Setibanya di Cibeo matahari menyembul tipis dari awan. Kampung Cibeo hanya terdiri dari 30 rumah, terapit hutan di sekelilingnya. Berbagai larangan disampaikan seperti jangan mendekati rumah puun, jangan merokok, jangan mandi dengan sabun, jangan banyak bicara dan berkeliaran. Â Pada waktu rombongan tiba, warga Cibeo masih bekerja di huma. Â Yang tinggal mengintip dari lubang dinding.
Dalam percakapan Puun Cibeo Djandol mengatakan, apabila hutan larangan dibongkar, maka malapetaka akan menimpa daerah Baduy  atau Banten.  Sementara Kepala Jawatan Kehutanan telah menentukan bahwa hutan larangan sebagai kawan hutan tutupan.  Selain untuk menghormati orang Baduy, juga hutan itu tidak perlu diganggu karena merupakan sumber air dan menahan erosi.
Puun Djandol menuturkan, hasil pertanian di daerah Baduy sangat minim, karena dikutuk oleh Karuhunnja akibat adanya pelanggaran terhadap hutan larangan.Â
Penyerobotan hutan dilakukan orang luar Baduy, sementara orang Tangtu sendiri daripada menyentuh hutan larangan, memilih menyewa tanah dari pemerintah di luar daerahnya untuk pertanian.
Luas hutan yang disebot pada waktu itu sekitar 500 hektare menurut Djaro Samin meliputi hutan di Gunung Hoe, Singaresik, Parigi, Wawangunan, Bukitbala, Bukitdamar dan Gedongan.Â
Keluhan ini sudah disampaikan kepada Kartiwa, pejabat yang berada dalam rombongan. Selain itu 43 orang Tangtu sudah menghadap Bupati di Rangkasbitung untuk pemulihan hutan larangan ini.
Yang menarik, Bram mengungkapkan meskipun Puun orang yang disegani dan dihormati, tetapi sehari-hari dia adalah petani biasa yang bekerja paad siapa saja dan di huma siapa saja.Â
Dia memberikan contoh pada masyarakatnya, seperti mencabut rumput yang tumbuh di antara tanaman padi muda dengan jemari. Itu dilakukan tanpa menggunakan alat.
Rombongan mahasiswa Unpad hanya sehari di Cibeo, mereka ingin melanjutkan perjalanan ke daerah Cikeusik, daerah Baduy Dalam yang paling regilius. Puun Cibeo sempat melarang karena jalannya sukar ditembus orang kota. Â
Akhirnya mereka ke Kampung Cikratawarna, kampung kedua sebelum sampai ke Cikeusik. Suasana digambarkan agak menegang, karena Puun kurang mengizinkan.
Bram menceritakan, Kampung Cikrawarna suasananya terasa sedikit lebih angker dibanding dengan Cibeo. Hutan yang mengapit Cikrawarna, berjuraian menjilat atap rumah. Â Tanah di hamparan kampung ini bersih, tak ada rumput yang tumbuh. Rumah sama bentuknya, konstruksinya sama tidak menggunakan paku.