Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel | Koloni (46)

16 Juni 2017   16:38 Diperbarui: 16 Juni 2017   16:42 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi by irvan sjafari

Kapten Maulana menyuruh  aku mengikutinya. Aku langsung menghidupan sepeda motor Ciung Wanara mengikuti jip yang dikawal ketat.   Perintah segera meninggalkan Kota Bandung. Pasukan tidak siap menghadapi pasukan lawan.

Namun aku memilih naik ke atas  Jembatan Pasupati.  

Aku bertemu Sersan Dua Marinir Hendri Sihombing,  Sersan Mayor  Iqbal “che” Prakoso dan Kapten  Eduardus Aryono (Edo)  sedang mengendarai jip bersama teman perempuan mereka  Tuti Utami  melintas di jalan layang Pasteur ketika kami  melihat  puluhan payung mendarat di atas atap rumah sakit Hasan Sadikin dan sebagian lagi berada di atas jembatan layang  mendarat dan melepas tembakan.  

Kami juga melihat pesawat tempur melayang di atas Bandung menuju Lanud Husein Sastranegara. Jip kedua berisi empat prajurit marinir bersiaga bersama Edo stelling.  Aku berlindung di balik sebuah mobil yang penghuninya melarikan diri karena bannya pecah karena tembakan.

Pukul sepuluh malam.   Lanud Husein Sastranegara dihujani bom.  Beberapa pesawat yang parkir berkeping-keping.  Meriam penangkis udara segera bereaksi. Sebuah pesawat kena dan jatuh menimpa perumahan.  Tetapi meriam penangkis itu juga dihancurkan.  Demikian pesan yang masuk ke ponsel aku dari Rahmi.

Tembak menembak terjadi di jalan layang.  Eduardus Aryono berhasil menjatuhkan seorang serdadu payung sebelum dia sendiri tertembak di pahanya.  Iqbal dan Hendri mencoba  menolong, tetapi Edu menyuruh mereka melarikan Tuti dengan jip dan dia memilih steling dengan luka di dada di balik sebuah mobil yang terhenti, karena supirnya tertembak mati.  Tetapi perlawanannya hanya beberapa menit ketika sebuah granat menghancurkan mobil itu.

Aku segera melarikan motor aku di bawah hujanan tembakan. Dari pengaras suara aku mendengar suara dalam Bahasa Indonesia logat Amerika.

“ Mulai besok pagi Presiden di negeri ini hanya  Dhimas Harris! Aku Kolonel Luca menanti siapa jago kalian!”

Aku bergerak menuju alun-alun melalui Jalan Braga.  Yang aku tahu  Kang Opik sedang di sana di Gedung Merdeka memberikan ceramah pada para mahasiswa.

Mayor Ahmady dan satu peleton marinir melarikan Taufik Mulyana dengan tiga  buah jip .  Satu peleton lagi mengadakan steling sekitar gang-gang dan atap bangunan di Braga hingga terjadi tembak menembak.   Pasukan Dhimas Eko kehilangan tiga  serdadu di Braga dan Alun-alun dan tiga orang lagi di Wastukencana dan Merdeka.

“Ibu Esti di Pangandaran, Pak Presiden,” ujar Ahmady. “Keluarga Anda juga aman.  Sebagian pasukan saya membuat steling di Cicendo di istana gubernuran seolah keluarga di sana. Ibu  Dewi Tania sedang ada di Yogyakarta, tetapi kota itu saya perkirakan juga diserang.  Komunikasi kita putus.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun