Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Petualangan Manuk Dadali: Prahara di Nusantara (1, Tanjung Jakarta)

2 Mei 2022   12:23 Diperbarui: 2 Mei 2022   12:31 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi-Irvan Sjafari

Satu: Tanjung Jakarta

Bandara pesawat antariksa Tanjung Jakarta terletak di pinggir laut yang tenang. Para awak turun dari perut Manuk Dadali menggunakan jembatan virtual melandai. Manuk Dadali kokoh dengan sayap terkembang dan berdiri dengan cakarnya.

Sebanyak 13 awak mengenakan baju celana dengan nuansa emas dengan sabuk putih dan topi berbentuk kepala garuda turun. Empat tentara, Letnan Satu Robin Hermanus, Letnan Dua Jumhana, Sersan Subarja, Serda Reda Fahrudin, mengenakan tambahan semacam penembak di tangan kananannya berada di barisan paling depan.

Pimpinannya Raya Purwanti, 35 tahun mengikuti, diikuti Bagus Sucahyana, 25 tahun, istrinya Purbaendah 25 tahun, Made Kamajaya, 30 tahun, Kanaya, 27 tahun, Yura, 22 tahun, Maurizia Maharani, 25 tahun mengenakan tambahan jilbab berwarna keemasan, Atep Firman, 22 tahun dan terakhir Mak Eti, 60 tahun dengan tambahan kain batik bernuansa emas dengan motif lurik hijau tua.

Mereka semua menggendong ransel besar di punggungnya yang juga berwana keemasan, kecuali Mak Eti yang perlengkapannya di bawah Sebuah Robot berbentuk lutung mengangat ransel Mak Eti. Satu robot lutung lagi menarik gerobak berisi sepeda lipat.

Rombongan disambut beberapa pembesar Tanjung Jakarta berpakaian serba putih dengan kopiah hitam, serta perwira tinggi tentara berpakaian bernuansa oranye. Mereka menggunakan cambuk api, yang juga dikenakan Raya dan Purbaendah.

"Raya," seorang perempuan sebaya menyambutnya.

"Cynthia," ucapnya.

Mereka berpelukan.

"Kawan-kawan ini, Cynthia Hadju kawan sekolah aku di sekolah menengah. Hanya dia melanjutkan pendidikan di Kelautan, kalau aku ke teknik pesawat antariksa," Raya memperkenalkan sahabatnya itu pada rekan-rekannya. Satu demi satu menyalaminya.

Selain Cynthia, ada Badli Saputra dan Nola Rachmawati, salah seorang anggota dewan, Kapten Daud Hasan, penanggungjawab keamanan di bandara.

Rombongan menggunakan semacam bus untuk menjemput rombongan dengan baterai matahari seperti di Titanium, serta dikawal mobil lebih kecil berbentuk jip tertutup. Hanya saja, koloni manusia di Kuantum XX menggunakan kendaraan beroda karet dengan baterai tenaga matahari.

"Heran? Kami masih menggunakan kendaraan kuno biar mengingatkan kami pada jati diri di Bumi. Kami juga punya kapal laut yang bisa melayang di atas air, tetapi sekaligus bisa menyelam berbentuk ikan pari," papar Raya pada teman-temannya.

"Berarti di sini ada tanaman karet?" tanya Bagus.

"Yuup, di planet kalian sulit ya, karena manusianya bermukim di dataran tinggi? Di sini yang paling tinggi gunung atau bukit sekitar tiga ribu meter. Kami juga punya kereta dengan rel yang dijalankan dengan listrik tenaga angin dan matahari, serta energi yang kita gunakan nanti," Raya jadi juru penerang.

"Energi apa kunaon? Yang kita gunakan untuk Manuk Dadali?"

"Yuup, belum tahu namanya. Warnanya oranye seperti warna khas  Tanjung Jakarta. Jumlahnya hanya seratus kilogram di  Manuk Dadali tapi bisa membantu terbang selama ratusan tahun. Itu sebabnya kita ke planet ini dulu," ucap Raya.

Di Bandara juga parkir pesawat berbentuk seperti pesawat kertas berkuran besar dengan runcing di bagian depan. Tanpa roda. Terbuat dari logam, bisa mendarat dengan cara vertikal atau konvensional sepertinya pesawat Guru Minda.

"Kalau dalam buku sejarah Bumi di Titanium ini mainan anak-anak?" tanya Zia.

"Inspirasinya dari situ. Pesawat ini dinamakan V-Cakrawala. Bentuknya seperti huruf V," jawab Badli, pria yang tinggi besar, sekitar 175 sentimeter dengan berat 70 kilogram.

Kami segera keluar dari bandara. Di sepanjang jalan terlihat kincir angin jumlah ratusan yang terus berputar tandanya anginnya memang kencang, meskipun pohon seperti palem berbaris rapat membuat suasana hijau. Sementara di sisi lain terdapat ladang jagung yang menguning.

"Jelas kan mengapa sepak bola sulit dikembangkan di sini. Anginnya terlalu kencang, bola ditendang melayang jauh. Tetapi in door kami bisa,"  papar Raya.

"Jagungnya enak nih?" ucap Purbaendah.

"Kalian akan dijamu panganan jagung, sagu dan ikan-ikan yang kami budidayakan dari Bumi. Juga mahluk laut dari planet ini yang aman dimakan manusia," ujar Cynthia. "Ada mahluk serupa ikan yang dimasak dengan bumbu rica-rica. Aku yang akan menghindangkannya untuk kalian."

"Thia ini gemar memasak. Sepuluh tahun lebih kami tidak ketemu, sejak aku berangkat," kata Raya. "Masakannya yang paling enak ialah nasi bakar daun pisang yang diramunya dengan suwiran ikan atau ayam."

Thia hanya tertawa. "Kalau di sini kamu sudah hilang lima belas tahun. Jadi aku lebih tua dari kamu, Raya?'

"Kamu juga jadi muda karena ikan QQ?"

"Aku mengkonsumsi sesuai takaran," jawab Thia.

Usia Cynthia seharusnya 40 tahun, tetapi tampak seperti umur 25 tahun. Tingginya sekira 165 sentimeter, terpaut hanya dua sentimeter di bawah Raya.  Hanya saja kulit Cynthia lebih putih nyaris seperti bule ditambah dengan warna rambutnya dicat pirang.

Ketika berdiri bersama Raya menjadi kontras, karena  kulit Raya menjadi kehitaman. Rambut Raya lebih pendek, raut wajahnya keras, walau tidak menyembunyikan kecantikannya.

Atep menatap Cynthia. Rupanya dia  terpesona dan terkena auranya. Perempuan itu hanya tersenyum. Raya melotot dan memberi isyarat tidak menatap terlalu lama.

"Berapa populasi di Quantum XX?" tanya Atep dengan sigap mengalihkan perhatian.

"Resminya sekitar 20 juta jiwa. Di luar itu ada segerombolan manusia yang tidak patuh pada otoritas dan mengucilan diri tetapi tidak menganggu plus kriminal-kriminal penyelundup QQ dan para petualang yang lebih suka di laut diperkirakan 500 ribu hingga satu juta.," jawab Badli.

"Koloni kami di Titanium sekitar 17 juta jiwa," sahut Bagus. "Tapi kata Kang Dedi Cumi, jumlahnya sudah di atas 20 juta."

"Tidak jauh beda, entah di koloni manusia di planet lain," kata Badli.

" Tadi Mas Badli, semakin banyak saja mereka yang tidak mau ikut otoritas," potong Raya.

"Yaa, sumber daya makan cukup. Mereka yang berani bisa bertahan hidup tanpa aturan," timpal Kapten Daud. "Tetapi selain penyelundup ikan QQ itu, sebagian besar bukan kriminal. Kami hanya khawatir mereka usil terhadap alien lain yang juga hidup di planet ini. Bagaimana pun juga manusia pendatang di sini."

Kapten Daud adalah tentara ideal, tinggi 170 sentimeter dengan berat profesional dan rembut cepak. Kulitnya hitam dan badannya tegap. Usianya sekitar 30 tahun.

"Soal tunanganmu Greg dan soal permintaan bantuan dari Bumi nanti dijelaskan oleh Menteri Utama Hasrul Rahman, Presiden sedang di pulau lain," kata Thia.

"Woow, kalian ada Presiden? Kami hanya ada Dewan Preanger yang jumlahnya 17 orang, yang memimpin bergantian. Kami memilih setiap lima tahun dari tujuh kota koloni," ungkap Bagus.

"Tadinya kami juga begitu. Tapi sejak seratus tahun lalu kami kehilangan kontak dengan Bumi, memutuskan membentuk pemerintahan kecil," papar Badli.

"Waktu aku pergi, Presidennya Andi Hasanuddin dan wakilnya Jano Malo," ungkap Raya. "Sekarang siapa?"

"Alya Malahayati dan wakilnya Ichsan Amin," kata Kapten Daud. "Baru terpilih setahun lalu."

Kanaya memperhatikan matahari yang cukup terik. "Musim panas rupanya?"

"Ya, di Kuantum XX musim panas pada Maret hingga Agustus mirip di Bumi di Katulistiwa dan musim hujan September hingga Februari. Kalau di belahan sub tropis lebih variasi, tetapi tidak seperti di Bumi ada musim semi dan gugur," jelas Raya.

Bus meluncur terus mulai memasuki kota Tanjung Jakarta. Para awak Manuk Dadali mengaguminya. Agar bisa leluasa Sersan Iko yang mengemudi membukakan atap bus hingga angin menerpa masuk. Para awak Manuk Dadali bisa berdiri.

Tanjung Jakarta tidak meniru Jakarta seperti halnya Preanger Satu di Titanium meniru tujuh puluh persennya seperti Bandung dan bagian luar kotanya mirip Tahura.

Tanjung Jakarta hanya membuat replika Monas dan Istana Merdeka, Masjid Istiqal dan Gereja Kathedral dengan lapangan hijau luas segi lima. Mungkin simbol asal nenek moyang mereka .

Bus itu melewati areal itu setelah melalui jalan panjang di antara sejumlah blok bangunan antara lima hingga sepuluh lantai dan hutan kota. Jalan raya tidak terlalu ramai. Sepeda berseliweran dengan aman. Jalan tampa bersih. Robot-robot penyapu jalan hilir mudik.

"Di mana Menteri? Bukan di Istana?" tanya Bagus menebak.

"Istana Merdeka di sini jadi museum sejarah asal usul manusia. Pusat pemerintahan di Pendopo Limas lebih jauh di selatan," jawab Raya.

"Iya, karena di situ banyak pepohonan dan dekat danau yang tidak terlalu besar," tambah Badli.

Purbaendah terpukau menyaksikan panorama. Manusia berpakaian dengan bahan seperti katun berjalan kaki, naik sepeda hingga menaiki bus.

"Yang disebut modern itu seperti ini, AA?" tanya Purbaendah kagum.

"Relatif," jawab Bagus suaminya. "Modern dibanding apa? Saya lebih suka Negeri Pasir Batang asal kamu."

Purbaendah tersipu.  Raya hanya tersenyum, mungkin mengingatkannya pada Greg, tunangannya.

Mereka tiba di Pendopo Limas, sebuah bangunan dengan arsitektur pendopo benar-benar segi empat sama sisi dengan ukuran sekitar 100 x 100 meter. Pusat pemerintahan tanpa penjagaan mencolok itu hanya satu lantai.

"Tidak dijaga seperti di istana kami?" tanya Purbaendah.

"Untuk apa?" jawab Kapten Daud. "Musuh kami mungkin hanya siren  nun jauh di sana dan mungkin ada alien lain yang juga nun jauh di sana.  Itu baru mungkin. Bisa, ya, bisa nggak.  Kriminal penyelundup? Mereka tidak akan kemari."

Bus dan mobil pengawal parkir tak jauh dari gedung. Rombongan dari Manuk Dadali meninggalkan ransel dan perlengkapan yang berat di mobil, lalu mengikuti Badli memasuki Pendopo Limas.

Rombongan memasuki Pendopo Limas. Tidak ada protokol dan harus tanda tangan di depan pintu. Resepsionisnya pun tidak ada. Hanya ada robot di depan yang sedang membersihkan lantai. Rombongan memasuki lobi utama cukup besar dan kemudian memasuki salah satu ruangan.

Menteri Utama Hasrul Rachman sudah menunggu di salah satu kursi di antara meja berbentuk bulat lingkaran itu. Dia pria dengan tinggi 163 sentimeter dan berat kira-kira 50 kilogram. Usianya sekitar 40 tahunan  dengan rambut pendek disisir rapi.  Kulitnya coklat sawo matang. Namun pakaiannya sederhana, hanya kemeja lengan pendek putih dan celana panjang katun hitam.

Hanya ada dua orang mendampinginya. Seorang perempuan dan seorang laki-laki. Yang laki-laki memperkenalkan dirinya sebagai Benyamin Hamid, Gubernur Tanjung Jakarta dan yang perempuan Kepala Dewan Perwakilan Nusantara Raden Fahrana Wulandari.

Benyamin Hamid perawakannya tinggi 172 sentimeter, dengan wajah seperti peranakan Arab.  Dia mengenakan kemeja lengan panjang putih dan celana panjang putih dengan blangkon Betawi. Usianya sekitar 50 tahunan.

Fahrana Wulandari, benar-benar tipe perempuan Jawa Yogyakarta ketika di Bumi.  Rambutnya panjang dengan tiggi 165 sentimeter. Dia mengenakan blezer dan gaun panjang merah menyala dengan blus putih di dalamnnya.  Wajahnya manis.  Usianya sekitar 35 tahun.

"Selamat kembali Raya. Saya masih seorang anggota dewan ketika Anda diberitakan hilang," ujar Hasrul. "Laporan Anda mengenai apa yang terjadi dan perkembangan Bumi kini kami pelajari. Tapi soal alien itu sudah kami ketahui. Pesawat cakram ini pernah tampak tiga tahun lalu. Tapi mereka tampaknya hanya mengamati. Kalau pun mendarat tidak di koloni yang didiami manusia."

"Bukan satu-satunya pesawat asing yang melintas, ada juga pesawat berbentuk batu panjang raksasa beberapa bulan lalu, tetapi kemudian pergi. Mereka tidak suka pada cuaca yang panas ini. Tetapi mungkin di utara yang lebih dingin," sambung Farhana.

"Kalian siap dengan kemungkinan buruk?" tanya Raya.

"Siap. Tiga puluh V-Cakrawala sudah dipersenjatai penembak sinar merah yang bersuhu seribu derajat celcius. Logam mana pun akan meleleh terkena tembakannya. Tapi baru itu, kita nggak tahu apa iya alien itu menjadi ancaman," kata Hasrul.

"Ada cerita di Bumi ada dua jenis alien yang menyerang manusia. Bukan yang cakram, tetapi yang berbentuk batu itu. Mereka adalah mahluk yang dicerita dalam mitologi kita sebagai vampir."

"Menarik. Masuk akal mereka takut dengan matahari yang terik."

"Kabarnya mereka menyerang pada malam yang pekat, tetapi dengan cahaya lampu cukup bagi mereka memburu mangsanya."

"Satu lagi?"

"Pesawatnya berbentuk piring bersusun. Mereka menghancurkan berapa kota Bumi ratusan tahun yang silam dan membawa sejumlah manusia entah untuk apa. Lalu menghilang. Kedua mahluk itu menyerang belahan utara Bumi," terang Raya.

Kanaya mendengarnya dengan seksama. Dia mencatat di tablet virtualnya. Lalu dia memperlihatkan sebuah dokumen secara tiga dimensi.

"Yang seperti  vampir itu mungkin sudah beberapa kali singgah di Indonesia dan negeri lain di Bumi dulu. Berapa orang ayahku pernah ditemukan dengan tubuh mengering."

Kanaya memperlihatkan gambar yang dilukisnya dengan baik.

"Dia pernah ada di Bumi Prasejarah," Raya menjelaskan.

"Menarik,"kata Hasrul. "Itu memang dimungkinkan di Intersellar. Dia pernah di koloni mana?"

"Ayah, ibu dan neneknya dari Planet Titanium," Bagus menambahkan.

"Para founding father dan mother  kami memberi catatan soal ekspedisi Guru Minda ke Titanium. Proyek Banggai dilakukan 20 tahun kemudian, setelah Bandung kewalahan. Sementara Bumi sedang menghadapi masalah lingkungan akibat perang nuklir dan akan jatuh ke tangan para warlord," papar Farhana.

"Pesawat aku diserang sesuatu entah pesawat dari sesama koloni manusia atau alien. Lima belas awak tewas. Aku terdampar ke Bumi dan ada dua awak lain entah siapa mengggunakan sekoci masuk lubang cacing entah di planet mana."

"Kami sudah baca laporan. Begitu Presiden tiba dari Pulau Kejora, kami akan mengadakan rapat soal pertahanan Kuantum XX. Ini tidak bisa dibiarkan. Baik sesama koloni manusia atau alien, tetap saja itu ancaman. Ada lagi?"

Cynthia Hadju melihat wajah Raya sahabatnya masih gelisah. Dia ingin tahu kabar tunangannya.

"Dia minta penjelasan soal Greg, Gregorius Hendro Prasetyo, kapten kapal yang mengangkut ikan QQ untuk keperluan obat, Pak Menteri. Aku bisa menjelaskannya, tetapi ada yang lebih berwenang," kata Cynthia.

Raya menoleh."Buruk, ya?"

"Aku ikut berduka Raya. Tunanganmu hilang, tiga bulan setelah Anda pergi sebagai duta perdamaian antar koloni. Kapalnya diserang dalam perjalanan dari Kepulauan QQ ke Kota Mahameru, kota di perbatasan koloni. Awak yang selamat hanya satu orang, hanya melapor mereka diserang siren. Tapi penyelidik Letnan Vincent Pao mencurigai terkait oleh suatu sindikat rahasia yang disebut sebagai Lanun Hitam."

"Vincent Pao tidak melanjutkan penyelidikan?"

Hasrul menggeleng. "Dia juga hilang, dua hari setelah memberi laporan. Juga awak yang tersisa. Kami belum bisa menyimpulkan itu kriminal hingga saat ini."

"Aku bertemu Greg, sehari sebelum berangkat. Dia menitipkan suatu kotak besar untuk aku. Sayang kotak itu hilang ketika kami diserang. Aku belum lihat apa isinya. Mas Greg, hanya bilang harta yang tidak ternilai di semesta ini."

"Kalian makan siang dulu, ada hidangan masakan laut di sini dengan rica-rica dan air kelapa," kata Hasrul. "Akomodasi kalian sudah disediakan di Wisma Pitung di dekat pantai. Beristirahatlah."

Rombongan dijamu di ruangan lain aneka hidangan laut baik hasil bumi maupun mahluk laut di Quantum XX. Mak Eti mengamati hidangan satu demi satu.

"Kalau yang bakar, mah Emak bisa, " katanya. "Nanti Mak minta resepnya sama juru masak," ucap dia pada Bagus.

"Apa agenda kita di planet ini? Agak lama? Bisa jalan-jalan," ujar Purbaendah dengan genit pada Bagus.

"Entahlah Neng, kita solider mencari tahu soal tunangannya Kak Raya," jawab Bagus. "Jangan lupa, kita cari bahan energi."

"Enak makanan lautnya," sela Atep. "Sayang nggak ada sepak bola di sini."

"Futsal ada di dalam ruangan. Voli ada dalam ruangan. Bulutangkis ada. Boling ada. Olahraga outdoor di sini layar dan para sailling tetapi harus terlatih karena angin dan ombak kencang. Kalian orang gunung," sela Raya.

"Bagaimana kita ke Kota Mahameru?" tanya Bagus.

"Lusa. Hari ini istirahat dan besok piknik. Kita ke Pulau Cendani untuk sedikit rekreasi. Kalian ingin menikmati suasana planet kami, bukan?"

Irvan Sjafari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun