebaiknya Ibu meninggalkan Ayah,” sambungku. “Daripada hati Ibu merana tinggal bersama Ayah dan ORI 400003.”
“Tidak!” sahut Ibu dengan nada histeris. "Bukan itu maksud Ibu."
"Lalu apa maksud Ibu?" desakku.
"Ibu merasa ayah kalian perlu bantuan," jawab Ibu dengan dahi berlipat.
“Untuk apa kita membantu ayah!” seru kakakku, Beauvoir. "Dia sudah terang-terangan mengkhianati ibu!"
“Tidak! Tidak!” bantah Ibu sambil mengibaskan topi anyaman bambu kesayangannya. Ia seolah-olah jijik mendengar suara-suara kami. Untuk menegaskan penolakannya, Ibu membanting Max Havelaar–fiksi yang berulang kali dibacanya. Lalu, Ibu meninggalkan tenda tempat kami bernaung dan berlari menuju bibir pantai. Dari kejauhan, Ibu tampak seperti sebilah korek api yang bagitu rapuh dan mudah hancur dengan sekali injak.