Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Setelah Tengah Malam Jahanam (3)

16 Agustus 2021   11:17 Diperbarui: 16 Agustus 2021   11:35 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi-Foto: Pikiran Rakyat,

TIGA

Charles baru bisa datang sekitar pukul setengah satu. Kami salat zuhur dan kemudian menyantap dulu hidangan yang "disediakan" Mamanya Sundari.   Mereka belum kembali. Yang buat kami bergidik, siaran televisi berita siang seperti memuat laporan beberapa hari lalu, seolah-olah itu berita hari ini. 

Tentu saja kami tahu soal viral benda asing melayang di Kota Bandung, soal kemungkinan ada kemunculan virus baru yang disebut Razov akan menggantikan AIDS/HIV, iklim ekstrem dan ketegangan antara Tiongkok dan AS di Laut China Selatan.

"Urutan pun sama, nanti ada wawancara dengan Dhimas Haris," ucap Sundari. "Ada di mana kita, sebetulnya? Seolah program televisi direkam dan kemudian disiar ulang sesuai jamnya. Nggak mungkin redaksi televisi buat kesalahan jurnalistik yang demikian telaknya."

Berita media daring, termasuk "Membaca Indonesia" tidak diupdate. Berhenti pada tengah malam kemarin. Seolah tengah malam kemarin waktu telah berhenti. Kiamat?

Kami masuk mobil Charles membawa tas ransel dan laptop masing-masing.  Mobil mulai bergerak meninggalkan kompleks itu. 

Tak tampak seorang pun tapi setiap rumah bersih. Lampunya mati tanda tak ditinggal.  Beberapa ekor kucing lewat dan ada seorang anak perempuan mungkin usianya lima tahun dan dikenal Sundari.

"Berhenti sebentar Bang!" kata Sundari.

Mobil berhenti, Sundari membuka jendela dan menyapanya."Halo, Puti, kemana saja kamu? Dicariin Bunda dan Ayah kamu tahu?"

"Saha Sun?"

"Tetangga sebelah rumah," jawabnya.

Puti menengok ke Sundari dengan wajah pucat. "Aku bangun tadi teteh, tapi ayah dan bundaku nggak ada di kamar, juga kakak!"

"Lah, kalian kan liburan ke Medan?"

Puti tak menjawab.

 "Ayo ikut kami dulu!" ajak aku.

Puti segera masuk.  Di jalan dia menumpahkan tangisnya. "Kemarin aku masih di pesawat bersama Kak Robi, Ayah dan Bunda, lalu ada guncangan dan tahu-tahu aku bangun di kamar!"

"Persis seperti cerita istri saya! Jangan-jangan ada di pesawat yang sama!" sela Charles.

Puti memeluk Sundari, sepertinya mereka dekat. Baju dan celananya bersih seperti ada yang mengganti.

"Jadi siapa yang jadi hantu nih? Kita atau mereka?" tanya Sundari. "Kalau kita, artinya ini adalah negeri para hantu."

"Sudah tengah hari. Harusnya panas menyengat. Tetapi udara tetap sejuk seperti masih pagi. Jam satu siang, tetapi seperti jam sembilan,"  tutur aku.

"Maksudnya Kang, ada kekuatan supranatural  membersihkan Bandung  lihat begitu bersih. Nggak ada sampah di jalan.  Makan dan minum tinggal pilih. Orang tidur semaunya."

"Lihat ada beberapa orang yang baru pulang dari masjid. Tadi aku ke gereja hanya ada beberapa orang dan semua punya cerita aneh-aneh tentang sesuatu pada tengah malam. Ada yang harusnya ada di apartemennya di Los Angles. Katanya sih tengah malam.  lalu ada ledakan keras, apartemennya terasaruntuh. Ada gelombang panas menerapa, tapi ada yang mengangkatnya dan dia tidak sadar diri dan bangun-bangun ada di Bandung. Dia memang warga Bandung! Namanya Andre." Charles bercerita, membuat kami makin tegang.

"Ledakan keras? Apartemen runtuh? Los Angles dinuklir? Perang Dunia ke III pecah, awal kiamat? Sepertinya dalam cerita fiksi,"  ucap aku.

"Ada lagi Bang?" tanya Sundari.

"Nah, tadi aku barusan mengantar seorang anak muda bernama Ananda dari Dago, mau ke Kotabaru Parahyangan ke rumah calon mertuanya. Tetapi pas kami masuk tol, tahu-tahu keluarnya di Pasteur juga!"

"Ah, keumaha Bang! Kok bisa?" Sundari tersentak.

"Lalu?"

"Dia bilang harusnya kemarin tengah malam, dia bersama kedua orangtua dan rombongan keluarganya sudah ada di jalan tol. Tetapi ada yang menabrak kijang mereka dan tahu-tahu, dia ada di rumahnya di kawasan Dago seorang diri."

"Hujan lebat?"

"Iya, seperti kita, merata itu hujan lebat di sekitaran Bandung."

Aku ingin bicara, tetapi Sundari menahanku. "Aku tahu apa yang Akang pikirkan. Sama seperti aku. Tapi kita jurnalis, harus mengungkapkan fakta."

Anak ini makin pintar.  Charles memasuki pom bensin.  Ada seorang petugas di sana dengan senyuman menyambut kami. Charles memberikan uang Rp100 ribu dan petugas ini mengisi bensin hingga tangkinya penuh.

Lalu Charles kembali menjalankan mobilnya.

"Satu lagi yang aneh Bang, dengan Rp100 ribu dia isi tangki bensin sampai penuh, kan lebih dari 10 liter harusnya uangnya lebih?" kataku.

"Saya tahu, perlu 20 liter agar tangki penuh," jawab Charles dengan suara cemas. Dia sama sekali tidak merasa untung. "Yang aneh lagi, saya nggak perlu ke ATM ambil uang, tadi istriku cerita belanja di pasar uangnya selalu cukup dan pedagang yang melayaninya memenuhi apa saja yang dibutuhkan."

"Waduuh, coba Bang Charles mundurkan mobil dan lihat pompa bensin tadi!" kata Sundari.

Charles menurut. Dia memundurkan mobilnya aman karena tidak ada mobil lain.  Baru meninggalkan lima ratus meter dan tidak ada petugas di situ. Kosong.

Supir taksi daring itu langsung tancap gas.

"Artinya di Bandung ini, sebagian manusia dan sebagian lagi bukan? Seperti suara di minimarket tadi," ujar Sundari. "Itu kan yang Akang pikirkan."

"Pertanyaannya, siapa mereka? Lalu apakah kita benar ada di kota Bandung atau?"

"Bandung dalam tanda kutip," sahut Sundari pasrah.

Aku sendiri berharap ada di Bandung yang benar. Entah Sundari.

Kami tiba di di perumahan tempat sepupuku tinggal di Buahbatu lima belas menit kemudian. Perjalanan terlalu lancar.  Charles mengantarkan sampai ujung jalan, karena kompleks itu diportal.  Aku, Sundari dan Puti turun. 

Seperti halnya kompleks tempat tinggal Sundari, kompleks tempat tinggal sepupuku ini juga sepi. Ada seorang tukang cilok mangkal di depan gerbang memberi salam pada kami. Aku berapa kali ke tempat  sepupuku setiap berkunjung ke Bandung, bahkan kemarin tidak ada tukang cilok seperti dia.

Rumah sepupuku ada di Blok A, tak jauh dari gerbang.  Rumahnya berpagar bambu dan ada pohon jambu.  Rumah-rumah di kompleks ini juga bersih dan rapi dan tidak seperti kalau ditinggal.

"Bagaimana kalau kita terdampar ke dunia pararel?" celetuk aku.

"Aku juga pernah baca dan nonton film-film tentang dunia pararel. Tetapi kalau kita ada di dunia pararel pasti ada Akang dan Sundari yang lain, dengan peran yang lain," sahutnya.

"Siapa tahu kita jadi penjahatnya," timpal aku seenaknya.

"Akang saja, aku jadi polisinya!" timpal Sundari.

Puti mengikuti dengan penuh agak takut. "Kayak di kompleks kita teteh."

"Assalamulaikum!!" seruku.

Tak ada jawaban. Tapi pintu depan terbuka.  Dengan agak berlahan aku memasuki pagar dan melihat beranda juga tidak berdebu.  Sundari dan Puti mengikuti.  Lalu kami memasuki ruang tamu.

"Walaikumsalam!" terdengar suara anak kecil yang aku kenal.

"He, Om Rivai!" sapa seorang bocah laki-laki tujuh tahun melihatku. Putra dari sepupuku.

"Halo Dudi. Ke mana Ayah dan Bunda?"

"Nggak tahu. Ayah dan Bunda kata Bibik yang tadi memasak ada perlu."

Berarti ada orang lain.  Tapi begitu saya dan Sundari memasuki  ruang makan, yang ada hanya empat piring dan semangkuk besar soto serta bakul nasi.

"Soto Ayam, aromanya lezat!" sahut Sundari.

"Lah, setahu Om, Ayah dan Bunda kamu nggak dibantu bibik?"

"Katanya baru hari ini," jawabnya polos.

Kami akhirnya menemani Dudi makan siang dengan Soto Bandung kesukaannya.  Puti sudah lapar langsung menyerbu.  Empat gelas juga sudah tersedia terisi penuh.

Sundari yang duduk di sebelahku menyepak kakiku di bawah meja. "Kayaknya ada sesuatu tak kasat mata mengawasi kita. Aku nggak punya bakat indigo untuk melihat, tetapi telingaku tajam, sama seperti sesuatu pada tengah malam itu," bisiknya.

"Pada waktu kita piket shift malam?"

"Iya, juga waktu kecelakaan kemarin. Aku bisa mendengar sekalipun aku tidur atau pingsan," sahut Sundari.

Preek! Berarti dia dengar aku ucapan spontan aku waktu mendekapnya di mobil. Mudah-mudahan nggak salah sangka.

Sundari membuka ponsel cerdasnya. Dia seperti bercermin dan mengeluarkan sisir. Kebiasaan dia, nggak mau lihat rambut kusut. Nggak kenal waktu.  Tetapi aku menangkap raut mukanya terperanjat.

"Naon?"

'Kamu benar!  Kamu pernah dengar cerita orangtua, bahwa ada mahluk yang punya kemampuan menyerupai manusia dan tidak terlihat mata? Mereka bilang mahluk gaib."

"Iya, bagaimana kalau mata kita yang tidak bisa melihat, seperti halnya serangga melihat manusia atau ular melihat," ujar aku.

"Ada dua Kang, hijau tinggi besar...matanya merah. Jangan sampai mereka tahu, kita tahu...."

Gambaran mahluk gaib yang kerap diceritakan oleh tanteku dulu. Mirip seperti buku komik horor yang pernah aku baca.

 Kami selesai bersantap. "Dudi kemasi baju kamu. Hari ini kamu ikut Om!"

"Aku harus menunggu Ayah dan Bunda," katanya.

"Nanti Om yang hubungi, kamu nginap di tempat Om!"

Dudi biasanya menginap di Jakarta di rumah orangtua aku. Jadi  dianggapnya bukan hal aneh.

"Ayo kemasi bajumu!"

Dudi segera ke kamarnya dan kembali membawa tas ransel kecil. "Aneh, baju aku yang kemarin akan dicuci, sudah rapi dan harum," katanya.

"Aku antar ke Antapani, aku mau menginap di Braga?"

"Nggak mau!" jawab Sundari. "Mereka pasti tidak akan ada! Lalu aku dan Puti di sana bersama mahluk hijau itu? Aku ikut ke hostel itu."

Puti menatap Sundari. "Aku ikut yaah! Ambilkan bajuku, aku takut sendirian!"

Sundari mengangguk.

Namun Dudi menarik tangan Puti. "Ada baju anak perempuan di kamarku, siapa yang meletakannya ya? Mungkin ini baju  anaknya teteh Dina, yang menginap di sini."

Aku dan Sundari berpandangan.

Puti mengikuti Dudi dan dia menunjukkan tiga pasang baju yang persis ukurannya."Kayak bajuku, kok bisa di sini!"

Sundari memasukan baju Puti ke ranselnya. Lalu menarik tangannya. "Kita panggil Charles lagi?"

"Siapa lagi?"

Charles dan mobilnya datang kira-kira pukul empat sore, setalah kami salat asar.  Cukup menakutkan, sepertinya ada yang di belakang kami menjadi jemaah atau hanya mengawasi.

"Ke mana lagi? Bandung Indah Plaza? Ada, aku barusan mengantar orang ke sana dan ada beberapa orang yang semua bingung? Menara Panti Karya, nah itu yang mengejutkan. Tampil utuh seperti tahun 1970-an."

Aku tidak bingung lagi. "Mau mampir ke Palasari?"

"Ayoo!" kata Charles. "Aku tadi lewat sana, kios buku murahnya  ada dan buka, tapi nggak ada orang!"

Kami memang melihat kios buku palasari buka dengan buku-bukunya, terdapat beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang melihat buku. Mereka  memakai kaos  Unpad dan ITB. Mereka melihat ke arah kami dengan penuh ketakutan. Sementara dua orang yang menunggu kios duduk dengan santai. Seorang di antarnya membuka layar ponselnya dan memotret kami.

"Alhamdulillah ada!" ujar seorang di antara mereka.

Aku dan Sundari mengetahui maksudnya.  Kami mendekati yang memotret seorang mahasiwi.

"Kuliah di Unpad?" tanya Sundari.

"Iya, Fakultas Kedokteran, namaku Nurul. Ini teman-teman aku? Kemarin malam kami dalam perjalanan di  Punclut...naik motor berombongan!"

"Hujan lebat?"

"Iya! Tiba-tiba hujan lebat. Licin, kami melihat ada mobil yang dikejar mobil lain. Jahat banget dipepet dan mobil itu tergelincir. Kami ingin menolong, tetapi ada segerombolan  mahluk  menakutkan bisa terbang menyerupai kelelawar menyergap orang-orang yang memepet mobil itu?"

Aku dan Sundari berpandangan. "Lalu kalian?"

"Melarikan motor sejauh mungkin, ada satu mahluk mengejar kami. Sampai ada cahaya besar mengambil kami berenam dan tahu-tahu ada di tempat kos kami di Jatinangor," jawab seorang laki-laki bernama Roby.

"Kampus masih ada?"

"Ada, tetapi kami nggak bisa ke Sumedang, jalan ke sana tahu-tahu balik lagi ke Jatinangor, ngeri nggak?" sahut yang lain.

"Bisa ditebak? Baju kalian kering?" ujar Sundari.

"Betul teteh, baju di kos kami utuh. Buku-buku juga."

"Teteh dan Abang tinggal di mana?"

"Hostel di Braga untuk backpacker," jawab aku,

Tiga pasang mahasiswa itu berpandangan. "Kami ikut! Kampus menakutkan tidak ada orang!"

Akhirnya kami semua berada di hostel jalan Braga.  Seorang resepsionis menunggu. Seorang laki-laki tampaknya. Tidak bicara membuatkan slip dan memberikan kunci locker.

Kami semua memutuskan berada dalam satu ruangan besar yang isinya enam belas tempat tidur.  Sekitar pukul enam. Tapi matahari belum turun.

"Resepsionis itu?" tanya salah seorang mahasiswa.

"Sama seperti pedagang buku itu, yang wajahnya nggak pernah kita lihat dan di cermin nggak ada."

"Bibik di rumah sepupumu juga mereka," celetuk Sundari.

"Apa mau mereka? Menyerupai kita?" tanya mahasiswi lain bernama Dina.

"Agar kita tidak takut dan nyaman. Agar kita merasa seperti di habitat manusia," jawab Sundari.

"Mereka tidak jahat teteh?"

"Tidak tahu. Kalau aku tebak mereka menolong kita dari serangan mahluk itu dan manusia yang lain di kota ini diselamatkan dari bahaya yang lain."

"Jam tujuh, matahari belum terbenam juga, seperti di Eropa? Apa poros  Bumi bergeser?" mahasiswa yang lain bertanya.

"Jam makan malam, walau belum malam. Kita makan bersama?" ajak aku.

"Ke alun-alun, cari warung kaki lima, di mana tukang masaknya bisa kita lihat," usul Sundari.

Para mahasiswa itu menurut. Kami bersepuluh berjalan beriringan dengan penuh kewaspadaan. Lukisan-lukisan di Jalan Braga ada dipajang, tapi hanya ada satu penjual melihat kami dengan pandangan tajam.

"Aku yakin dia pengawas kita seperti halnya resepsionis itu," kata Intan, salah seorang mahasiswi. "Aku mahasisiwi senirupa, aku bisa melihat lukisan-lukisan tersebut antara satu kios dan kios lain sama. Nggak mungkin, kan?"

"Copy paste," sahut aku. "Kita berada di Bandung yang ada dicopypaste?"

"Sebatas mana? Siapa yang bisa membangun Bandung seperti copypaste, butuh waktu dan yang terpenting di mana kita? Dimensi lain?" Sundari sengit.

Puti menarik tangannya dan menunjuk sesuatu mahluk besar berwarna hijau di balik kaca jendela sumber hidangan. Aku ikut melirik bersama Sundari, juga Dina tetapi mahasiswi itu meminta kami terus.

Kami makan di warung kaki lima sekitar pukul 7.30 matahari baru mulai turun. Azan mahgrib berkumandang sayub.

"Di ponsel aku, azan mahgrib pukul enam tadi, juga siaran televisi."

"Anjrit!! Kita di planet mana?"

"Coba siaran radio?" tanyaku.

"Sama seperti televisi, siarannya berulang. Copypaste dan tidak ada update, seperti direkam, lalu diputar ulang."

Para mahasiswa itu juga mengalami hal yang sama. Kami saling memberikan informasi menguatkan.

'Setidaknya bukan hanya Adam dan Hawa ada di tempat ini," celetuk Sundari yang tampaknya menyindir aku.

Kami menemukan warung kaki lima dengan tenda besar. Hanya kami bersepuluh di situ. Dua pedagang melayani pesanan kami. Mereka benar-benar masak ayam goreng, usus goreng dan menyediakan lalapan yang kami pesan. 

Setelah makan,  delapan dari kami salat mahgrib di Masjid Agung dan dua lagi tampaknya bukan muslim menunggu di tangga dengan penuh kewaspadaan.  

Ada Imam di sana, yang mengaku juga terjaga di masjid itu.  Imam itu petugas masjid yang tengah malam kemarin dalam perjalanan ke Ciwidey ke tempat kerabatnya. Tapi motornya tergelincir karena hujan dan bangun-bangun ada di Masjid Agung.

Imam itu usianya sekitar 35 tahun di atas aku lima tahun. Dia memimpin sembilan orang, selain kami berdelapan, ada seorang perempuan berhijab usia sekitar  27 tahun juga ikut salat. Dia mengaku bernama Tuti Handayani, dosen muda Sekolah Tinggi Pariwisata yang kemalaman di kampus dan pulang tengah malam, naik angkot, tetapi ada tiga preman hendak berbuat jahat. Tapi sesuatu menggulingkan angkot itu dan dia ditarik oleh suatu cahaya dan tahu-tahu ada di rumahnya di kawasan Dewi Sartika.

"Nggak ada orangtua, sendirian?" tanya Sundari.

Dia mengangguk.

Kami berkeliling Bandung dulu.  Aku dibonceng Roby  salah satu mereka.  Sementara Sundari dibonceng Dina. Jalan Dago begitu sepi dan terasa menakutkan.  Lalu kami kembali ke hostel,

Malam itu begitu benderang.  Bulan purnama.  Seingat aku kemarin bulan masih sabit, nggak mungkin malam ini bulan purnama.  Sundari berjalan di samping aku dengan agak merengut.

"Aku tahu apa yang Kang Rivai pikirkan? Aku tadi memotret langit" Dia memperlihatkan foto ponselnya. "Bulan purnama itu ada tiga. Pantas terang sekali."

"Tapi kalau kita lihat langsung hanya satu? Apa dikamuflase langit oleh mahluk-mahluk itu?"

Seorang mahasiswa melakukan hal sama. Dia tampak pasrah. "Sudah jelas, bukan?"

"Bagaimana kawan-kawan kita coba ke  Tahura pagi besok, lalu jalan kaki  ke batas kota Bandung?"

"Mereka naik motor, kita panggil Charles lagi?"

 "Ke ATM dulu," kataku.

Aku ke  sebuah ATM di Jalan Braga dan memeriksa saldonya Rp1.254.000. Sisa uang. Aku ambil Rp500 ribu. Uang keluar dan saldo tetap Rp1.254.000.

"Persis seperti aku," celetuk Dina. "Hidup kita sudah difasilitasi dan sebetulnya uang itu tidak ada gunanya bagi mereka yang mengatur kita hanya agar kita merasa di habitat."

Aku nggak punya pilihan selain memanggil Charles untuk mengikuti para mahasiswa itu (Bersambung)

Irvan Sjafari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun