Mohon tunggu...
SIAHAAN JUNIOR TERNAMA
SIAHAAN JUNIOR TERNAMA Mohon Tunggu... Freelancer - aku adalah Tanah

Baca dengan mata/rasa dengan pikiran/karena aku adalah tanah yang mendambakan bacaan dan tulisan/ karya sastra sebagai bumbu kehidupan///Onesimus

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

GadisMu I

13 Juli 2022   16:54 Diperbarui: 13 Juli 2022   17:00 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Oh ya sudah kalau gak tahu. Kupikir kamu tahu Bu Guru." Sambil kubawa dia mengingat kata mulia itu. Kudoakan selalu agar kelak menjadi Guru Profesional di Ibu Pertiwi. Sayangnya, ia didikte oleh sang Ayah untuk menjadi Dosen atau Guru Besar di sebuah Universitas yang dianggap sebagai doktrin yang membanggakan dan membuat garis baru dalam sejarah Keluarga, dengan mengkomparasikan tertera pada kalimat, "Iya Juma, di Keluarga besarku sudah banyak yang jadi Guru. Harus ada peningkatan dong Jum. Itu sih kata Bapakku Jum." Seharusnya peningkatan status tersebut baik. Namun, harus dilihat dahulu. Guru walaupun sudah banyak, pendidikan masih sama dan tak bertolak bahkan maju melangkah pun tak signifikan. "Kamu harus jadi Guru saja, itu saranku loh. Keprofesionalanmu merupakan peningkatan profesi seorang guru yang bertanggungjawab kepada Tuhan. Itu akan merubah perspektif dunia Guru. Profesi guru itu mulia bagiku,. Kamu jadi Guru aja ya lusa dan seterusnya. Sekarang ini aku rela jadi siswamu." Dengan wajah memelas aku memohon agar ia mematangkan saran Ayahnya. Semua baik dan semua rencana memiliki tujuan yang bermanfaat bagi Manusia dan Tuhan.

"Terus hukuman Integral tadi gimana, Jum? Jelaskan dong ke aku biar aku tahu."

"Males ah, gak penting haha." Jawabanku membuatnya semakin sinis, tapi wajahnya yang Jawa itu tetap manis, anggun, dan ayu dengan guratan senyum yang tak pelit ditambah kolaborasi kedua bola mata menyempit-menyipit. Memacu gerakan jantungku, terdesak, kuat pikirku untuk tak menyentuh dan menyakiti GadisMu.

"Jadi gini loh" sambil kuambil pena dari kantong celana kiriku. "Kan kalau integral itu posisinya ginikan" kuajak ia komunikasi imajinasi, lalu kugerakkan pulpen yang ada di jari-jari kananku, lalu menggambarkannya di udara, supaya ia yang menangkap dapat memahami gambar apa yang sedang kulakukan.

"Sudah paham belum?"

"Belum, Juma ih." Katanya malu-malu sambil menunduk tak tahan melihat crewetnya aku yang memerankan sebagai Guru laki-laki di Warung Bu Marno.

Lalu kucoba membuka tutup pena itu dan kubuka telapak tangan kiriku, kutuliskan lambang dari integral. "Ini loh integral itu, bukan? Coba kamu tuliskan simbol integral? Mana tahu versimu dan versiku berbeda, ya kan?" kuserahkan pulpen itu ke tangannya dan ia pun mulai menjatuhkan ujung pena tersebut ke kulit telapak tanganku. Kurasakan tarikan ujung pena itu, ada cinta yang tak terungkapkan di dalam sebuah ruang hitam, sekilas sangat cepat disantap terang yang datang sesukanya emnindas gemerlap malam.

"Kok aku beda ya. Integralku juga gini, Dosenku gak nyalahin. Jadi kebiasaan Jum." Ia membuat lambang integral itu menjadi terbalik, "lah kok beda sama yang kutulis. Aku ingat itu ya seperti ini. nanti kita pastikan lagi deh, siapa yang benar dari kedua versi." Memperingkas agar debat tak semakin padat.

GadisMu hanya senyum-senyum malu. "Jadi posisi Integral ini merupakan hukuman terbaik yang pernah diberikan Kakak kelas saat masih di SMA. Tangan brada di depan kepala dengan posisi membengkok mirip ular, seperti ini loh." Sambil aku memperagakannya dan menjelaskan. "Lalu kaki kita diangkat ke atas satu saja, kiri atau kanan, dan dibengkokkan."

"Iya, aku paham sekarang." Senyumnya puas setelah mendapatkan jawaban.

"Juma, aku itu gak tahan kalau disuruh nampar orang. Tapi dipaksa, waktu latihan (organisasi garis keras), tapi harus ya mau gimana lagi."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun