Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

1964, Mahasiswa Antropologi Unpad Jelajah Baduy

7 Oktober 2019   08:27 Diperbarui: 7 Oktober 2019   08:52 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika rombongan mahasiswa singgah, keadaan sedang susah. Meskipun demikian tuan rumah tetap memberikan suguhan seperti pisang rebus muda. 

Bram dalam laporannya mengungkapkan, semenjak zaman kolonial orang Baduy selalu menyampaikan "Sebab", yaitu sekadar hasil huma kepada pemerintah setiap tahunnya, yaitu berupa pisang golek, talas, kukusan, kipas nasi, bakul  dan dulang.  Pada waktu itu "upeti" ini masih sering dilakukan penduduk Cibeo, Cikrawarna, Cikeusik.

Pakaian orang Baduy Kajeroan adalah putih-putih, termasuk ikat kepala. Mereka tidur berbantal kayu.  Yang berpakaian hitam-hitam umumnya orang Baduy luar.  

Mereka yang berpakaian hitam ini kerap  memakai golok kalau berpergian, tetapi tidak digunakan hanya untuk memotong kayu bakar. Mereka tidak boleh menjelek-jelekan orang lain.

Selama di Baduy para mahasiswa sempat belajar angklung dan menari dari penduduk. Kesenian orang Baduy luar hanya dimainkan dalam musim panen saja. Sementara alat musik di Baduy Kajeroan hanya kecapi yang panjangnya tidak sampai setengah meter dan suling yang hanya dibunyikan pada waktu tertentu saja.

Dalam penutup laporannya Bram menulis, Orang Baduy di dalam menjalankan pertaniannya percaya pada keberadaan Dewi Sri.  Menurut Puun Cibeo Dewi Sri (pada waktu itu) sedang menangis, terus-menerus karena menikah dengan orang yang tidak dicintainya, yakni dengan yang gagu. Karena itu hasil huma saat itu berkurang.


Menurut Puun Cibeo, padi kini pasangannya adalah "daluang", yang tidak berbunyi alias gagu. Ditafsirkan seperti ini, dulu pasangan Dewi Sri adalah uang logam emas/perak. 

Sekarang uang kertas yang tidak berbunyi.  Uang kertas kurang jaminannya sebagai mata uang. Itu yang menurut Puun Cibeo membuat Dewi Sri menangis terus.  Uang kertas disimbolkan sebagai gagu, yang membuat bulir-bulir padi tidak begitu bernas, sekalipun tanaman padi tetap hidup.

Sekalipun tidak terdidik dengan ilmu ekonomi modern, laporan itu memberikan pandangan kearifan lokal bahwa orang Baduy mampu mengkritisi kapitalisme modern. Nilai uang nilainya turun naik dan bahkan bisa tak bernilai. Pandangan itu kemudian terbukti.

Bram memuji kearifan lokal orang Baduy yang bisa melengkapi kepribadian Indonesia, seperti gotong royong, tidak rendah diri, meminta masalah diselesaikan dengan mufakat dan musyawarah, patuh pada pimpinan, berjiwa penolong dan tidak berbohong,

Bram mengkritik pemerintah yang tidak tegas apakah orang Baduy akan tetap dijadikan "museum" hidup atau di"upgrade" kan.  Kalau Revolusi (yang didengungkan Bung Karno waktu itu) tidak menghendaki suku yang terkebelakang, seharusnya pembangunan Lebak Selatan, khususnya Baduy memperoleh proritas yang berlipat.  Masyarakat Baduy harus dibangunkan dari tidurnya dan pendidikan harus cepat disuntikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun