Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

1964, Mahasiswa Antropologi Unpad Jelajah Baduy

7 Oktober 2019   08:27 Diperbarui: 7 Oktober 2019   08:52 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada Oktober 1964, rombongan dari  Jurusan Antropologi Universitas Padjadjaran melakukan penjelajahan ke kawasan Baduy, Kabupaten Lebak.  Rombongan riset ini diketuai oleh Drs Singgih Wibisana dan Judistira K Garna disertai dosennya Drs Husein, Drs Said Raksakusumah, SA Basuki Sukanto yang mengasuh 24 mahasiswa dan lima mahasiswi tingkat sarjana muda. Rombongan membawa seorang tenaga medis dan Sekretaris Daerah Kotapraja Bandung  Kartiwa.

Rombongan mencapai Cikratrawana, daerah kedua Baduy Dalam setelah Cibeo.  Mereka jalan kaki dimulai dari Leuwidamar, kemudian menelusuri Kali Cisimeut, mengarungi perbukitan, mendaki Gunung Kiaralawang, Gunung Kibadira dan Gunung Pangelaran, termasuk Leuweung Larangan.

Meskipun rombongan tidak berhasil mencapai daerah angker Cikeusik, karena Puun Cibeo tidak mengizinkannya, mengingat keadaan jalan dan suasana alam untuk bisa dilalui, mereka berhasil mengumpulkan data-data tentang keadaan sosial dan religi orang Baduy.

Tujuan riset ini resminya untuk memberikan konstribusi bagi "nation building", menamamkan rasa persatuan sesuai dengan anjuran Bung Karno.  Namun bagi saya sendiri tujuh tulisan yang ditulis oleh wartawan Pikiran Rakjat bernama Bram MD pada Oktober 1964 mengungkapkan keadaan Masyarakat Baduy pada 1960-an, setelah tulisan saya tentang Sejarah Banten Selatan yang menyinggung masyakat ini era 1950-an (1). 

Perbedaannya  dibandingkan era sepuluh tahun sebelumnya, perjalanan ini dilakukan setelah keadaan keamanan di Jawa Barat boleh dikatakan sudah pulih.  Untuk pertama kalinya mahasiswa yang hidup dengan kultur perkotaan modern  yang disebut Bram sebagai penuh kegemerlapan tiba-tiba saja berhadapan dengan alam serba ketabuan.

Laporan itu mengungkapkan orang Baduy adalah pelarian dari Kerajaan Padjadjaran Prabu Siliwangi yang tidak dapat menahan desakan kerajaan Islam (Banten). Ada juga versi orang dari Banten Utara yang melarikan diri. Namun Puun berkata kepada mahasiswa:

"Kami mah tibarang meletek-meletuknja oge ti Nabi Adam asalnja diturunkeun didieubae"

Nama Baduy sebetulnya nama pemberian Kolonial Belanda yang menyamakan suku ini dengan Badewi di Timur Tengah yang suka berpindah-pindah,. Masyarakat ini menamakan diri mereka orang Tangtu, Orang Rajawan, atau kadang menyebut dirinya Orang Kanekes.

Baduy Luar

Ketika kaki kami diinjakan ke tanah Leuwidamar, 20 kilometer dari Rangkasbitung, matahari sudah menunjukan seperempat busur pagi. Seorang penunjuk jalan menuding ke tepi langit selatan, nun di sana di barisan gunung ketiga bemukimlah Suku Baduy yang menjadi obyek riset.

Tergetar hati ini, kuatkah kaki ini  mencengkeram lerang ketiga gunung di sana itu? Tiba-tiba ada mahasiswi putri yang bersemangat bertolak mendahalui.  

Maka seperti ada kekuatan gaib yang mendorong dari belakang , kaki dilangkahkan sambil sesumbar: masa kalah sama wanita! Tak ada jalan impala di sana, tak ada jalan gerobak, yang ada jalan setapak turun naik. Demikian antara lain Bram menulis laporannya.

Sore hari rombongan mulai masuk kawasan Baduy Luar (Rajawan) melalui pendakian hingga 80 derajat dan memegang tanaman alang-alang. Para mahasiswi berteriak: "Onward No Retreat".

Mereka tiba di Panamping (istilah untuk Baduy luar).  Tujuan mereka adalah Baduy Kajeroan yang meliputi Kampung Cibeo, Kampung Cikratawarna, Kampung Cikeusik, yang masing-masing dikepalai oleh Puun, seperti Djandol, Djaltje, dan Kais. 

Menurut laporan Bram, meskipun sedikti, kawasan Baduy luar masa itu sudah ada akulturasi.  Rombongan masih diperbolehkan merokok, mandi menggunakan sabun, mendengarkan radio, bernyanyi-nyanyi di mana di kawasan Kajeroan tidak diperbolehkan, karena "teu wasa".

Keganjilan sudah tampak di kawasan, seperti rumah panggung yang tak berjendela, bentuknya sama, menghadap satu arah,  berbaju hitam dan semua penduduknya buta huruf. Ketika ditanya mengapa mereka tidak mau bersekolah, mereka menjawab: buat apa pintar kalau tidak jujur?

Bram melanjutkan, rombongan singgah di rumah Jaro (semacam) lurah bernama Samin, di Kampung Kadujangkung, yang mengaku jalan kaki ke Rangkas sejauh 100 kilometer pulang pergi kalau "berdinas" dengan kaki telanjang.  Samin adalah penghubung poros Pemerintah dengan Puun-Puun atau masyarakat Baduy umumnya.

Pekerjaannya paling sulit karena selain menjadi penadah instruksi dari para Puun, Samin juga jadi penadah perintah dari Pemerintah.  Kadang kedua instruksi ini saling bertabrakan, karena instruksi dari Puun berdasakan adat dan agama, instruksi pemerintah berdasarkan logika dan undang-undang.

Tiba di Baduy Kajeroan.

Rombongan mendaki Gunung Pagelaran, gunung terakhir untuk mencapai Baduy Kajeroan. Awan hitam menutupi disertai hujan gerimis, jalan setapak licin mendaki 80 derajat dan menurun 20 derajat. 

Dalam laporannya Bram mengungkapkan Orang Baduy percaya roh manusia yang sudah mati menitis kembali kepada manusia keturunannya atau pada binatang. Roh yang belum menitis kembali kepada mahluk berkeliaran di Leweung Larangan, yang dianggap suci oleh masyarakat Baduy. Pada waktu itu hutan larangan masih penuh dnegan harimau, babi hutan dan ular.

Dia juga menulis orang Rajawan punya kebiasaan berjalan seorang-seorang dalam rombonga, berbaris seperti kereta api.  Kebiasaan ini berakibat jalan-jalan di daerah Baduy hanya selebsar setapak. Hingga sukar bagi orang luar untuk datang ke daerah Baduy,.

Setibanya di Cibeo matahari menyembul tipis dari awan. Kampung Cibeo hanya terdiri dari 30 rumah, terapit hutan di sekelilingnya. Berbagai larangan disampaikan seperti jangan mendekati rumah puun, jangan merokok, jangan mandi dengan sabun, jangan banyak bicara dan berkeliaran.  Pada waktu rombongan tiba, warga Cibeo masih bekerja di huma.  Yang tinggal mengintip dari lubang dinding.

Dalam percakapan Puun Cibeo Djandol mengatakan, apabila hutan larangan dibongkar, maka malapetaka akan menimpa daerah Baduy  atau Banten.  Sementara Kepala Jawatan Kehutanan telah menentukan bahwa hutan larangan sebagai kawan hutan tutupan.  Selain untuk menghormati orang Baduy, juga hutan itu tidak perlu diganggu karena merupakan sumber air dan menahan erosi.

Puun Djandol menuturkan, hasil pertanian di daerah Baduy sangat minim, karena dikutuk oleh Karuhunnja akibat adanya pelanggaran terhadap hutan larangan. 

Penyerobotan hutan dilakukan orang luar Baduy, sementara orang Tangtu sendiri daripada menyentuh hutan larangan, memilih menyewa tanah dari pemerintah di luar daerahnya untuk pertanian.

Luas hutan yang disebot pada waktu itu sekitar 500 hektare menurut Djaro Samin meliputi hutan di Gunung Hoe, Singaresik, Parigi, Wawangunan, Bukitbala, Bukitdamar dan Gedongan. 

Keluhan ini sudah disampaikan kepada Kartiwa, pejabat yang berada dalam rombongan. Selain itu 43 orang Tangtu sudah menghadap Bupati di Rangkasbitung untuk pemulihan hutan larangan ini.

Yang menarik, Bram mengungkapkan meskipun Puun orang yang disegani dan dihormati, tetapi sehari-hari dia adalah petani biasa yang bekerja paad siapa saja dan di huma siapa saja. 

Dia memberikan contoh pada masyarakatnya, seperti mencabut rumput yang tumbuh di antara tanaman padi muda dengan jemari. Itu dilakukan tanpa menggunakan alat.

Rombongan mahasiswa Unpad hanya sehari di Cibeo, mereka ingin melanjutkan perjalanan ke daerah Cikeusik, daerah Baduy Dalam yang paling regilius. Puun Cibeo sempat melarang karena jalannya sukar ditembus orang kota.  

Akhirnya mereka ke Kampung Cikratawarna, kampung kedua sebelum sampai ke Cikeusik. Suasana digambarkan agak menegang, karena Puun kurang mengizinkan.

Bram menceritakan, Kampung Cikrawarna suasananya terasa sedikit lebih angker dibanding dengan Cibeo. Hutan yang mengapit Cikrawarna, berjuraian menjilat atap rumah.  Tanah di hamparan kampung ini bersih, tak ada rumput yang tumbuh. Rumah sama bentuknya, konstruksinya sama tidak menggunakan paku.

Ketika rombongan mahasiswa singgah, keadaan sedang susah. Meskipun demikian tuan rumah tetap memberikan suguhan seperti pisang rebus muda. 

Bram dalam laporannya mengungkapkan, semenjak zaman kolonial orang Baduy selalu menyampaikan "Sebab", yaitu sekadar hasil huma kepada pemerintah setiap tahunnya, yaitu berupa pisang golek, talas, kukusan, kipas nasi, bakul  dan dulang.  Pada waktu itu "upeti" ini masih sering dilakukan penduduk Cibeo, Cikrawarna, Cikeusik.

Pakaian orang Baduy Kajeroan adalah putih-putih, termasuk ikat kepala. Mereka tidur berbantal kayu.  Yang berpakaian hitam-hitam umumnya orang Baduy luar.  

Mereka yang berpakaian hitam ini kerap  memakai golok kalau berpergian, tetapi tidak digunakan hanya untuk memotong kayu bakar. Mereka tidak boleh menjelek-jelekan orang lain.

Selama di Baduy para mahasiswa sempat belajar angklung dan menari dari penduduk. Kesenian orang Baduy luar hanya dimainkan dalam musim panen saja. Sementara alat musik di Baduy Kajeroan hanya kecapi yang panjangnya tidak sampai setengah meter dan suling yang hanya dibunyikan pada waktu tertentu saja.

Dalam penutup laporannya Bram menulis, Orang Baduy di dalam menjalankan pertaniannya percaya pada keberadaan Dewi Sri.  Menurut Puun Cibeo Dewi Sri (pada waktu itu) sedang menangis, terus-menerus karena menikah dengan orang yang tidak dicintainya, yakni dengan yang gagu. Karena itu hasil huma saat itu berkurang.

Menurut Puun Cibeo, padi kini pasangannya adalah "daluang", yang tidak berbunyi alias gagu. Ditafsirkan seperti ini, dulu pasangan Dewi Sri adalah uang logam emas/perak. 

Sekarang uang kertas yang tidak berbunyi.  Uang kertas kurang jaminannya sebagai mata uang. Itu yang menurut Puun Cibeo membuat Dewi Sri menangis terus.  Uang kertas disimbolkan sebagai gagu, yang membuat bulir-bulir padi tidak begitu bernas, sekalipun tanaman padi tetap hidup.

Sekalipun tidak terdidik dengan ilmu ekonomi modern, laporan itu memberikan pandangan kearifan lokal bahwa orang Baduy mampu mengkritisi kapitalisme modern. Nilai uang nilainya turun naik dan bahkan bisa tak bernilai. Pandangan itu kemudian terbukti.

Bram memuji kearifan lokal orang Baduy yang bisa melengkapi kepribadian Indonesia, seperti gotong royong, tidak rendah diri, meminta masalah diselesaikan dengan mufakat dan musyawarah, patuh pada pimpinan, berjiwa penolong dan tidak berbohong,

Bram mengkritik pemerintah yang tidak tegas apakah orang Baduy akan tetap dijadikan "museum" hidup atau di"upgrade" kan.  Kalau Revolusi (yang didengungkan Bung Karno waktu itu) tidak menghendaki suku yang terkebelakang, seharusnya pembangunan Lebak Selatan, khususnya Baduy memperoleh proritas yang berlipat.  Masyarakat Baduy harus dibangunkan dari tidurnya dan pendidikan harus cepat disuntikan.

Irvan Sjafari

Catatan Kaki:

  1.  https://www.kompasiana.com/jurnalgemini/551afcaca333111e21b65aaa/catatan-awal-sejarah-banten-selatan-1950-an-cerita-keterpencilan-cerita-orang-kenekes-dan-pantai-carita

Sumber:

Pikiran Rakjat, 12 Oktober 1964, 13 Oktober 1964,  19 Oktober 1964, 20 Oktober 1964, 21 Oktober 1964, 22 Oktober 1964, 23 Oktober 1964

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun