Maka seperti ada kekuatan gaib yang mendorong dari belakang , kaki dilangkahkan sambil sesumbar: masa kalah sama wanita! Tak ada jalan impala di sana, tak ada jalan gerobak, yang ada jalan setapak turun naik. Demikian antara lain Bram menulis laporannya.
Sore hari rombongan mulai masuk kawasan Baduy Luar (Rajawan) melalui pendakian hingga 80 derajat dan memegang tanaman alang-alang. Para mahasiswi berteriak: "Onward No Retreat".
Mereka tiba di Panamping (istilah untuk Baduy luar). Â Tujuan mereka adalah Baduy Kajeroan yang meliputi Kampung Cibeo, Kampung Cikratawarna, Kampung Cikeusik, yang masing-masing dikepalai oleh Puun, seperti Djandol, Djaltje, dan Kais.Â
Menurut laporan Bram, meskipun sedikti, kawasan Baduy luar masa itu sudah ada akulturasi. Â Rombongan masih diperbolehkan merokok, mandi menggunakan sabun, mendengarkan radio, bernyanyi-nyanyi di mana di kawasan Kajeroan tidak diperbolehkan, karena "teu wasa".
Keganjilan sudah tampak di kawasan, seperti rumah panggung yang tak berjendela, bentuknya sama, menghadap satu arah, Â berbaju hitam dan semua penduduknya buta huruf. Ketika ditanya mengapa mereka tidak mau bersekolah, mereka menjawab: buat apa pintar kalau tidak jujur?
Bram melanjutkan, rombongan singgah di rumah Jaro (semacam) lurah bernama Samin, di Kampung Kadujangkung, yang mengaku jalan kaki ke Rangkas sejauh 100 kilometer pulang pergi kalau "berdinas" dengan kaki telanjang. Â Samin adalah penghubung poros Pemerintah dengan Puun-Puun atau masyarakat Baduy umumnya.
Pekerjaannya paling sulit karena selain menjadi penadah instruksi dari para Puun, Samin juga jadi penadah perintah dari Pemerintah. Â Kadang kedua instruksi ini saling bertabrakan, karena instruksi dari Puun berdasakan adat dan agama, instruksi pemerintah berdasarkan logika dan undang-undang.
Tiba di Baduy Kajeroan.
Rombongan mendaki Gunung Pagelaran, gunung terakhir untuk mencapai Baduy Kajeroan. Awan hitam menutupi disertai hujan gerimis, jalan setapak licin mendaki 80 derajat dan menurun 20 derajat.Â
Dalam laporannya Bram mengungkapkan Orang Baduy percaya roh manusia yang sudah mati menitis kembali kepada manusia keturunannya atau pada binatang. Roh yang belum menitis kembali kepada mahluk berkeliaran di Leweung Larangan, yang dianggap suci oleh masyarakat Baduy. Pada waktu itu hutan larangan masih penuh dnegan harimau, babi hutan dan ular.
Dia juga menulis orang Rajawan punya kebiasaan berjalan seorang-seorang dalam rombonga, berbaris seperti kereta api. Â Kebiasaan ini berakibat jalan-jalan di daerah Baduy hanya selebsar setapak. Hingga sukar bagi orang luar untuk datang ke daerah Baduy,.