Polemik perpisahan sepertinya tak pernah muncul di sekolah kami. Justru, perpisahan menjadi agenda bersama yang selalu dinanti. Momen ini bukan sekadar seremoni belaka, melainkan sebuah perayaan penuh makna yang mengabadikan memori persahabatan, memperlihatkan dukungan orang tua, dan menyatukan suka cita bersama.Â
Dari sudut pandang kita, guru maupun orangtua, perpisahan mungkin terasa sebagai sesuatu yang tak terlalu penting. Kerap dianggap pemborosan biaya, minim makna.Â
Toh, ini bukanlah akhir dari segalanya. Justru sebaliknya, inilah awal perjalanan panjang mereka sebagai individu dewasa yang tengah mencari arah hidup.
Lalu, kenapa harus ada acara perpisahan?
Yah, kita bisa maklum. Sebab, ini memang momen mereka. Maka alasan-alasan rasional yang kita bangun sering kali tak cukup kuat untuk membendung semangat euforia mereka merayakan satu pencapaian besar, lulus sekolah!
Selama bertahun-tahun terlibat dalam urusan kesiswaan dan tim anggaran sekolah, saya menyaksikan sendiri bahwa perpisahan sudah menjadi semacam ritual wajib bagi siswa-siswi kelas XII.Â
Bukan dari dorongan guru, apalagi kebijakan sekolah sepihak. Justru yang paling getol mengusulkan agar kegiatan ini tetap ada adalah para siswa itu sendiri.
Bagi mereka, perpisahan bukan sekadar seremoni. Ini adalah penanda emosional, momen menguatkan jalinan pertemanan yang terbentuk selama tiga tahun, saat mereka saling bertemu, bercanda, berbagi cerita, dan tumbuh bersama di lingkungan yang sama. Perpisahan jadi panggung terakhir untuk mengabadikan kebersamaan mereka dalam satu kenangan yang utuh.
Selain itu, ini juga bentuk perayaan atas pencapaian akhir mereka, baik secara akademis maupun kontribusi mereka selama di sekolah.
Syukurnya, di sekolah kami, perpisahan tak pernah menjadi persoalan besar. Tidak diperdebatkan. Tidak menjadi beban. Sekolah menjadi wadah yang mendukung dan menyalurkan aspirasi siswa, sementara para orangtua pun terlibat sebagai pihak yang turut memberi restu dan dukungan, termasuk dalam urusan pendanaan.