Mohon tunggu...
SIAHAAN JUNIOR TERNAMA
SIAHAAN JUNIOR TERNAMA Mohon Tunggu... Freelancer - aku adalah Tanah

Baca dengan mata/rasa dengan pikiran/karena aku adalah tanah yang mendambakan bacaan dan tulisan/ karya sastra sebagai bumbu kehidupan///Onesimus

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

GadisMu I

13 Juli 2022   16:54 Diperbarui: 13 Juli 2022   17:00 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kubuka bajuku, kutanggalkan celanaku, hingga bagian terdalam dari yang tak terlihat menggelantung sama seperti saat aku masih anak-anak.       Namun, kali ini sedikit terhormat, lewat usia yang bertambah aku sudah mandi sendiri, berdiri sendiri, bangun sendiri, berdiri di kaki sendiri. Semua berkat disiplin Ibu yang selalu marah di kala aku hidup tak beres, kotor, berdaki, bau, bahkan pernah tak mandi seminggu dua minggu lebih saat Ibu pergi.

Kubasuh semua tubuh dewasaku dari ujung rambut hingga ujung kuku. Mataku masih berat untuk mengiyakan apa katamu. Pagi, Kamis ini aku harus pergi ke sebuah ruang penuh kursi, dengan satu meja khusus berada di depan, kursi-kursi berisi komputer di susun sedemikian rupa agar terlihat rapih oleh mata memandang, di atas bagian depan berdempetan dengan dinding tebal, ada sebuah kanvas putih lebar mengaum-ngaum mengingatkan aku akan pesan berisi perkataan kesepakatan mendadak bersamamu pagi tadi. Ingin kulahap kanvas iyu kalau tadinya berwarna coklat sedap, sayang tak dapat kulahap. Mataku dipaksa untuk fokus ke kanvas putih yang menampilkan berbagai macam kata dan huruf matematika, mau tak mau aku harus patuh agar aku mengerti bagaimana nanti bertahan menghadapi inti dari permasalahan, sebelum api kembali padam. Rasa kantukku mulai menghilang, perlahan aku tak mengingat kata-katamu pagi tadi, kupikir itu hanya sebuah candaan. Karna tlah kujelaskan, bukan? Aku memiliki jeda waktu antar kelas yang sangat singkat. Aku takut, aku tak dapat menahan gejolak relativitas milik Mbah kita, Einsten, sebentar bersama gadis ayu adalah hal yang mematikan, berlawanan dengan kondisi ketika aku di mana tungku panas menjadi alas bokongku untuk duduk bersamamu.

Selesai membasahi seluruh pernak-pernik tubuhku, kukenakan baju yang telah kupilih dari lemari tua kusam coklat hitam beserta sebuah celana jeans hitam. Laki-laki kumal berdaki, masih sebuah penghargaan pahit dan pantas kukalungkan pada diriku. Tanpa kusisir rambut hitam kaku ini, kulangkahkan kaki dan menunduk mengambil tas berisi mesin tik yang akan selalu kubawa ke mana pun aku pergi untuk menuliskan kisah-kisah suara hati lingkungan sekitar di mana aku duduk dan berdiri.

Malah///

Dia yang datang padaku/

Aku gerogi dan malu/

Janjiku selama ini diam dan mati/

Kampus bercat biru menjadi teman baru bisu menikmati hati suka manisnya/ Kamis sinis///

Gadis sedayu melangkah maju mendahuluiku/

Aku malu//

Sudah hampir putus warasku/

Apakah Kamis sedang mempermainkanku///

Berawal dari sebuh lagu, berjudul Kangen. Tak tahu aku lagu itu milik siapa. Pantas lagu ini milik suara yang menyanyikannya mendekati malam kemarin, sebuah rasa yang memiliki kerinduan, sempurna jika rasa dan liriknya sama. Lembut serta vibrasi suara yang bagus dan berimbang porsinya. Keinginan yang berisyarat pada seseorang yang belum terbaca maksud dan tujuannya. Terbentuklah percakapan-percakapan matang yang membawa pada sebuah kesepakatan yang melangkahi waktu untuk bertemu di sebuah titik koordinat yang tak terpikirkan jauh sebelumnya. Kuiyakan pertemuan itu, kusertai sebuah urutan waktu yang harus kulalui hari Kamis ini. Ia malah menolak untuk membatalkan, memang harus bertemu dan bertemu. Dua jam ungkapnya cukup untuk melihat dan bertatap senyum di samping alasan lain untuk mengenali Almamater dengan tiang-tiang pilarnya berwarna biru. Tak pernah terencana baik sebelumnya, Tuhan telah berkehendak, apapun terjadi ini merupakan GadisNya yang diperkenalkan lewat peristiwa Dunia pada Kamis sinis itu.

Aku pun telah melewati beberapa pepohonan di pinggiran jalan menuju Almamater yang kubanggakan. Langit cerah berwarna biru, seakan-akan gedung dan langit itu berjanji pagi ini untuk bersama memadu warna indah. Aku telah menjatuhkan bokongku ke kursi kayu dengan warna coklat kilat hasil pernisan para tukang yang lihai memainkan warna. Masih kepikiran, apakah ia akan benar-benar datang?

Kuabaikan, kini mataku menatap kanvas putih yang tiba-tiba berganti warna diimbangi oleh suara getar berisi laki-laki muda di depan sana. Setelah kanvas putih padam, kulanjutkan pekerjaanku memadamkan api, mataku tertuju ke layar monitor komputer. Kukejar waktu, berlari kebirit-birit padahal tak ada kejelasan yang akan kutemui di sana. Alat komunikasiku baru saja mati, daya sudah habis. Pagi tadi tak sempat kucolokkan agar kenyang oleh listrik.

Pukul 9.53 kudapati Gadis itu baru saja menghubungiku. Kucek pesan singkat darinya, "Jumaaa...aku otw ya ".

"Ya Tuhan, GadisMu mendahului rencana sibungsuMu." Terjingkat-jingkat hatiku merasakan kebahagiaan matang melewati batasan waktunya. Telah lama waktu menolakku untuk melihat bola mata indah yang penuh cinta. Ia adalah calon Guru mulia yang dicintai anak-anak didiknya. Sehari tidak memandu pelajaran Matematika, pasti akan dicari oleh mereka. Dia ada dengan perbuatan yang menyenangkan dalam setiap cara mendidik dan mengajarnya. Aku percaya dan yakin, pasti Perempuan muda itu merupakan anak GadisMu.

Pemberitahuan telah sampai padaku, aku pun menjemputnya ke Gapura utama. Di sana terdapat sebuah Tugu dengan ornamen utama seekor Burung tergagah menghempaskan sayap kekarnya dan menengadahkan kepala menjulang tinggi ke langit, seakan-akan hidup berkata "Kuasai teknologi dan kedirgantaraan untuk menguasai Dunia" kalimat yang harus berdengung dalam pikiran, buah pikiran oleh filsuf Ir. Soekarno disampaikan kepada Angkatan Udara Republik Indonesia pada jaman itu. Namun, sayang sekali pemrakarsa Tugu tersebut tidak menyitir filsafat itu dengan nama jelas filsufnya. Hal itu yang membuat pembacanya hanya mampu mengecap dan tak mampu mengilhami dalam implementasi kenyataannya, bahkan sebagian teman-teman Mahasiswa menyebut Tugu bertuliskan kalimat itu sebagai "Tugu Burung Mprit-prit."  Sambil berbicara, "Kamu di mana sih? Aku di Gapura ini." Tanyaku peka padanya, khawatir warga teritorialku melihat dan biasanya memviralkan di manapun ketika bertatap muka.

"Baju Juma warna kotak biru? Lihat ke belakang Juma" kutolehkan mataku ke sana. Ternyata Gadis Sedayu itu berjarak lima meter dari sisiku dengan waktu tempuh lima belas detik untuk mendekat padanya, tak jauh dari Gapura dan Tugu itu berada. "Hallo, kamu nekat, sumpah. Datang jauh-jauh dari Barat ke Timur untuk bertemu." Langsung saja kumuntahkan kalimat itu dari pikiranku.

"Aku udah gak ada kelas Jum. Jadi aku main ke Almamater kamu. Mau main dan lihat-lihat saja Juma. Nah, setelah ini aku akan ke rumah sahabatku, Juma." Jawaban lembut dari GadisMu kamis itu, suara khas berlogatkan Jawa, namun bukan Priyayi. Ia anggun dan memberikan pesona positif saat aku didekatnya. Keguruannya memang sudah tercermin sejak lama. Pantas, ia memang dibenarkan menjadi Guru di masa depan bagi anak-anak Indonesia di wilayah remote area Republik Indonesia.

Dalam gerak bibir dan batinku, "Aku masih bertanya pada Tuhan yang Tritunggal itu. Kenapa GadisMu ayu sekali. Bola matanya serta senyumnya menyejukkan udara sekelilingku. Panas terik matahari pun tak kena lagi pada kulitku yang hitam legam. Bisik-bisik ini, aku harus apa, Mak ahhh" eranganku di dalam sana.

Ia masih duduk di atas motornya, sedangkan aku masih keringat dingin, tak tahu kebenaran apa yang harus akan kulakukan. Di bawah Gapura ini lagi-lagi kubiarkan ia menikmati sekaligus menyaksikan kebodohanku. Aku kaku, tak terbiasa bertemu Perempuan ayu seperti GadisMu. Senyumnya yang ramah membuat suasana diriku selalu diiringi Kareta-kareta kencana dari negeri antah-brantah dengan nyanyian pujian pada seorang pujangga. Rasa syukur tak lepas kupanjatkan pada Dia yang merencanakan segalanya.

"Kuingat lagi tujuan beliau ke sini. Kutawarkan opsi lain. Jujur saja aku tak bisa membawamu ke area luas disekitar sini. Semua mata akan menyapu aku dan kamu. Pasti beribu tanda tanya mengaung di hati mereka, sorak-sorai serta elu-eluan akan bergema. Bukan sebuah gangguan, tapi aku tak ingin gadisMu merasa tak nyaman atas penyambutanku sebagai tuan rumah. Benar saja, lihat nanti, senyumku. Ayo kita ke dalam saja ya."

"Ayok Jumm. Nah," sambil diserahkannya kunci motor itu ke tanganku, memerintahkanku sebagai pendekar prianya Kamis itu. Belok ke kiri kukendarai kendaraan itu. Di belakang ada Gadis itu, aku suka, aku mulai jatuh cinta pada kebesaranMu. Tapi bagaimana, teman-temanku akan melihat. Warna-warni akan kumulai, biarlah. Biarkan semua bercampur menjadi warna abstrak yang akan bercerita dengan sendirinya. Di atas motor itu, dia mengatakan bahwa ia pernah lewat sekali waktu di atas jalan ini, menuju Gereja Katolik yang ada di dalam komplek ketika masih duduk di bangku SMA. Aspal hitam jalanan itu tampaknya bekerja sama denganku, mereka berbicara, "Pijaklah aku, wahai pemuda yang sedang jatuh cinta. Aku takkan berubah sekali pun menjadi coklat. Kami juga berbahagia,dan mengiringimu hingga engkau sampai pada tujuan akhirmu." Akhirnya kami sampai di parkiran, disambut oleh seorang rekan yang dikenali ia dan daku. Sorak-sorai menjadi-jadi, apa yang salah denganku atau dengannya? Kami hanya berteman laiknya biasa. Seru sih, tapi wajahku memerah tak mampu menanggung malu. Ia pun sama kupikir jua. Lalu Gadis itu kembali mendapati motornya, membuka jaketnya,ia memaki kaos tak berkerah. "Tak apa-apa ini Juma?" lanjutnya bertanya padaku khawatir jika pihak keamanan Almamaterku akan menangkapnya, "Nanti kalau ditanyai, kan aku sebagai guidemu, tinggal jawab gini'Gadis ini bakal calon Mahasiswa baru 2019 Pak. Sedang observasi fasilitas Almamater' hehe." Sambil tertawa aku berkata demikian.

"Sekarang kita keliling dulu ya, kan kamu biar tahu dulu isi daerah ini." Lalu kuajak ia berkeliling, kupersilahkan ia berjalan dahulu. Jalanan setapak di sudut gedung itu berpasir dan mengeluarkan abu dikarenakan gesekan antara telapak sepatu dengan tanah yang tak disiram hujan sejak seminggu lebih lalu.

"Kamu kok cepat banget jalannya, Juma. Sabar dong" Gadis manja, memaang dia benar Perempuan yang diciptakan Tuhan untuk melengkapi kekurangan dari pendekar laki-laki. "Lah kan aku sekarang guidenya kamu. Ikutin aku. Ayoo!" Sambil aku memulai memberi tahu, "Di sisi Barat ini Gedung kegiatan belajar mengajar diberi nama Gedung Halim Perdana Kusuma. Nah, kalau yang ini nama Gedungnya tidak ada, ini Perpustakaan kami. Di dalamnya ada aku, kalau kamu cari rindu ke sini saja. Di sisi Perpus ini Gedung staf kemahasiswaaan dan registrasi Penerimaan Mahasiswa Baru." Kami menyusuri ke bagian depan Gedung, "Ini Gedung rektorat kalau di tempatmu, kalau di sini pimpinan tertingginya adalah Ketua. Ini Gedung Agustinus Adisutjipto, selain itu Gedung ini juga diduduki oleh dua Kepala Departemen." Kutatap wajahnya, aku sudah banyak bekata-kata, ia hanya mengiyakan apa yang telah kujelaskan, teriknya Matahari ditambah langkah kakiku yang terlalu panjang untuknya, ia pun kelihatan lelah namun bersemangat dan aktif mendengarkanku, sungguh  GadisMu pun dapat berlaku menjadi seorang murid dihadapan Guru, mendengar dengan seksama dan berusaha memberikan respect yang baik. Laiknya mengikuti kelas Museum yang dipandu oleh guide yang ganteng nan hitam legam ditambah rambut kumal yang tak terbiasa disisir rapi. Kuajak ia berjalan menuju ke Timur, di sana ada Hanggar yang berisi beberapa pesawat sebagai bahan praktikum. Kujelaskan satu persatu, ntahlah apa yang ditangkapnya, aku pun tak tahu. Intinya agar ia mencapai tujuannya terlebih dahulu, "Kata kamu, mau tahu isi Alamamaterku. Ayok kita bergerak ke arah sana." Civitas akademika lumayan sunyi, tampaknya Kamis sinis menjaga wibawa kejombloanku selama ini.

Kami pun mengarah ke Barat, di sana berderet gedung mini unit kegiatan mahasiswa, untung saja hanya ada sedikit manusia di sana. Sedikit juga yang mengenalku, ya setidaknya kalem akan kegiatanku siang itu. Kukenalkan satu persatu, lalu ia melemparkan senyum ke siapa saja.

Rambut tak sebahu kepang dua itu milikku, benar Tuhan?///

GadisMu//

Kamis manis setelah kelas vokasi numerik berkuasa sirik/

Cepat//

Waktu berlalu/

Bertemu kembali/

GadisMu/

Bintik hitam menjadi simbol//

Baja melebur kembali/

Jatuh cinta, jangan?//

GadisMu/

Aku terobati///

Ia kujumpakan kepada beberapa orang yang sebelumnya pernah bertemu. Ia mengaku lupa dan tak tahu menahu. "Ya ampun, jadi kamu hanya mengenaliku seorang?" Ia tertawa ayu, benarlah ia memang GadisMu dari Sedayu.

Sesuai rencana, kuajak ia pergi keluar dari halaman Almamater. Kami menuju ke Parkiran dan ia janggal, mengingat alat komunikasi genggamnya ketinggalan di sepeda motor. Aku berlari ke parkiran, seakan-akan benda itu lebih penting, ia pun kutinggalkan, aku khawatir kehilangan. Puji Tuhan, masih ada di sana. "Makanya naruh barang jangan asal. Sembarangan ihh kamu" kataku sewot pada GadisMu.

Dengan menunggangi sepeda motornya, kami melewati gerbang Sekolah. Kusapa Bapak Satpam yang fasih mengenalku. "Aah pasti beliau juga pernah muda. Urusan belakang apa kata dia dan mereka. Tak takut pada manusia. Cuma gerogi saja dengan dia GadisMu yang membuatku jadi jatuh cinta dan tak mampu sistem tubuhku mengatur pola pernapasan, selalu terdesak bergejolak."

Ideku jatuh pada pilihan akhir. Aku membawanya ke tempat biasaku curhat pada nikmatnya racikan asli negeriku. Ya Warungnya Bu Marno, penjual santapan tradisional yang mengingatkanku pada Mamak di Kampung halaman. Kami sampai dan memesan dua porsi, ia memilih Kupat tahu dan aku Gado-gado.

"Mudah-mudahan gak tutup ya Warung Ibunya," Sebelum motor kami memasuki gerbang di mana warung Bu Marno berada. Setelah roda depan Motor memasuki gerbang dengan halaman luarnya seluas setengah lapangan Tenis. GadisMu berucap, "Uhh, ada kupat tahu toh Jum. Tapi aku batasi makan setiap hari mau dua kali saja loh. Aku gak mau gemuk." Logat dalam Jawanya sangat kental kedengaran di telinga, dari parasnya sambil memiliki rasa ngiler  dan enggan tapi bukan malu, Gadis itu membuat hatiku antar gemas dilanjutkan jatuh dalam cinta, membara.

"Bu, Kupat tahu dan Gado-gadonya ya Bu."

"Pedas, Mas?"

"Saya iya Bu, Gado-gadonya pedas. Kamu gimana?" Tanyaku ke GadisMu.

"Aku setengah saja Juma" Katanya lagi padaku.

"Sedikit pedas saja ya Bu." Lanjutnya pada Bu Marno selaku tuan Rumah.

"Kok setengah, Mba Yu?" Bu Marno menimpali kembali.

 "Penuh saja Bu. Nanti saya paksa dia untuk habiskan." Kusambut tanyanya Bu Marno dengan singkat. Wajah GadisMu tersenyum sedikit kesal mengarah padaku, "Nanti aku gemuk. Jum" aku hanya menatapnya dengan senyuman menumpali atau melesengi untuk membuatnya semakin kesal.

"Jumaa, aku diet"

"Gendut kamu, aku pun tetap suka. Aku ini kan penikmat Pecel Lele (pecinta cewek lemu-lemu) hehe" dalam hatiku menyangkal. Sambil menunggu Bu Marno meracik santapan untuk kami, aku dan dia berbincang-bincang prihal kegiatan sekitar Almamater dengan panjang lebar. Lalu, diikuti pertanyaanku mengenai keadaaan jari-jemarinya yang sudah sembuh. Namun, masih menyisakan bekas yang unik, jarinya lentik bagai Penari tak pernah berhenti meliuk-liuk. Aku hanya menyarankan agar mengutamakan kesehatan dalam setiap kegiatan. Agar ia juga berhati-hati dalam berkendara dan memanjat berbagai macam medan. Dia pun Perempuan perkasa yang akan melampaui keterbatasannya.

"Kamu tahu hukuman 'ambil sikap Integral', tidak? "

"Gimana itu Juma? Belum pernah dengar akunya"

"Oh ya sudah kalau gak tahu. Kupikir kamu tahu Bu Guru." Sambil kubawa dia mengingat kata mulia itu. Kudoakan selalu agar kelak menjadi Guru Profesional di Ibu Pertiwi. Sayangnya, ia didikte oleh sang Ayah untuk menjadi Dosen atau Guru Besar di sebuah Universitas yang dianggap sebagai doktrin yang membanggakan dan membuat garis baru dalam sejarah Keluarga, dengan mengkomparasikan tertera pada kalimat, "Iya Juma, di Keluarga besarku sudah banyak yang jadi Guru. Harus ada peningkatan dong Jum. Itu sih kata Bapakku Jum." Seharusnya peningkatan status tersebut baik. Namun, harus dilihat dahulu. Guru walaupun sudah banyak, pendidikan masih sama dan tak bertolak bahkan maju melangkah pun tak signifikan. "Kamu harus jadi Guru saja, itu saranku loh. Keprofesionalanmu merupakan peningkatan profesi seorang guru yang bertanggungjawab kepada Tuhan. Itu akan merubah perspektif dunia Guru. Profesi guru itu mulia bagiku,. Kamu jadi Guru aja ya lusa dan seterusnya. Sekarang ini aku rela jadi siswamu." Dengan wajah memelas aku memohon agar ia mematangkan saran Ayahnya. Semua baik dan semua rencana memiliki tujuan yang bermanfaat bagi Manusia dan Tuhan.

"Terus hukuman Integral tadi gimana, Jum? Jelaskan dong ke aku biar aku tahu."

"Males ah, gak penting haha." Jawabanku membuatnya semakin sinis, tapi wajahnya yang Jawa itu tetap manis, anggun, dan ayu dengan guratan senyum yang tak pelit ditambah kolaborasi kedua bola mata menyempit-menyipit. Memacu gerakan jantungku, terdesak, kuat pikirku untuk tak menyentuh dan menyakiti GadisMu.

"Jadi gini loh" sambil kuambil pena dari kantong celana kiriku. "Kan kalau integral itu posisinya ginikan" kuajak ia komunikasi imajinasi, lalu kugerakkan pulpen yang ada di jari-jari kananku, lalu menggambarkannya di udara, supaya ia yang menangkap dapat memahami gambar apa yang sedang kulakukan.

"Sudah paham belum?"

"Belum, Juma ih." Katanya malu-malu sambil menunduk tak tahan melihat crewetnya aku yang memerankan sebagai Guru laki-laki di Warung Bu Marno.

Lalu kucoba membuka tutup pena itu dan kubuka telapak tangan kiriku, kutuliskan lambang dari integral. "Ini loh integral itu, bukan? Coba kamu tuliskan simbol integral? Mana tahu versimu dan versiku berbeda, ya kan?" kuserahkan pulpen itu ke tangannya dan ia pun mulai menjatuhkan ujung pena tersebut ke kulit telapak tanganku. Kurasakan tarikan ujung pena itu, ada cinta yang tak terungkapkan di dalam sebuah ruang hitam, sekilas sangat cepat disantap terang yang datang sesukanya emnindas gemerlap malam.

"Kok aku beda ya. Integralku juga gini, Dosenku gak nyalahin. Jadi kebiasaan Jum." Ia membuat lambang integral itu menjadi terbalik, "lah kok beda sama yang kutulis. Aku ingat itu ya seperti ini. nanti kita pastikan lagi deh, siapa yang benar dari kedua versi." Memperingkas agar debat tak semakin padat.

GadisMu hanya senyum-senyum malu. "Jadi posisi Integral ini merupakan hukuman terbaik yang pernah diberikan Kakak kelas saat masih di SMA. Tangan brada di depan kepala dengan posisi membengkok mirip ular, seperti ini loh." Sambil aku memperagakannya dan menjelaskan. "Lalu kaki kita diangkat ke atas satu saja, kiri atau kanan, dan dibengkokkan."

"Iya, aku paham sekarang." Senyumnya puas setelah mendapatkan jawaban.

"Juma, aku itu gak tahan kalau disuruh nampar orang. Tapi dipaksa, waktu latihan (organisasi garis keras), tapi harus ya mau gimana lagi."

"Kamu kalau marah seram gak ya? Masih cantik gak ya? Keknya kalau aku jadi juniormu di sana. Aku akan menggodamu diam-diam seperti saat ini hehe." Aku mencari fakta, apakah dia Perempuan yang lembut.

"Janji ya jangan kasar-kasar sama manusia lain. Saat ini Jamannya empat titik nol, gak relavan lagi jika kita bermain kasar dalam mendidik, Bu Guru. Setuju tidak?"

"Aku setuju Juma. Iya deh nanti saran Posisi Integral akan menjadi pilihan dalam mendidik dan mengasihi mereka."

Lalu santapan kami datang ke meja oleh Bu Marno. "Terima kasih Ibu"

"Yuk berdoa bareng ya. Tapi kamu yang mimpin ya"

"Kok aku sih. Kan Juma laki-laki toh"

"Kamu saja ya, sekali ini saja"

Tak tahu aku, ia sudah mengambil posisi berdoa dan langsung mengucap syukur sesuai ajaran Katolik yang dianutnya, dengan menggerakkan tangannya ke bagian sekitar wilayah tubuhnya lalu mengucap doa dengan sedikit gerakkan bibir tanpa suara, kuperhatikan wajahnya dengan saksama. Ia GadisMu yang baik, khusuk komunikasinya denganMu. Aku terpana dan penasaran seintim apa Engkau dengan GadisMu atau seberapa sering GadisMu berbicara denganMu setiap waktu? Setelah ia selesai berdoa, iya pun tersenyum padaku, "Kenapa sih, Jum?"

"Ya sudah sekarang giliranku berdoa ya. Selamat makan nona cantik, berani gendut." Sambil kumainkan mataku padanya. Lalu aku mengambil sikap berdoa, merendahkan diri dihadapanMu, dengan Protestanku, aku bersyukur padaMu.

Kami pun menikmati makanan yang telah tersaji. Sambil berbicara singkat dan santai. "Oh iya, kamu selesai dari sini mau ke mana?" kuintrogasi GadisMu.

"Ke tempat Teman sekelasku, ada di daerah sini. Nanti kok, beliau juga masih di Almamater jam segini"

"Sudah janjian?"

"Sudah Juma"

"Ya kan kasihan saja sama kamu, nanti kecile kalau belum janjian."

"Kecele, bukan kecile loh Juma. Salah itu, iya sudah kok janjian kok. Udah pernah juga ke sana, Rumahnya gak jauh dari Lapangan sepak bola yng ada di sana."

"Kecile, benar." Jawabku.

"Kecele"

"Kecile uhh" Kami bagai bernyanyi.

"Bahasaku Kecele, kamu yang salah tuh"

Kami saling memborbardir serta berposisi memepertahankan kebenaran masing-masing.

Kuperhatikan piring beliau sudah bersih, GadisMu sosok cantik yang menghargai pangan. Kebencian dirinya menjadi gemuk hanya opsional. Saat aku mengatakan bahwa kegemukan tak dapat disalahkan, GadisMu mengkondisikan keadaan. Ia lahap dan sangat rapi dalam hal menyantap, ia menghabiskan waktu lama untuk menyantap makanan. Saat makan saja sudah anggun dan rapi, ia sosok yang makin sempurna. GadisMu menantangku untuk bersunguh-sungguh segera mengangkat kaki dari Jogja, segera pergi mencari harta dunia untuk kembali ke Tanah Mataram menjemputnya, bersama membangun negeri tertinggal di ujung sana lewat keguruannya.

"Ayo, sebentar lagi aku masuk kelas, waktu sudah mendekati 12.40 WIB. Antarkan aku kembali ke Almamaterku ya? Boleh tidak?" Aku menanyakannya sambil memohon tolong.

"Gak mau, kamu jalan saja atau lari sana." Katanya sewot dan aku tak peduli, itu hanya perasaan mendekati rasa yang akan jatuh cinta ketika moment waktunya tepat sesuai kehendakNya. gadisMu ini unik dan memiliki khas tersendiri.

"Juma, aku mau tahu kostan kamu, boleh gak? Sebelum ke Alamamatermu"

"Boleh sih, tapi gak usah masuk ya. Kita hanya melintas saja, oke. Emang buat apa sih tahu alamatku? Aku ini mahkluk halus yang selalu berpindah-pindah suatu waktu."

"aku mau tahu Juma"

"Buat apa?" tanyaku menggodanya

"hehe, mana tahu nanti aku tengah malam pendadakan. Eh bercanda kok"

"Kalau rindu, aku saja yang mnghampirimu. Jangan kayak hari ini, aku malu, malah Gadis Sedayu yang jauh-jauh datang padaku. Hilang sedikit aroma kelakianku Kamis ini." Lalu aku permisi sambil bertransaksi dengan Bu Marno. "Terimakasih ya Bu." Mengakhiri persinggahan kami hari ini. lalu berdua di atas motor yang sama kami menuju ke RT/RW 10/25 di mana tertorialku berada.

"Ini jalanan menuju kostanku. Paling kamu juga nanti akan lupa." Elakku padanya.

"Enggak, aku akan ingat Jum, biar kapan-kapan aku melakukan pendadakan hayoooo. Kamu repot."

"Ya sudah mudah-mudahan gak kecile kan, ntar gak ada aku disana, ya resiko. Berkabar dulu, kamu jangan nekat seperti hari ini."

"Kan aku dah berkabar Jum" merengut ia bersuara, sayangnya posisiku di atas motor tak dapat mendapati kharisma wajahnya.

"Iya maaf-maaf. Jangan merajuk Gadis Sedayu."

"He'emm" hanya berdehem GadisMu menyautiku.

"Mriki, mriko, pinaringin?" menggali bahasa Sukunya.

"Juma emang tahu artinya?"

"Enggak." Jawabku singkat jelas, dan padat.

"Males ah ngasih tahu kamu. Cari tahu sendiri aja Juma." Saat itu kendaraan bermesin empat langkah itu melewati gundukan jalanan atau polisi tidur.

"Eh, tapi aku tahu satu bahasa yang sejak Taman kanak-kanak yang sudah kumengerti artinya, tapi fungsinya belum."

"Apa itu Jum?"

"Aku tresno karo Gadis Sedayu. Artinya aku cinta Gadis Sedayu, Bukan?"

"Ih apaan. Kamu cinta sama semua Gadis Sedayu dong, gitu?"

"Bukan. Maksudku hanya satu Gadis, Gadis itu adalah kamu, teman bicaraku di cerita ini."

"uhhhh" lalu ia tak melanjutkan percakapan tersebut dan terdiam sejenak.

"Di sini banyak banget ya Polisi Tidur Juma?"

"Iya, banyak anak-anak."

Sambung GadisMu "Iya sih Jum, kan lagi siang-siang toh. Polisinya pada banyak yang tidur hehe."

"Kamu nakal ya. Mentang-mentang Bapakmu bukan Polisi. Gimana kalau warna langit bukan Biru. Ayahmu pakai seragam pink hayo."

"Juma, ihhh gak adil. Kan iya sih Jum, siang-siang gini pada waktunya bobok ih." Tak terasa, kendaraan roda dua ini telah mendekati Gang kostanku. Kecepatannya kuperlambat, lalu aku pun mengatakan bahwa di Selatan itu yang ada pipa plafon tersebut, itulah Kostanku.

"Oh itu ya Jum."

"Sekarang kita menuju ke Almamaterku ya."

"Iya Jum. Aku pernah lewat jalan ini Jum sekali saat melayat ke Rumah temanku itu." Waktu itu kami berada di perempatan, dan mengarah ke Utara.

"Nama teman kamu apa?"

"Namanya Nadila, Juma." Aku berpikir pasti seorang bernama Nadila itu sahabat dekatnya.

"Ini rumah apa ya? Kok berjejer gini, warna Biru lagi." Tanyaku saat kami melewati Perumahan Prajurit Angkatan Udara.

"Ih sok gak ngerti. Ya kan rumah dinasnya Prajurit toh Jumaaa" Jawabnya seperti ada rasa geram akibat pertanyaanku yang menyinggung kebiruan Ayahnya.

Mendekati Almamaterku, kuhentikan laju kendaraan itu. Kami berteduh dibawah Gapura biru, di Utara Tugu.

"Masuk kelas sana Jum. Nanti telat loh."

"Bentar ya"

"Terimakasih ya Juma" Dengan senyum indahnya ia berkata.

"Iya. Aku masih punya janji padamu. Aku belum berkunjung ke Istana Ayah Ibumu. Maaf ya"

"Iya gakpapa kok Jum. Kan aku dah main sama kamu walau hanya dua jam hehe"

"Iya Lia. Kamu sih nekat"

"Kan aku sekalian ke Rumah temanku Jum. Gakpapalah. Sana masuk kelas, biar pinter"

Sebenarnya saat itu berlakulah kembali Hukum Relativitas dari Eintstein Albert. Di mana bokong ini tak tahan untuk duduk 5 jam di atas sebuah tungku perapian yang panas, bahkan dua menit saja, kita akan berpindah tempat. Ya karena tak ada kenyamanan itu. Tapi berlaku adil ketika berjam-jam bahkan berhari-hari atau jika Ia berkehendak selamanya waktu bersama GadisMu dari Sedayu untuk hidup bersama-sama, pasti takkan tercipta muak. Kasih dan cinta dari Dia akan mengalir sebagaimana mestinya.

Ia calon Guru yang hebat dan kuat. Mengendarai mesin empat langkah ke mana saja dalam mendukung aktivitasnya. Gayanya yang sederhana dan ramah membuat hatiku mantap untuk jatuh cinta lebih dalam ke ruang yang lebih sempit di bagian hidupnya. Mengenali dan berbagi, untuk mengetahui kelebihan dan kekurang satu sama lain. Perbedaan Agama dan Suku yang jauh berbeda merupakan bumbu yang manis jika dilihat dengan makna sebuah garis Ciptaan Tuhan yang berbhineka, serta bisa saja menjadi pahit saat diriku tak percaya diri untuk berhadapan dengan jarak serta waktu yang begitu pelit.

Perempuan Jawa yang membuatku jatuh cinta. Dari Barat sana ia menuju ke Utara untuk menimba ilmu di Almamaternya, lalu menuju ke Timur untuk menemui calon pendekarnya. Mungkinkah ia sedang menguji ketakberdayaanku? Apakah aku yang terlaku jauh menimba dan menginterpretasikan bahwa ia juga jatuh cinta padaku, hanya Dia yang Maha Tahu. Dia adalah pemilik Gadis itu. GadisMu sempurna di mataku. Jangan-jangan aku sedang mabuk rindu. Rinduku telah terbayarkan oleh kedatangan GadisMu ke Almamaterku.

"Jum sudah ya. Pukul 12.40 WIB lima menit lagi"

"Sudah benar belum? Jam tanganmu kan sudah kecepatan sepuluh menit. Kamu menipu dirimu hehe"

"Sudah aku akumulasikan kok Jum. Sana masuk kelas, entar telat loh Juma."

"Ya deh. Kan aku tuan rumah tanpa istana toh, kamu aku berangkatkan dahulu ya. Baru aku menunaikan kewajiban lainku."

"Okay, aku berangkat ya ke tempat temanku. Semangat kuliahnya, Juma. "

"Hati-hati ya, salam sama Nadila. Oh iya salam juga nanti di Rumah sama adikmu Rahel"

"Iya Juma, nanti aku sampaikan ya. Dahhh Jumaa"

Aku melihatnya bergerak menuju ke Barat dan aku telah mendapatkan kebahagiaan dalam hadirnya hari ini. GadisMu telah datang mendahului janjiku padanya. Aku masih memperhatikan sosoknya, hingga menjauh dan mataku tak mampu melihatnya lagi. Aku pergi menerobos Gerbang utama Alamamaterku dan dengan berlari kecil-kecil aku bersorak-sorai, berkata pada gedung biru gagah itu, "Hari ini aku telah menemukan kebahagiaanku dengan kedatangan tamu istimewa yang membuat hati dan pikiranku kembali segar dan hijau, tapi aku masih suka warna yang sama denganmu. Warna biru langit Maguwo akan menjadi warna terbaik di hatiku, Biru."

Aku telah jatuh cinta pada GadisMu. Syukurku padaMu, berkat penyelenggaraanMu itu, aku energik kembali. Telah Engkau kirim GadisMu itu untuk menyambung tali kasih dalam namaMu. Sampai saat mereka membaca guratan dinding biru itu, aku masih bahagia bersamanya kala itu. Dia adalah GadisMu dari Sedayu, istimewa, ayu, anggun, ramah, senyumnya indah, bertumbuhlah dengan kekuatanMu, demi GadisMu, aku akan segera pergi dari Kota ini untuk bertempur melawan kebodohan dan kesengsaraan. Ia Guru masa depan kami.

Enerjik, Praktikum numerik menjadi suntik enerjik/

Perjanjian singkat dibumbui bilangan real/

Menghasilkan kesegaran hati tak terbatas//

 

Gadis Jawa datang menyapa/

Membuatku semakin terpana/

Ini bukan kencan pertama,kedua, ketiga maupun seterusnya/

Lucu/

Berkeliling Kampus biru/

Kamu sebagai Tourisme/

Daku menjadi Guider/

Melihat isi semua dapat terjangkau hingga menepi lalu//

 

Beranjak dari Kampus biru/

Kuingat langit juga biru/

Penerbangan berjalan apa adanya/

GadisMu kubawa menuju Warung yang tak terlalu jauh/

Warung milik Bu Marno/

Menyantap kupat tahu dan gado-gado/

Air putih dan es jeruk menjadi satu/

Sepasang manusia menghancurkan rindu, lalu/

Membombardirnya//

Bercanda gurau asyik tanpa peduli, lalu/

Gelora semangat ksatria/

Bukan pria Jawa/

Lelaki Batak dengan Putri Jawa gadisMu dari Sedayu///

 

Nekat dan kuat/

Calon Guru yang kupuja/

gadisMu/

berbaju tak berkerah//

dengan rambut dikepang dua/

ditambah senyum ramah/

manis lebih manis dari gula merah Jawa/

 

Kamis manis/

Embuat lupa pahitnya kopi/

Semua itu providentia dei/

 

Dia datang membawa lencana/

Menantang wibawa laki-laki bungsuNya/

Gadis Jawa Sedayu itu/

Apakah juga jatuh cinta padaku/

Kedekatan kedua setelah pertemuan pertama di Kampusnya/

Hari ini aku tuan rumah//

Kita pun telah menginjak rumput hijau yang sama/

Sedayu menjadi tempat terakhirku/

Bantul, 20 Oktober 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun