Mohon tunggu...
Juneman Abraham
Juneman Abraham Mohon Tunggu... Dosen - Kepala Kelompok Riset Consumer Behavior and Digital Ethics, BINUS University

http://about.me/juneman ; Asesor Kompetensi - tersertifikasi Badan Nasional Sertifikasi Profesi; Adjunct Lecturer di Sekolah Tinggi Kepemerintahan dan Kebijakan Publik (SGPP Indonesia); Pengurus Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia (MAKPI) bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Butuh Kesadaran Kritis Mengenali Jurnal Predator: Implikasi Terhadap Integritas Akademik

22 Maret 2021   10:25 Diperbarui: 22 Maret 2021   14:18 2044
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jurnal predator. Istilah ini sering dikemukakan oleh para penulis yang membahas topik-topik seputar riset dan publikasi ilmiah. Kendati demikian, belum banyak (kalau bukan: tidak ada) penulis, khususnya di Indonesia, yang membuka istilah jurnal predator sampai terang.

Memang banyak penulis dan pembicara membahas tentangnya dengan segala sebab, akibat, dampak, dan sebagainya. Akan tetapi, tidak banyak yang bersedia mempertanggungjawabkan istilah ini. Hal tersebut merupakan titik kritis dari banyak pembahasan tentang jurnal predator yang mendesak untuk dijawab. Titik kritis dimaksud tidak dapat dikecualikan terdapat pula dalam artikel baru-baru ini yang bertajuk "Predatory publishing in Scopus: evidence on cross-country differences" (2021) , yang menempatkan Indonesia dalam urutan kedua negara di dunia yang menghasilkan artikel dalam jurnal predator.

Tanpa pertanggungjawaban yang komprehensif, tulisan-tulisan yang menggunakan istilah "jurnal predator", seperti artikel di atas, juga tidak dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karenanya, ada urgensi untuk menjernihkan istilah jurnal predator setepat-tepatnya, sebelum membahas hal lain-lain yang berhubungan dengannya. Inilah tujuan artikel ini.

Jeffrey Beall (2015) mengemukakan kriteria penerbit akses-terbuka predator (predatory open access publishers), baik dari aspek penyunting dan staf, manajemen bisnis, integritas, standar, dan lain-lain. Silakan membacanya di sini. Kriteria jurnal predator yang lain terdapat pada laman ThinkCheckSubmit. Apabila kita lebih banyak menjawab "Tidak" pada daftar Periksa (Check), maka, menurut panduan tersebut, lebih besar kemungkinan bahwa jurnal yang menjadi objek periksa merupakan jurnal predator. Lanskap yang cukup luas mengenai sejarah dan perdebatan seputar kriteria jurnal predator dapat dibaca melalui laman Wikipedia. 

Kendati demikian, dari semua literatur yang saya sebutkan tersebut, belum cukup tandas penekanan pada kesadaran kritis tentang jurnal predator. Artikel di Kompasiana rubrik Edukasi ini dimaksudkan untuk mengisi kekosongan tersebut. Artinya, klaim Terry Mart (2013) bahwa cukup mudah untuk mengenali ciri-ciri jurnal predator, pada akhirnya, tidak lagi tepat. Dalam berita tersebut, misalnya, Mart (2013) menyampaikan bahwa oposisi dari jurnal predator adalah jurnal berkualitas, yang terindeks secara global. Padahal, sebagaimana kita akan temukan, indeksasi global bukanlah kriteria esensial dari sifat predator atau tidak dari sebuah jurnal. 

Bincang Nusantara ke Sejengkal Lebih Dalam

Pada Jumat, 11 Februari 2021, saya diundang untuk berbicara dalam sebuah forum akademik di Fakultas Humaniora, Universitas Bina Nusantara, yakni "Bincang Nusantara KFC" (selanjutnya, saya sebut: Bincang). Saya diminta oleh Panitia Bincang untuk membicarakan situasi, tantangan, dan peluang publikasi Fakultas Humaniora. Hal yang menjadi salah satu bagian dari materi paparan saya, yakni tentang jurnal predator, meskipun tidak seluruhnya dapat saya sajikan dalam Bincang tersebut, saya tuangkan dalam tulisan kali ini.

bincang-nusantara-kfc-jpg-6057785f8ede4867aa043682.jpg
bincang-nusantara-kfc-jpg-6057785f8ede4867aa043682.jpg
 

Sumber primer paparan saya tersebut adalah sebuah artikel berjudul "Why I Publish in "Predatory" Journals--and Why You Should, Too", yang saya ketahui informasi keberadaannya dari salah seorang Ketua Sekolah Tinggi yang berlokasi di Sumatera Utara, dalam Forum Kerja sama Perguruan Tinggi (FKPT). Bibliografi artikel tersebut adalah sebagai berikut:

Burgess-Jackson, K. (2020). Why I Publish in "Predatory" Journals-and Why You Should, Too. Philosophy International Journal, 3(4), 000160. https://doi.org/10.23880/phij-16000160

Ringkasnya, setelah membaca seluruh artikel ini dan belum berkesempatan menyajikan seutuhnya dalam Bincang (meskipun telah saya siapkan salindianya), saya memutuskan untuk menerjemahkan artikel tersebut ke bahasa Indonesia. Izin penerjemahan dan publikasi di blog, saya peroleh langsung dari penulisnya, Associate Professor Keith Burgess-Jackson, J.D., Ph.D. dari The University of Texas at Arlington, USA, melalui surel pada 18 March 2021, pukul 21:15 WIB.

burgess-jackson-jpg-60580678d541df1d0f63a212.jpg
burgess-jackson-jpg-60580678d541df1d0f63a212.jpg

Artikel Burgess-Jackson saya pandang sebagai sebuah upaya serius yang membawa kita sejengkal lebih dalam untuk mengenali jurnal predator. Mengapa saya tidak menggunakan frasa "selangkah lebih maju", melainkan "sejengkal lebih dalam"?

Apabila kita mencermati berbagai kriteria jurnal predator yang saya sertakan tautannya di atas, juga apabila kita cari di Google Scholar artikel-artikel ilmiah yang mengupasnya, kita akan menangkap bahwa mayoritas dari kriteria jurnal predator yang dikemukan merupakan kriteria teknis. Burgess-Jackson (2020) menyajikan pembahasan yang lebih mendalam secara substantif. Kriteria teknis mungkin membawa kita selangkah lebih maju dalam mengenali jurnal predator, namun pembahasan substantif akan membawa kita sejengkal lebih dalam dalam memahaminya. Mengapa saya menggunakan kata "mungkin"? Tanpa kedalaman, sulitlah kita selangkah lebih maju; kalau pun tampak lebih maju, boleh jadi itu kemajuan semu dalam pemahaman kita mengenai jurnal predator.

Pembahasan Burgess-Jackson (2020) dapat menggugah kesadaran kita, atau bahkan mengganggu kesadaran kita selama ini mengenai jurnal predator. Ternyata, banyak kriteria jurnal predator yang sangat tidak memadai, namun selama ini kita pegang. Tidak hanya itu, Burgess-Jackson (2020) juga mengajak kita untuk melepaskan hal-hal yang selama ini kita yakini (yang, barangkali, tidak pernah kita uji) terkait dengan jurnal predator.

Meskipun merupakan sebuah artikel filsafat/filosofi, menurut hemat saya, uraiannya cukup mudah untuk diikuti oleh akademisi Indonesia yang sudah memperoleh kuliah Filsafat Umum, Filsafat Manusia, atau Filsafat Ilmu. Akademisi pemula pada umumnya sudah dapat menikmati artikel ini tanpa harus memiliki latar belakang pengetahuan spesifik tentang dunia publikasi ilmiah. Saya memutuskan untuk menerjemahkannya secara penuh, bukan menyadurnya, atau pun menyajikan ringkasannya, agar pembaca memperoleh keutuhan alur berpikirnya. Burgess-Jackson (2020) telah mengemukakan dengan baik bagaimana ia mendefinisikan jurnal predator, serta siapa yang memenuhi kriteria jurnal predator, dan siapa yang bukan.

Daya Kritis dan Integritas Akademik

Tentu saja, kita boleh tidak setuju dengan beberapa pandangan beliau yang cukup bahkan sangat radikal. Akan tetapi, pertama, bukankah berpikir radikal (dalam arti sejatinya, yaitu berpikir hingga ke akarnya; harus dibedakan dari radikalisme) memang merupakan ciri pemikiran kefilsafatan? Kedua, maksud utama dari tulisan ini adalah menambahkan perspektif mengenai hakikat jurnal predator, sehingga diharapkan di Indonesia, tidak hanya ada satu pandangan (monoton, apalagi menyesatkan) dalam mendefinisikan jurnal predator.

Ketiga, tulisannya tidak terlepas dari siapa dirinya. Kalau kita selama ini mengenal istilah "mitra bestari" untuk menyebut reviewer/penelaah, maka Burgess-Jackson (2020) saya kira adalah seorang "penulis bestari". Dengan demikian, ketika kita membaca bahwa ia mengemukakan, "We do not appreciate (or expect) criticism, constructive or otherwise ... Sometimes, to put it bluntly, the reviewers' comments are stupid", maka saya mengajak pembaca untuk tidak tergesa-gesa, lebih-lebih lagi emosional, untuk menilai kalimat ini sebelum membaca secara utuh konteks penyampaiannya.

Saya mengharapkan agar pembaca, sebagaimana saya, memperoleh kedalaman pandangan tentang jurnal predator dari artikel ini. Untuk itulah, saya menerjemahkan menjadi berbahasa Indonesia, dan menyunting versi berbahasa Indonesia itu selama sepekan. Meskipun dengan menerjemahkannya secara penuh, saya berhak disebut sebagai penulis atau pun co-author dari artikel tersebut, sebagaimana dinyatakan oleh sejumlah ahli (lihat, misalnya, Staniszewska (2011), "The Translator as The Second Author"),  saya tidak mengambil manfaat (benefit) dalam hal ini. 

Di samping itu, apabila ada juga pembaca yang merupakan pembuat kebijakan di bidang Ristek (riset dan teknologi) maupun Dikti (pendidikan tinggi), semoga artikel ini dapat menjadi masukan untuk menguatkan definisi dan kriteria tentang jurnal predator di Indonesia.

Kemampuan atau daya berpikir kritis merupakan salah satu jenis kemampuan yang diharapkan pada mahasiswa Indonesia. Artikel Burgess-Jackson (2020), apabila diadopsi dan dikembangkan sejumlah bagiannya (tidak mesti seluruhnya) dalam kebijakan, dapat menjadi salah satu teladan konkret yang dapat dipelajari mahasiswa-mahasiswi di Indonesia tentang berpikir kritis (critical thinking) dan kesadaran kritis (critical consciousness).

Yang teramat penting dari artikel Burgess-Jackson (2020) adalah bahwa ia menggunakan dua pokok argumen mendasar ketika membahas jurnal predator, yakni (1) argumen keadilan, dan (2) argumen moralitas. Dua buah argumen yang sejatinya sangat lekat dengan Sila Kelima dan Sila Kedua dari Pancasila, dasar negara kita. Dengan argumen keadilan, ia menyatakan bahwa kriteria kita tentang jurnal predator selama ini sesungguhnya telah merusak rasa keadilan kita (our sense of justice) sebagai manusia. Dengan argumen moralitas, ia mengajak kita untuk menjadi manusia seutuhnya, yang mengindahkan moralitas daripada kepentingan diri (lihatlah bagian terakhir sebelum Kesimpulan).

Saya berpandangan bahwa dua pokok argumen yang dihadirkan Burgess-Jackson (2020) itulah yang merupakan komponen esensial dari sebuah konstruk yang bernama Integritas Akademik. Jelasnya, Integritas Akademik bukanlah semata-mata persoalan mencegah dan menanggulangi permasalahan plagiarisme, fabrikasi, falsifikasi, kepengarangan tidak sah, konflik kepentingan, dan pengajuan jamak -- sebagaimana yang sering kita dengar dalam berbagai seminar dan lokakarya-- melainkan justru yang penting adalah fondasinya: Mampu mengambil sikap moral berdasarkan maksimalisasi perjuangan intelektual, perdebatan etis, dan pengembangan rasa keadilan sebagai manusia, serta berani bertindak untuk berpihak pada sikap moral itu. 

Salah satu objek integritas akademik, jelasnya, adalah relasi antara penulis dengan jurnal/penerbit, juga dengan demikian ---karena penulis tidak hidup/bekerja dalam ruang hampa--- relasi antara sistem akademik (termasuk sistem riset dan publikasi) dengan pihak jurnal/penerbit. Relasi yang [dibiarkan] eksploitatif dan tidak setangkup (asimetris) antar pihak, sebagaimana diulas oleh Burgess-Jackson (2020) adalah relasi yang, menurut hemat saya, berkontribusi terhadap amputasi integritas akademik. Potensi "korupsi akademik" yang saya dkk. ungkap dalam Jalan Evolusi Bibliometrik Indonesia, kiranya menemukan relevansinya kembali dalam konteks ini.

Orang atau pihak yang berintegritas akademik dapat, wajar, dan bersedia digugat (akuntabel), dan jawaban atas gugatan itu adalah pertanggung jawabannya atas sikap dan tindakan moral yang diambilnya itu. Dengan demikian, Integritas Akademik (yang merupakan bagian dari Etika), bagi saya, bukanlah persoalan perintah dan larangan, bukan soal mana yang putih/boleh dilakukan dan mana yang hitam/tidak boleh dilakukan, melainkan lebih kepada soal pertanggung jawaban sikap dan tindakan itu. Hal inilah yang saya lihat masih sangat luput dari pendidikan Integritas Akademik kita di Indonesia pada berbagai tingkatan. Nah, artikel Burgess-Jackson (2020) dapat menjadi salah satu pintu masuk menuju ke sana!

Terjemahan dan Bacaan Lebih Lanjut

Berikut ini saya sajikan artikel yang telah saya terjemahkan secara penuh. Sejumlah pokok pikiran penulis dalam artikel ini sebenarnya bukan gagasan yang benar-benar baru. Dalam bahasa Indonesia, misalnya, sudah ada tulisan yang cukup komprehensif terkait dengan bagian Mempertahankan Kepemilikan (Retaining Ownership), yakni Pengalihan Hak Cipta pada Jurnal Nasional dan Internasional. Sehubungan dengan Akses Terbuka, telah terbit artikel Open Access in Indonesia. Burgess-Jackson (2020) juga belum mendiskusikan pracetak (pre-/post-print) sebagai potensi solusi dari sebagian permasalahan yang dikemukakannya. Saya juga telah menyinggung soal e-science sebagai alternatif sistem jurnal ilmiah.

Kendati demikian, cara Burgess-Jackson menyampaikan gagasannya cukup, bahkan sangat, komprehensif, dalam arti: mencakup banyak pertanyaan dosen, peneliti, dan pengelola jurnal ilmiah di Indonesia mengenai jurnal predator. 

Akhirul kalam, Selamat menikmati, dan Selamat bertransformasi!

Mengapa Saya Menerbitkan Artikel di Jurnal "Predator"---dan Mengapa Anda Juga Perlu?

Penulis: Keith Burgess-Jackson, J.D., Ph.D., Associate Professor of Philosophy, Department of Philosophy and Humanities, College of Liberal Arts, The University of Texas at Arlington, Box 19527, Arlington, Texas, 76019-0527, AS, Email: kbj4@att.net, kbj@uta.edu

Abstrak

Artikel ini memiliki dua tujuan. Yang pertama adalah menjelaskan mengapa, setelah 38 tahun penerbitan di jurnal akademik "terkemuka/bereputasi", saya telah memutuskan untuk menerbitkan secara eksklusif dalam jurnal-jurnal yang para kritikus sebut jurnal "predator". Kata sifat "predator" sangat tidak tepat dalam konteks ini , karena predator sejati (yaitu, pelaku eksploitasi, penindasan, dan penjarahan) sesungguhnya adalah perusahaan penerbit multinasional kaya yang memperlakukan peneliti dan penulis sebagai buruh budak (slave laborers). Tujuan kedua adalah untuk mengadvokasi bahwa akademisi lain (terutama yang berada  dalam disiplin filsafat saya sendiri) mengikuti jejak saya. 

Kata kunci: Filsafat; Akademisi; Penerbitan; Berkala; Eksploitasi; Keadilan; Penindasan 

predatory-journal-jpg-60580c788ede483ba15abd02.jpg
predatory-journal-jpg-60580c788ede483ba15abd02.jpg

Pendahuluan

predator (predatory) (adj.) berusaha mengeksploitasi atau menindas orang lain . . . dari kata Latin  praedatorius, dari  praedator  'penjarah' (New Oxford American Dictionary, 2010: p. 1376 [huruf tebal dan miring pada aslinya; elipsis ditambahkan]).

plunder (menjarah) (v.) mengambil materi dari (karya artistik atau akademis) untuk tujuan sendiri (New Oxford American Dictionary, 2010: p. 1346 [huruf tebal pada aslinya]).

Filsuf Inggris R.M. Hare (1919-2002) pernah mengatakan kepada saya, dalam surat-menyurat, bahwa ia telah "menulis terlalu banyak" [1]. Saya telah mendengar pandangan atau sikap yang sama yang diungkapkan oleh orang lain, termasuk filsuf pendidikan Inggris, John Boyd Wilson (1928-2003) [2]. Sekarang dalam tahun ke-40 saya sebagai seorang filsuf yang berpraktik (practicing philosopher), saya tidak bisa mengatakan bahwa saya telah menerbitkan terlalu banyak, tetapi saya telah banyak menerbitkan.

Karir penerbitan saya dimulai pada tahun 1982, ketika saya masih menjadi mahasiswa hukum di Wayne State University di Detroit, Michigan. Saya menulis esai tentang topik bunuh diri untuk mata kuliah Sejarah Hukum. Dosen mata kuliah itu, Edward M. Wise (1938-2000), menulis surat kepada editor Wayne Law Review untuk merekomendasikan penerbitan artikel ini. Semua ini dilakukan tanpa sepengetahuan saya. Pada tahun 1982, ketika saya baru berusia 25 tahun, esai 31 halaman saya, yang berjudul, "Status Hukum Bunuh Diri Pada Masa Awal Amerika: Perbandingan dengan Pengalaman Inggris" (Burgess-Jackson, 1982), muncul dalam bentuk  cetak. Ini adalah salah satu prestasi saya yang paling membanggakan. Inilah saya pada saat itu: Seorang mahasiswa hukum rendah yang nilai tahun pertamanya tidak cukup baik untuk membuat kajian hukum (law review). Namun demikian, seluruh tim mahasiswa tingkat pertama mengolah/memeriksa esai saya, seolah-olah saya adalah seorang sarjana yang mapan/bereputasi (established scholar). Saya masih tertawa kecil memikirkannya.

Sampai dengan setahun yang lalu, saya telah menerbitkan 31 artikel tunggal dalam jurnal-jurnal bidang hukum, sejarah, dan filsafat [3].  Semuanya ditinjau/ditelaah sejawat atau ditinjau oleh mahasiswa hukum [4]. Saya telah  menerbitkan dalam beberapa jurnal terkemuka/terbaik dalam disiplin saya: Canadian Journal of Philosophy (dua kali), Southern Journal of Philosophy, Public Affairs Quarterly (dua kali), Criminal Justice Ethics, Journal of Social Philosophy (tiga kali), Philosophy and Rhetoric, Social Theory and Practice (dua kali), Metaphilosophy, Ethical Theory and Moral Practice, International Journal for Philosophy of Religion (dua kali), dan Journal of Ethics. Saya juga telah menerbitkan sebuah buku (tentang pemerkosaan) (Burgess-Jackson, 1999) dengan Oxford University Press, yang merupakan salah satu penerbit besar karya ilmiah di dunia. Meskipun saya terdaftar sebagai editor dari buku tersebut, saya menulis 37% dari 321 halamannya, termasuk dua bab substantif: "A History of Rape Law" (17 halaman) dan "A Theory of Rape" (26 halaman).

Saya mengatakan semua ini bukan untuk menyombongkan diri (jelasnya), tetapi untuk mencegah ada dari pembaca yang mengajukan sanggahan atau keberatan, sebagai berikut: bahwa saya menerbitkan artikel di jurnal "predator" karena saya tidak mampu mempublikasikan artikel di jurnal "terkemuka/bereputasi tinggi". Dengan kata lain,  saya sengaja mencantumkan riwayat publikasi saya di berbagai jurnal bereputasi, dengan tujuan agar tidak ada yang berpikir bahwa saya sedang menerbitkan di jurnal "predator" karena kebutuhan praktis saya semata. Rekam jejak saya sebagai penulis yang menerbitkan di jurnal terkemuka/terdepan di bidangnya menunjukkan bahwa saya dapat terus bermain (playing the game) selama saya terus menulis. Kendati demikian, saya percaya bahwa melakukan hal tersebut adalah tidak bermoral (immoral). Saya dulu berpikir bahwa editor dan penerbit telah membantu saya (doing me a favor) dengan  menerbitkan  karya ilmiah saya. Saya sekarang percaya bahwa saya lah yang membantu mereka (doing them a favor). Mengapa demikian? Saya membantu mereka dengan cara menciptakan karya ilmiah yang mendatangkan keuntungan yang besar buat mereka. Dengan menulis karya-karya itu, betapapun, saya pada hakikatnya melakukan pekerjaan (I do the labor); saya menaruh hati dan jiwa saya ke dalam semua hal yang saya tuliskan. Mengapa harus pihak lain, terutama pihak-pihak yang sudah kaya secara fantastis (fantastically wealthy),  mendapatkan keuntungan dari itu? Kita tidak harus menjadi seorang Marxis untuk memahami maksud kalimat saya. Seseorang hanya perlu memiliki rasa keadilan (sense of justice) untuk dapat mengerti akan hal tersebut.

Tujuan saya dalam artikel ini adalah untuk menjelaskan---secara rinci---mengapa saya sekarang lebih memilih jurnal "predator" ("predatory" journals)  daripada jurnal "terkemuka/bereputasi" ("reputable" journals) [5]. Sepanjang saya menjelaskannya, saya berharap untuk mengajak beberapa dari Anda (pembaca tulisan ini) untuk bergabung dengan inisiatif saya ini. Artikel ini terbagi menjadi beberapa bagian. Pada setiap bagian, saya menetapkan alasan untuk memilih keluar dari sistem yang memungkinkan pihak yang kaya dan kuat (the "haves") untuk menjarah (plunder) karya-karya mereka yang kurang kaya dan kurang kuat (less wealthy and less powerful), atau bahkan benar-benar miskin dan tidak berdaya (the "have nots"). Bagian-bagian ini disusuli dengan sebuah bagian di mana saya menjelaskan, dengan cukup rinci, mengapa, pada kenyataannya, jurnal "predator" tidak lah predator. Jurnal predator yang sejati (yang sebenarnya) adalah jurnal-jurnal yang saya sebut "terkemuka/bereputasi" (reputable). Saya selanjutnya membahas (secara singkat) konflik klasik antara moralitas dan kepentingan diri sendiri (morality vs. self-interest), yang mendesak Anda para pembaca yang telah merasa terajak oleh penalaran saya ini, untuk melakukan hal yang benar (to do the right thing), yang, dalam hal ini, memboikot jurnal-jurnal "terkemuka/bereputasi".

Audiens (Pembaca)

Penulis ingin karyanya dibaca. Sebenarnya, tidak berlebihan (atau penting untuk menekankan hal ini) untuk mengatakan bahwa penulis memiliki kebutuhan untuk karyanya dibaca. Seorang penulis tanpa pembaca adalah seorang penulis diari (diarist). Semakin banyak pembaca, semakin baik. Jurnal "predator" di mana saya sekarang mempublikasikan artikel disebut "akses terbuka" (open-access). Hal ini bermakna bahwa jurnal-jurnal yang biasa kita sebut "predator" dapat diakses oleh semua orang, di mana saja di dunia, atau setidaknya oleh semua orang yang memiliki koneksi Internet. Sebagian  besar jurnal "terkemuka/bereputasi" tidak terbuka aksesnya. Mereka tersembunyi di  balik dinding pembayaran (paywalls). Hal ini berarti bahwa hanya mereka yang membayar sejumlah biaya---atau bekerja untuk organisasi (seperti universitas) yang membayar biaya itu---yang memiliki akses ke jurnal terkemuka. Biayanya seringkali terlalu tinggi (atau sangat membatasi akses).

Jumlah jurnal akses terbuka (open-access journals) meningkat [6].  Ini adalah hal yang baik. Hal ini memungkinkan penulis untuk menjangkau pembaca yang lebih luas, termasuk, tetapi tidak terbatas pada, anggota disiplin ilmu mereka sendiri. Saya  tidak tahu pasti berapa banyak orang yang telah membaca artikel-artikel saya di jurnal "terkemuka/bereputasi" ("reputable" journals), tetapi saya tahu persis berapa  banyak orang yang telah membaca artikel saya di jurnal "predator". Esai saya, "Cara  Mencegah Penembakan di Sekolah dan Pembunuhan Massal Lainnya" ("How to Prevent School Shootings and Other Mass Homicides"), yang diterbitkan dalam Beijing Law Review pada akhir tahun 2019 (kurang dari setahun yang lalu), telah diunduh 222 kali dan dilihat 1.886 kali (Artikel ini tersedia dalam format PDF melalui unduhan, dan dalam format HTML untuk dilihat dan dibaca langsung pada situs web jurnal). Esai saya, "Seluruh Kebenaran Tentang Tabel Kebenaran Parsial" ("The Whole Truth About Partial Truth Tables") yang diterbitkan dalam Open Journal of Philosophy pada 8 Mei 2020, telah diunduh sebanyak 250 kali dan dilihat sebanyak 1.070  kali. Esai saya, "Kelaparan, Kemakmuran, dan Kemunafikan" ("Famine, Affluence, and Hypocrisy"), yang diterbitkan dalam Philosophy Study pada 30 July 2020, telah dilihat 748 kali dalam waktu kurang dari lima bulan (Tidak ada angka untuk jumlah unduhan). Sangat memuaskan untuk mengetahui bahwa karya ilmiah saya sedang dibaca  (meskipun, dalam hal ini, saya tidak dapat merasa pasti bahwa artikel itu sedang diteliti/studied). Saya menduga bahwa beberapa publikasi saya di jurnal "terkemuka/bereputasi" telah dibaca oleh hanya beberapa orang yang kebetulan memiliki akses kelembagaan (institutional access) ke jurnal tersebut.

Publikasi itu mahal, dan itu sebabnya tidak gratis. Seseorang  harus membayar biaya yang digunakan dalam proses-proses typesetting dan copyediting sebuah artikel serta memelihara situs web tempat artikel diterbitkan. Dalam sistem akses terbuka, pengeluaran ini dibayar oleh penulis (atau mereka yang mensponsori penulis). Biaya, yang dikenal sebagai Biaya Pemrosesan Artikel, atau APC (Article Processing Charge) [7], bervariasi tergantung pada publikasi, panjang artikel, dan faktor-faktor lainnya. APC itu diumumkan sehingga sudah diketahui sebelumnya oleh calon penulis. Calon penulis dapat menentukan berapa banyak yang perlu mereka bayar dengan mengunjungi situs web jurnal. Jika Anda percaya bahwa APC tertentu berlebihan, Anda bebas untuk pergi ke jurnal lain. Kendati begitu, hal yang tidak dapat Anda lakukan adalah mengeluh tentang biaya "tersembunyi", karena APC itu bukan biaya yang ditutup-tutupi.

Penerbitan akses terbuka dapat bersifat wajib atau pilihan, dalam arti sebagai berikut: Beberapa jurnal memberitahukan penulis bahwa  mereka wajib membayar APC  untuk mempublikasikan artikel di jurnal itu. Namun demikian, beberapa jurnal membuat akses terbuka bersifat pilihan (opsional). Misalnya, pengunjung situs  web jurnal Studies in History and Philosophy of Science  (diterbitkan oleh Elsevier) diberitahu bahwa, "Jurnal ini menawarkan penulis dua pilihan untuk mempublikasikan penelitian mereka." Opsi  berikut kemudian disediakan (di bawah judul  "Pilihan Akses Terbuka (Open-access Options)"):


tabel-1-jpg-605813448ede4859ae2a2562.jpg
tabel-1-jpg-605813448ede4859ae2a2562.jpg
Banyak jurnal akses terbuka "terkemuka" ("reputable" open-access journals) , seperti jurnal-jurnal yang disebutkan di atas (Studies in History and Philosophy of Science) membebankan APC. Dengan demikian, kita tidak dapat mengajukan keberatan/keluhan kepada jurnal "predator" khususnya bahwa mereka memiliki APC (karena jurnal-jurnal "bereputasi" pun mengenakan APC). Berikut adalah beberapa  jurnal  akses terbuka "terkemuka/bereputasi",  dengan APC-nya masing-masing [8]: 


tabel-2-jpg-605813398ede4859ea65c122.jpg
tabel-2-jpg-605813398ede4859ea65c122.jpg
APC, sesuai namanya, dirancang untuk membiayai (atau menutupi) biaya publikasi. Berikut ini adalah bagaimana De Gruyter, penerbit Open Philosophy  (jangan dipertukarkan dengan jurnal lain yang bernama Open Journal of Philosophy), membenarkan (menjustifikasi) biaya yang dikenakannya: "Biaya reguler untuk menerbitkan artikel dalam  Open Philosophy adalah 500 (+ PPN, jika berlaku). Jumlah ini digunakan untuk menutupi biaya proses peninjauan sejawat (peer-review), typesetting dan copyediting profesional, serta hosting daring, pemeliharaan jangka panjang, distribusi ke perpustakaan dan agregator konten di seluruh dunia, serta promosi yang ekstensif kepada para pembaca potensial" [9].

Jika Anda menginginkan pembaca yang banyak, akses terbuka adalah jalannya.

Kecepatan Penerbitan

Penulis ingin karya mereka tidak hanya diterbitkan, tetapi untuk diterbitkan sesegera mungkin setelah selesai ditulis. Semakin cepat karya seseorang terbit, semakin cepat karya tersebut dapat memperoleh keterlibatan pembaca. Bagi seorang filsuf khususnya, keterlibatan adalah segalanya, karena filsafat terdiri atas argumen dan kontra-argumen, keberatan dan balasan, analisis dan kritik. Itu sebabnya, David Hume begitu kecewa dengan perlakuan terhadap Treatise  of Human Nature  (1739-1740)-nya: karya itu gagal melibatkan pembaca yang ditargetkannya [10]. Mengadaptasi sebuah pepatah filsoofis:  "Jika sebuah artikel diterbitkan dan tidak ada yang membacanya, apakah ada bedanya antara artikel itu terbit atau tidak?" ("If an article is published and nobody reads it, does it make a difference?").

Dalam hal kecepatan, jurnal-jurnal "terkemuka/bereputasi" meninjau (me-review) artikel-artikel sedemikian sehingga membuat penulisnya frustrasi sampai-sampai merasa geram. Saya telah  menunggu selama enam bulan untuk keputusan publikasi, hanya untuk mengetahui bahwa naskah saya ditolak (rejected). Oleh karena hampir semua jurnal mensyaratkan pertimbangan eksklusif (exclusive consideration) naskah-naskah, penolakan (rejection) berarti mulai lagi dari langkah awal. Dua atau tiga penolakan sebelum penerimaan (acceptance) dapat berarti bahwa lebih dari setahun telah berlalu di antara pengiriman/pengajuan awal (initial submission) dan publikasi. Saya berharap bahwa saya tidak menjadi dramatis ketika saya mengatakan bahwa hal itu adalah semena-mena/tidak masuk akal (obscene).

Hal tersebut di atas bahkan bukan skenario cerita yang paling buruk. Pada lebih dari satu kesempatan, begitu banyak waktu yang hilang tanpa keputusan publikasi sehingga saya menarik artikel saya dari pertimbangan (sebelum mengirimkannya ke jurnal yang lain). Kita bertanya-tanya bagaimana mungkin butuh dua, tiga, empat, atau enam bulan untuk membaca dan mengevaluasi naskah, bahkan naskah yang jumlah katanya 8.000 atau 10.000 kata. Kita juga bertanya-tanya mengapa seseorang bisa menyetujui untuk meninjau/menelaah sebuah artikel tetapi kemudian mengenyampingkan artikel itu selama beberapa minggu (atau bulan). Saya menyetujui untuk meninjau sebuah artikel hanya ketika saya dapat membacanya segera, dan begitu saya setuju, saya melakukan semua yang saya bisa untuk membacanya segera. Bukankah ini yang dilakukan oleh orang yang bertanggung jawab (responsible person)? Bukankah ini persyaratan minimal untuk menyebut diri sendiri seorang profesional? Kendati demikian, hal Ini hanyalah salah satu kasus di mana penulis akademik disalahgunakan oleh (abused by) jurnal "terkemuka/bereputasi".

Jeda waktu antara pengajuan (submission) dan keputusan adalah jauh lebih sebentar untuk jurnal-jurnal "predator" daripada jurnal "bereputasi". Saya telah menerima keputusan dari jurnal "predator"  dalam hitungan hari, dan tidak pernah lebih dari dua minggu. Dapat dikatakan bahwa hal ini menunjukkan bahwa proses peninjauan adalah palsu (a sham). Barangkali benar begitu. Akan tetapi, seperti yang saya perdebatkan di bawah ini, hal yang disebut-disebut sebagai fungsi penjagaan gawang (gatekeeping) dari jurnal "terkemuka/bereputasi" pun sangat berlebihan. Lebih sering (setidaknya dalam pengalaman saya, termasuk ketika saya memperoleh informasi dari akademisi yang lain), para peninjau (reviewers) di jurnal "terkemuka/bereputasi" mengevaluasi/menilai artikel yang mereka baca berdasarkan hal-hal yang tidak relevan (irrelevancies) seperti apakah mereka "menyukai" kesimpulan dari artikel, apakah mereka berpikir topik itu "nge-trend" ("hot", atau "penting"), atau apakah mereka merasa cocok dengan gaya tulisan,  metodologi, atau pendekatan penulisnya terhadap topik yang diangkat.

Ya, arah saya ke sana: Saya akan memperdebatkan/mendiskusikan di bagian berikutnya bahwa fungsi penjaga gerbang dari sejawat (peer review) telah  dicurahkan menjadi fungsi pemolisian (policing) di mana pengulas/peninjau (reviewers)  dan penyunting (editor) berkonspirasi untuk "menghukum" penulis karena penulis mengambil posisi politik, moral, atau agama secara keliru pada berbagai isu. Dengan kata lain, penyuntingan (editing)  dan peninjauan (reviewing) jurnal telah dipolitisasi. Jika saya benar tentang hal ini (dan saya percaya bahwa inilah kebenarannya), maka ada alasan yang baik untuk memboikot jurnal-jurnal "terkemuka/bereputasi". Mereka tidak  pantas mendapatkan rasa hormat dan dukungan sebagaimana yang mereka dapatkan dengan mudah dari para akademisi.

Panjang Artikel

Jika artikel Anda melebihi 10.000 kata, seperti yang terjadi pada sejumlah artikel saya [11], Anda mungkin mengalami kesulitan untuk artikel itu diterbitkan oleh jurnal "terkemuka/bereputasi". American Philosophical Quarterly  memiliki batas 7.000 kata. Journal of Philosophy  memiliki batas 7.500  kata. Mind, Metaphilosophy, dan Australasian Journal of Philosophy memiliki batas 8.000 kata. Jurnal-jurnal "predator"  yang telah saya tulisi (seperti Open Journal of Philosophy dan Philosophy Study), tidak memiliki batasan jumlah kata --- atau setidaknya penyunting jurnal-jurnal ini tidak protes mengenai panjang artikel yang  berlebihan. Harus diakui, banyak jurnal "terkemuka" memiliki batas jumlah kata yang boleh melebihi 10.000 kata (Ethics, misalnya, memiliki batas 15.000 kata, dan Philosophy and Public Affairs 12.000 kata), sehingga panjang artikel bukanlah alasan yang sedemikian kuat sebagaimana alasan-alasan lain yang saya berikan untuk lebih memilih jurnal "predator" daripada jurnal "bereputasi". Anggap saja faktor panjang artikel sebagai salah satu saja di antara banyak faktor.

Mempertahankan Kepemilikan (Retaining Ownership)

Jika Anda ingin mempertahankan hak cipta (copyright) karya kreatif Anda, Anda hendaknya mempertimbangkan akses terbuka (open-access), baik ketika menerbitkan artikel dengan jurnal "predator" maupun jurnal "terkemuka". Berikut ini adalah kebijakan umum untuk jurnal berlangganan (subscription journal) yang tidak memiliki pilihan akses terbuka:

"Penulis akan diminta, setelah penerimaan (acceptance) sebuah artikel, untuk mentransfer hak cipta (copyright) artikel ke Penerbit. Hal ini akan memastikan penyebaran informasi seluas mungkin berdasarkan undang-undang hak cipta [12]."

Berikut ini adalah kebijakan umum untuk jurnal akses terbuka:

"Penulis Akses Terbuka mempertahankan hak cipta atas artikel mereka, dan semua artikel akses terbuka didistribusikan berdasarkan ketentuan Lisensi Atribusi Creative Commons, CC BY (atau Creative Commons Attribution-NonCommercial License CC BY-NC), yang memungkinkan para penggunanya untuk (secara non-komersial) menyalin, menggunakan, mendistribusikan, mengirimkan dan menampilkan/memajang karya secara publik dan untuk membuat dan mendistribusikan karya-karya turunannya (derivative works), dalam media digital apa pun untuk tujuan apapun yang bertanggung jawab, namun tetap tunduk pada atribusi yang tepat dari kepengarangan (authorship) [13]."

Berikut adalah kebijakan umum dari jurnal berlangganan (subscription journal) yang memiliki pilihan akses terbuka:

"Untuk artikel langganan (subscription articles): Penulis mentransfer hak cipta ke penerbit sebagai bagian dari perjanjian penerbitan jurnal (journal publishing agreement).

. . .

Untuk artikel akses terbuka (open access article): Penulis menandatangani perjanjian lisensi eksklusif (exclusive license agreement), dimana penulis memegang hak cipta (copyright) tetapi memberikan/melisensikan hak-hak  eksklusif dalam artikel mereka kepada penerbit.

. . .[14]"

Seperti yang telah saya katakan, beberapa jurnal "terkemuka" menawarkan opsi/pilihan akses  terbuka, jadi yang paling ingin saya katakan dalam hal ini adalah bahwa sebagian besar  jurnal "predator" menawarkan akses  terbuka, sementara hanya  beberapa  jurnal "bereputasi" yang menawarkannya. Saya juga harus menekankan bahwa ada keuntungan serta kerugian dari mentransfer hak cipta kita. Pokok pikiran saya sebenarnya sederhana, bahwa Anda akan diizinkan untuk mempertahankan hak cipta Anda pada sebagian besar jurnal "predator". Hak cipta adalah properti (Copyright is property). Properti  Anda (Your property).

Melewati Penyunting dan Penelaah yang Bias (Bengkok), Tumpul (Obtuse), atau Menyebalkan (Obnoxious)

Jika Anda pernah berurusan dengan editor jurnal yang bias atau tumpul, atau dengan penelaah (referees) yang memiliki kapak untuk menggiling, cerita berikut akan terasa akrab buat Anda.

Dahulu sekali, saya menyerahkan sebuah artikel berjudul "Taking Egoism Seriously" ke sebuah jurnal filsafat yang terkemuka, yang tidak akan saya sebutkan nama jurnalnya di sini. Segera, penyunting jurnal itu menjawab, melalui email. Ia mengatakan (di sini saya mengkalimatkan ulang dari ingatan/memori saya) bahwa egoisme adalah teori etika normatif palsu (Egoism is a false normative ethical theory) dan bahwa oleh karena itu, ia tidak akan mengirimkannya ke mitra bestari (reviewer/referee) untuk ditinjau/ditelaah.

Saya tertegun. Ini bukan karena seolah-olah topik ini tidak pernah dibahas dalam jurnal tersebut, karena jurnal tersebut pernah mendiskusikan topik ini juga. Juga bukan karena artikel saya terlalu panjang atau jelas-jelas tidak dapat diterima karena pengaturan atau gaya penulisan. Saya menduga bahwa penyunting bahkan belum membaca isi artikel selain bagian Abstrak dari tulisan tersebut, dalam mana saya mengarahkan niat saya untuk (1) menganggap serius egoisme dan (2) menganjurkan bahwa para sejawat saya di bidang filsafat melakukan hal yang sama. Penyunting/editor tersebut jelas memiliki bias terhadap topik egoisme, dan ia tidak ingin mengotori jurnalnya yang berharga dengan artikel mengenai topik itu.

Terpikir oleh saya setelah menerima surat elektronik dari penyunting itu bahwa, seandainya ia menerima esai tentang libertarianisme yang ditulis oleh Robert Nozick (1938-2002), yang berjudul [15], katakanlah, "Taking Libertarianism Seriously," penyunting itu akan membuat balasan surel yang sama. Para penyunting yang lain mungkin telah melakukannya juga, sampai pada titik di mana Nozick tidak memiliki alternatif selain mengenyampingkan artikel yang ditulisnya dan menjadikannya sebagai artikel yang tidak dapat diterbitkan. Bukankah hal itu menjadi sebuah kerugian bagi disiplin filsafat? Dalam jajaran filsafat akademik yang tertutup (cloistered), libertarianisme tidak lebih populer sebagai teori politik normatif daripada egoisme sebagai teori etika normatif. Apakah penyunting tadi akan membalas Nozick bahwa  libertarianisme adalah teori politik normatif palsu, dan karena itu tidak dibela dalam halaman yang terpandang dari jurnalnya? Kita mencurigai demikian, dan hal itu menakutkan. Tidak ada penyunting yang harus begitu kejam untuk mendikte pandangan mana yang benar dan mana yang salah, pandangan mana yang berdasar (well-founded) dan yang tidak berdasar (ill-founded), teori mana yang layak dipertimbangkan (worth considering) dan mana yang tidak.

Saya sangat menyadari bahwa beberapa orang memandang filsafat sebagai pencarian kebenaran. Pada beragam masalah, mereka yakin, pada awalnya, bahwa terdapat beberapa pandangan. Seiring waktu, pandangan-pandangan tersebut semakin memperoleh bantahan. Ketika hal ini terjadi, pandangan yang dimaksud akan dijatuhkan dari percakapan/diskusi. Siapa pun yang mencoba untuk membawa pandangan-pandangan tersebut akan dilihat sebagai mencoba untuk menghidupkan kembali orang mati, yang tentu saja sia-sia. Hal ini bukanlah pandangan saya tentang filsafat sama sekali. Tidak ada pandangan yang benar-benar pernah terbantahkan atau mati, jika hanya karena alasan bahwa ada argumen baru dan menarik yang dapat dibangun. Dilihat dengan cara ini, egoisme etis (ethical egoism) masih hidup dan dalam kondisi baik serta harus terus dibahas dalam literatur filosofis. (Saya akan melangkah lebih jauh dari ini:  Egoisme etis akan selalu hidup dan baik (alive and well), selama ada manusia.) Agar anda tidak berpikir bahwa artikel saya ditolak karena kurang layak, saya perlu segera menyampaikan bahwa artikel saya tentang egoisme etis itu telah diterima untuk penerbitan segera oleh jurnal yang sangat baik,  Ethical Theory and Moral Practice. Penyunting jurnal itu tidak bias/bengkok seperti editor jurnal yang pertama. Mungkin Anda akan ingin membaca artikel saya untuk diri sendiri untuk menentukan apakah bias editor pertama membuatnya salah dalam menilai. Sayangnya,  artikel itu berada di balik dinding bayaran (paywall), jadi saya harap Anda memiliki akses institusional ke sana.

Saya berharap dapat mengatakan bahwa kasus di atas itu adalah satu-satunya pengalaman saya dengan editor/penyunting yang bias (bengkok), tumpul, atau menjengkelkan. Sayangnya, tidak. Setahun yang lalu, saya mengajukan artikel berjudul "Cara Mencegah Penembakan di Sekolah dan Pembunuhan Massal Lainnya" ("How to Prevent School Shootings and Other Mass Homicides") kepada sebuah jurnal filsafat yang terkemuka. Saya telah mengerjakan artikel ini selama lebih dari setahun  dan telah memolesnya ke sampai kepada status seperti permata. Saya masih menganggapnya sebagai salah satu karya terbaik yang pernah saya  tulis dalam karier saya, dan juga, secara praktis, merupakan salah satu karya saya yang paling penting. Berikut ini adalah abstrak artikel itu:

"Pembunuhan massal, di mana penembakan di sekolah adalah sebuah spesies (bagian)-nya, terlalu umum terjadi. Hal yang membuat fenomena ini menarik secara filosofis adalah bahwa hukuman biasa (usual punishments) untuk kejahatan semacam itu tidak efektif. Bagaimana kita bisa menjerakan seseorang yang berniat untuk membunuh dirinya sendiri setelah menyelesaikan sebuah pembantaian? Setelah mengklarifikasi konsep-konsep prevensi/pencegahan, penjeraan (deterrence), dan penghukuman, saya menggambarkan berbagai modus hukuman. Jika kita serius untuk mencegah pembunuhan massal, kita tidak boleh mengenyampingkan modus hukuman apa pun secara berprasangka (a  priori). Saya menyarankan beberapa hukuman, seperti penyiksaan (torture) dan pemenjaraan dengan kerja keras (imprisonment with hard labor), yang dapat menurunkan niat calon pembunuh massal. Tujuannya adalah untuk menemukan  sebuah hukuman yang ditakuti oleh calon pembunuh massal lebih daripada kematian. Saya juga merekomendasikan koreksi teisme untuk ditanamkan berulang-ulang (yaitu, kepercayaan akan dewa pembalasan) sebagai sarana untuk mencegah pembunuhan massal."

Baiklah! Artikel tersebut bertemu dengan sebuah dinding penolakan. Artikel itu ditolak beberapa kali, sering tanpa dikirim ke mitra bestari. Sungguh, saya tidak paham apa alasannya. Saya tidak pernah kesulitan menemukan outlet untuk karya-karya filosofis saya [16]. Kecurigaan saya dalam kasus ini, berdasarkan komentar tertentu yang saya terima dari editor dan peninjau, adalah bahwa Seseorang Dilarang untuk Membela (atau bahkan mengatakan apa pun yang menguntungkan) Penyiksaan (One Must Not Defend Torture). Hanya satu pandangan tentang topik itu yang, ternyata, dapat diterima, dan artikel saya adalah perlawanan yang tegas terhadap pandangan tersebut [17]. Setelah penolakan keempat atau kelima, saya menyimpulkan bahwa tidak ada jurnal "bereputasi" yang akan menerbitkan artikel saya itu. Saya akhirnya mengirimkannya ke Beijing Law Review (yang beberapa orang anggap sebagai jurnal "predator"), di mana artikel ini diterima (dan diterbitkan) segera. Kasus ini menjadi titik mula saya berpikir serius untuk memboikot jurnal "terkemuka/bereputasi". Saya memiliki sedikit toleransi untuk  kebodohan, dan tidak ada toleransi sedikit pun untuk bias (I have little tolerance for stupidity, and none whatsoever for bias), terutama dalam disiplin (filsafat) yang membanggakan identitasnya pada ketidaktakutan (fearlessness), keberanian (boldness), dan pikiran terbuka (open-mindedness).

Bukan untuk memperpanjang  topik ini, tetapi masih ada masalah lain pada penyunting/editor dan penelaah/peninjau/mitra bestari selain bias/kebengkokan. Masalah itu adalah clubbiness (yang mungkin dapat dianggap sebagai bentuk kebengkokan pribadi/personal bias). Beberapa bulan yang lalu, saya menyelesaikan sebuah artikel panjang berjudul "Kelaparan, Kemakmuran, dan Kemunafikan" ("Famine, Affluence, and Hypocrisy") di mana saya telah bekerja, secara putus-sambung (off and on), selama beberapa tahun. Berikut ini adalah abstraknya:

"Pandangan baku di kalangan para filsuf adalah bahwa kemunafikan seorang/arguer (yakni kegagalan arguer untuk mempraktikkan hal yang dikhotbahkan/diajarkannya sendiri) tidak memiliki kaitan dengan kelayakan argumennya maupun penerimaan terhadap kesimpulan argumennya. Saya menantang pandangan ini. Dengan menggunakan kasus Peter Singer, yang telah terkenal berdebat tentang kewajiban moral untuk meredakan kelaparan, tetapi yang--menurut pengakuannya sendiri--tidak hidup sesuai dengan standar yang ia ajarkan/promosikan, saya menjelaskan mengapa (dan bagaimana) masalah kemunafikan seorang/arguer itu penting (terhadap kelayakan dan penerimaan argumennya). Jika saya benar, maka pandangan baku tentang hubungan antara arguer dan argumen harus direvisi."

Mungkin saya naif,  atau bahkan narsisistik, namun saya berpikir artikel tersebut adalah terobosan (pathbreaking essay) yang akan merangsang perdebatan filosofis selama bertahun-tahun yang akan datang. Pada satu sisi, saya menantang sebuah dogma filosofis yang sudah lama berdiri (tentang tidak relevannya kualitas pribadi seseorang/arguer terhadap kelayakan atau keberterimaan argumennya). Pada sisi lain, saya menyediakan taksonomi kemunafikan yang orisinal yang tidak hanya membedakan tiga jenis kemunafikan, tetapi menggali hubungan logis antar ketiga jenis itu. Siapapun yang tidak tertarik pada Peter Singer --- contoh orang munafik yang saya sajikan--- dapat dengan mudah melewati bagian di mana saya mendokumentasikan kemunafikannya (Jika Anda bertanya-tanya, saya beritahu sekarang bahwa ia adalah seorang munafik dari ketiga jenis dalam taksonomi saya).

Saya terkejut dan kecewa dengan penyikapan (reception) terhadap artikel itu. Berkali-kali, selama banyak bulan, artikel itu ditolak, kadang-kadang dalam hitungan hari penyerahan artikel. Penolakan cepat mengatakan kepada saya bahwa artikel itu gagal melewati tinjauan awal oleh editor. Mengapa? Saya tidak bisa memastikan, namun saya percaya bahwa penolakan itu disebabkan karena saya menggunakan Peter Singer sebagai contoh orang munafik. Singer adalah sosok yang dihormati dalam filsafat, dan telah selama hampir setengah abad itu berlangsung. Saya mendokumentasikan dengan rincian yang cermat tentang kegagalan Singer untuk menghidupi standar moral yang tinggi yang ia ungkapkan dalam artikel-artikel dan buku-buku tentang peredaan kelaparan. Seperti yang saya jelaskan dalam artikel itu, saya biasanya (dulu) memberitahukan mahasiswa saya bahwa kemunafikan Singer (seperti itu) tidak relevan dengan kelayakan atau keberterimaan argumennya; tetapi sekarang saya percaya hal yang sebaliknya.  Tujuan dari  artikel ini adalah untuk menunjukkan secara persis mengapa, dan bagaimana, kemunafikan Singer berpengaruh.

Coba pikirkanlah fenomena clubbiness ini. Apakah Anda ingin menjadi seorang editor yang menerbitkan artikel di mana anggota tercinta dari klub Anda digambarkan (secara akurat) sebagai orang yang munafik? Bagaimana hal itu akan mempengaruhi  karir  Anda? Banyak pembaca jurnal ini sudah mengetahui hal ini: saya tidak memiliki kedekatan dengan sosok atau pengaruh Singer, di dalam maupun di luar disiplin filsafat. Seorang editor mungkin  berpikir bahwa artikel saya adalah sebuah artikel yang memukul (a hit peace), atau, setidaknya, bahwa artikel itu tidak peka (insensitif) atau menghina kolega/sejawat. Tapi kemunafikan Singer adalah masalah rekam jejak publik (a matter of public record). Memang, ia mengakui di banyak tempat --- selalu dengan catatan untuk mundur/keluar dari kemunafikan, dan dengan sumpah untuk melakukan hal-hal yang lebih baik --- bahwa ia gagal memenuhi standar moralnya yang tinggi. Yang saya lakukan adalah mengumpulkan ucapan-ucapannya dan menempatkannya bersama dengan fakta-fakta terkenal tentang kehidupan dan perilakunya. Saya dapat menggunakan contoh hipotetis (contoh yang diandaikan), untuk bisa lebih pasti, akan tetapi kadangkala contoh nyata membawakan kita poin-poin penting dengan cara yang tidak pernah dapat dilakukan dengan kasus yang (dapat) dibuat-buat. Sejujurnya, saya tidak dapat memikirkan contoh yang lebih baik (dan lebih terdokumentasi dengan baik) tentang orang munafik daripada Peter Singer.

Setelah beberapa penolakan artikel saya, dan dengan meningkatnya kecemasan, saya memutuskan untuk mengirimkannya ke jurnal "predator". Saya lelah  bermain dengan gim pecundang, dimana kita selalu terkalahkan (I was tired of playing a losing game) dan ingin agar artikel "terbit/keluar" dan lepas dari tangan saya. Jika Anda ingin membacanya,  kunjungi situs web jurnal Philosophy Study. Pikirkanlah tentang kelayakan artikel tersebut. Bahkan jika Anda tidak setuju dengan saya bahwa kemunafikan seorang penulis relevan dengan keberterimaan argumennya (dan jika Anda melakukannya, saya ingin mendengar dari  Anda), Anda mungkin menemukan taksonomi kemunafikan saya mencerahkan dan  berguna. Saya harus menambahkan bahwa saya mendedikasikan artikel itu untuk Peter Singer. Saya telah belajar banyak darinya selama bertahun-tahun, dan bahkan berkorespondensi dengan beliau beberapa kali pada berbagai topik (termasuk tentang peredaan kelaparan). Saya menyukai dan mengagumi Peter Singer. Saya percaya bahwa ia telah melakukan lebih banyak kebaikan untuk hewan non-manusia (non-human animals) daripada filsuf lain, baik di masa lalu maupun masa sekarang. Bagaimanapun, saya berharap bahwa ia akan berhenti berkhotbah tentang peredaan kelaparan jika ia tidak dapat mempraktikkan ihwal yang ia khotbahkan/ajarkan. Kemunafikannya, dalam penilaian saya, benar-benar membahayakan profesi filsafat. Untuk mengetahui mengapa, bacalah artikel saya itu.

Sejauh ini, saya telah berbicara tentang editor. Izinkan saya sekarang mengatakan beberapa hal tentang mitra bestari (peninjau / pengulas / penelaah / reviewers / referees). Hal yang akan saya katakan mungkin mengejutkan, tetapi kenyataannya adalah: Saya tidak pernah menerima komentar yang berguna dari mitra bestari---dalam hampir empat dekade penerbitan. Ketika artikel saya diterima, sangat sering saya diberitahu oleh editor untuk mengakomodasi saran pengulas (atau,  untuk membalas/menjawab keberatan pengulas). Saya melakukannya, tetapi hanya untuk memastikan bahwa artikel akan diterbitkan. Kadang-kadang, untuk mengatakannya secara blak-blakan, komentar pengulas itu bodoh. Karena pengalaman saya dengan komentar pengulas sangat buruk, saya bertanya-tanya apakah praktik untuk mengharuskan pengulas menyampaikan komentar dan sarannya harus dihentikan. Bukankah seharusnya peran pengulas adalah sesederhana untuk memberikan jempol ke atas (thumb's up) atau jempol ke bawah (thumb's down)? Jika pengulas memiliki komentar, bukankah seharusnya komentar-komentar itu juga dipublikasikan sebagai balasan terhadap artikel (a reply to the essay)?  Saya serius tentang hal ini. Pilihannya hanya dua: Entah artikel dapat diterbitkan apa adanya, atau artikel ditolak. Jika tidak dapat dipublikasikan, maka peninjau/mitra bestari harus merekomendasikan penolakan. Jika  dapat dipublikasikan,  maka pengulas harus mengatakan demikian dan membiarkannya diterbitkan. Hal yang saya tidak mengerti adalah pengulas mengatakan bahwa esai dapat diterbitkan, tetapi hanya jika perubahan tertentu dibuat (What I don't understand is a reviewer saying that an essay is publishable, but only if certain changes are made).

Hal ini gila. "Artikel memperoleh manfaat dari kritik yang membangun. Semakin banyak kritik yang membangun, semakin  baik." Hal ini mungkin berlaku untuk beberapa orang, tetapi ini bukan untuk saya. Pada saat saya mengirimkan artikel untuk publikasi, saya telah mengerjakannya selama berbulan-bulan, menulis, menulis ulang, dan menulis ulang lagi. Saya jarang meminta umpan balik dari siapa pun, itulah sebabnya Anda akan lebih banyak menemukan  dedikasi tulisan saya untuk anjing saya dan kepada teman-teman  dan kerabat saya yang telah meninggal---daripada ekspresi terima kasih kepada kolega---  dalam artikel yang saya diterbitkan. Beberapa penulis tidak membutuhkan bantuan. Ketika kita mengirimkan karya kita untuk publikasi, hal itu karena kita percaya bahwa artikel itu siap untuk dipublikasikan. Kita tidak mengapresiasi (atau mengharapkan) kritik, konstruktif maupun destruktif. Saya secara khusus tidak menyukai kritik (meskipun diniatkan dengan baik) dari orang-orang yang hanya membaca cepat (skimming) esai/artikel saya, dan itu, sayangnya, yang terjadi dalam banyak peninjauan/peer-review.

Untuk membawa diskusi ini kembali pada tempat dimulainya, salah satu alasan untuk lebih memilih jurnal "predator" daripada jurnal "terkemuka/bereputasi" adalah bahwa editor dan pengulas jurnal "predator" memiliki sentuhan yang ringan (a light touch), dibandingkan dengan editor dan pengulas jurnal "bereputasi". Editor dan pengulas jurnal "predator" menghormati penulis mereka (They respect their authors). Saya menyukai ini.  Ketika saya menyelesaikan sebuah artikel yang memuaskan saya, saya berharap artikel itu akan diterbitkan apa adanya atau tidak sama sekali. Tidak ada tuntutan untuk harus dibaca, dan mereka yang membacanya bebas untuk tidak setuju dengan apa pun yang saya katakan. Mereka bahkan bebas untuk menulis balasan dan mengirimkannya kepada saya, memberitahukan saya hal yang mereka pikirkan. Mereka bahkan bebas untuk menerbitkan sebuah balasan, baik di jurnal yang sama atau di jurnal yang lain. Itu, bagi saya, adalah penerbitan yang ideal. Itulah sebabnya, ke depan, saya  hanya akan menerbitkan dalam jurnal "predator". Saya bahkan tidak lagi menyerahkan karya saya ke jurnal "terkemuka/bereputasi".

Independensi Ilmuwan

eksploitasi (exploitation) Awalnya istilah ini tidak memiliki [sic] konotasi moral, hanya mengacu pada penggunaan atau pengembangan sumber daya. Dalam filsafat moral dan filsafat politik, istilah ini sekarang berlaku khusus bagi hubungan ekonomi dan sosial yang tidak adil di mana satu kelas dapat menyalahgunakan tenaga kerja orang lain (abuse the labour of others). Demikianlah, untuk mencirikan sebuah hubungan sebagai eksploitatif, perlu mengasumsikan putusan moral negatif pada keadilannya (a negative moral verdict on its justice) (Blackburn, 2008: p. 126 [huruf tebal sesuai aslinya]).

Saya telah memberikan beberapa alasan independen untuk menerbitkan di jurnal "predator". Setiap alasan adalah penjelasan, dalam arti  bahwa alasan itu menjelaskan mengapa saya, penulis artikel ini, menerbitkan artikel dalam jurnal "predator"; tetapi masing-masing juga justificatory, dalam arti bahwa alasan-alasan saya itu memberikan penalaran bagi orang lain---siapa pun yang kebetulan membaca artikel ini, termasuk  Anda---untuk mengikuti jejak saya.

Alasan terbaik yang dapat saya pikirkan untuk menerbitkan artikel dalam jurnal "predator" adalah bahwa alternatifnya, yaitu penerbitan dalam jurnal "terkemuka/bereputasi", adalah eksploitatif, dan karenanya tidak adil. Biar saya jelaskan hal yang saya maksudkan dengan hal ini. Menurut jurnalis Inggris George Monbiot, pada tahun 2018,

"Setengah penelitian dunia diterbitkan oleh lima perusahaan: Reed Elsevier, Springer, Taylor & Francis, Wiley-Blackwell  dan American Chemical Society. Perpustakaan harus membayar mahal untuk jurnal (bundled journals) mereka, sementara mereka yang berada di luar sistem universitas diminta untuk membayar $20, $30, kadang-kadang $50 untuk membaca satu artikel (Monbiot, 2018)."

Pada tahun 2019, Reed Elsevier (sekarang dikenal sebagai Elsevier) memiliki pendapatan bersih sebesar $2,58 miliar. Elsevier menerbitkan 2.500 jurnal. Taylor & Francis sekarang menjadi divisi dari Informa plc, yang memiliki pendapatan bersih $330,4 juta pada tahun 2019. Wiley-Blackwell, yang sekarang dikenal sebagai John Wiley & Sons,  atau singkatnya Wiley, memiliki pendapatan $ 1,7 miliar pada tahun 2017. Wiley menerbitkan 1.600 jurnal [18]. Bayangkan  seseorang merenungkan angka-angka ini dan berseru:

"Biar kuluruskan ini. Aku bekerja keras setiap hari, selama berbulan-bulan dan pada akhirnya menulis esai ini. Ketika selesai ditulis, saya menyerahkannya ke jurnal untuk dipublikasikan. Jika saya cukup beruntung untuk memperoleh penerimaan (acceptance), saya harus mentransfer hak cipta (copyright) saya ke konglomerat penerbitan multinasional yang sangat kaya, yang segera menerbitkan artikel dan meletakkannya di belakang dinding berbayar (paywall). Dari titik itu, satu-satunya orang yang dapat membaca esai saya adalah mereka yang membayar akses ke sana, atau yang bekerja untuk seseorang yang membayar akses ke sana. Saya tidak mendapatkan uang untuk kerja-kerja saya (I get no money for my labors), meskipun saya mendapatkan sebuah baris pada daftar riwayat hidup (CV) saya. Bagaimana ini berbeda dari menjadi budak (being a slave)?"

Tidak semua jurnal dimiliki oleh perusahaan/korporasi kaya, tetapi banyak yang demikian. Filsuf Mark Colyvan telah menyusun daftar jurnal filsafat "50 teratas", yang dipecah menjadi dua kelompok:  25  jurnal filsafat generalis terbaik dan 25 jurnal spesialis terbaik [19]. Sepuluh dari 50 jurnal diterbitkan oleh  Wiley, 10 oleh Springer, dua oleh Taylor & Francis, dua oleh Brill (pendapatan bersih Brill pada tahun 2019 sebesar $2,62 juta), dan satu oleh Elsevier. Delapan diterbitkan oleh Universitas Oxford, yang, pada  2017, telah mengkonsolidasikan aset bersih $11,89 miliar. Empat  diterbitkan oleh Universitas Cambridge, yang, pada 2017, telah mengkonsolidasikan aset bersih $15,59 miliar [20]. Itulah  37 dari 50 jurnal yang diterbitkan oleh perusahaan kaya secara tidak masuk akal, dan beberapa dari 13 sisanya diterbitkan oleh universitas-universitas yang sama-sama kayanya---jika tidak lebih kaya---, seperti Duke, Chicago, Pennsylvania, Illinois, dan Johns Hopkins.

Jika Anda mengirimkan artikel Anda ke jurnal "terkemuka/bereputasi" yang dimiliki oleh salah satu perusahaan kaya ini (dan sebagian besar dari mereka), Anda berpartisipasi dalam sistem yang eksploitatif (dan karenanya: sistem yang tidak adil). Jika, seperti saya, Anda menolak untuk dieksploitasi (diperlakukan tidak adil), dan jika, juga seperti saya, Anda menolak untuk berpartisipasi dalam sistem yang mengeksploitasi orang lain, Anda akan mempertimbangkan untuk mengirimkan karya ilmiah Anda ke jurnal "predator".

Ada kesejajaran instruktif antara kasus ini (sistem penerbitan yang tidak adil) dan kasus sistem peternakan yang tidak adil. Pengacara dan ajun profesor hukum Steven M. Wise telah berargumen (Wise, 1986) bahwa peternakan pabrik (factory farms) tidak adil, dan, dengan demikian, harus dihapuskan. Tetapi bekerja untuk penghapusan peternakan pabrik (yaitu, membongkar sistem peternakan pabrik, di mana hewan diperlakukan sedikit lebih baik dari benda mati dalam rangka penggunaan dan konsumsi oleh manusia) bukan satu-satunya hal yang dapat dilakukan oleh individu yang sadar (conscientious individuals). Mereka juga dapat pantang mengkonsumsi produk hewani yang berasal dari peternakan pabrik. Idenya bukan bahwa tindakan seseorang akan, oleh dirinya sendiri, membongkar sistem (meskipun mereka akan sedikit berkontribusi dalam pembongkaran itu). Melainkan bahwa seseorang seharusnya tidak berpartisipasi dalam lembaga yang tidak adil (one ought not participate in unjust institutions). Secara moral, hal ini adalah mengenai tidak mengotori tangan kita (dengan praktik partisipatif serupa dalam peternakan pabrik). Hal Ini adalah mengenai mempraktikkan hal yang kita khotbahkan/ajarkan. Jika pengetahuan ini membantu Anda, Anda mungkin memikirkan publikasi ilmiah dalam jurnal "terkemuka/bereputasi" sebagai peternakan pabrik para peneliti dan penulis akademik. Saya, untuk satu hal ini, tidak akan mau diternakkan. Maukah Anda?

Mengapa Jurnal "Predator" Bukan Predator---dan Mengapa Jurnal "Terkemuka/Bereputasi" lah Jurnal Predator

Saya menjelaskan dalam catatan kaki (footnote) nomor [5] mengapa saya menyebut jurnal tertentu sebagai "predator" dan lainnya sebagai "terkemuka/bereputasi". Saya  tidak benar-benar  percaya bahwa jurnal yang saya sebut "predator" adalah predator yang sebenarnya. Bahkan, saya percaya bahwa jurnal yang saya sebut "predator" bereputasi baik, dan bahwa jurnal yang saya sebut "terkemuka/bereputasi" adalah predator. (Terdapat sejumlah pengecualian untuk masing-masing klaim ini). Para kritikus jurnal yang  saya tangkis klaimnya mengenai jurnal predator dalam artikel ini terlibat dalam hal yang disebut  para filsuf sebagai "definisi persuasif" (persuasive definition). Ini adalah taktik manipulatif yang secara retoris digunakan oleh mereka yang tidak dapat memenangkan argumen dengan jujur.

Mari kita mulai dengan beberapa definisi leksikal (definisi menurut kamus). Predator (kata benda) adalah "seseorang atau kelompok yang dengan kejam mengeksploitasi orang lain" (a person or group that ruthlessly exploit others) (New Oxford American Dictionary, 2010: p. 1376). Memangsa (prey, kata kerja) adalah "mengambil keuntungan dari; mengeksploitasi atau melukai" (New Oxford American Dictionary, 2010: p. 1385). Mangsa (kata benda) adalah "seseorang atau hal yang mudah dilukai atau dimanfaatkan" (New Oxford American Dictionary, 2010: p. 1385). Saya harap saya telah menjelaskan, dalam diskusi saya tentang kemerdekaan ilmiah (scholarly independence), bahwa konglomerat penerbitan multinasional mengambil keuntungan dari peneliti dan penulis akademik. Untuk satu hal,  konglomerat ini mensyaratkan, sebagai kondisi publikasi, bahwa para peneliti dan penulis mentransfer hak cipta mereka. Pencipta karya kehilangan kepemilikan dan kontrol atasnya. Tidak ada uang yang dibayarkan untuk komoditas berharga ini, namun konglomerat mendapatkan banyak uang dengan menjualnya ke perpustakaan. Jika hal ini Anda tidak pandang sebagai eksploitasi yang kejam, saya tidak tahu hal apa yang sanggup menggambarkannya.

Konsep predasi/pemangsaan (predation) bermakna bukan hanya agresor yang lapar, tetapi korban yang tidak berdaya --- dan, secara komparatif, tidak sanggup membela dirinya. Hal inilah persisnya yang ditemukan dalam dunia akademisi, terutama  di kalangan dosen muda yang belum memiliki jenjang akademik. Apa yang dilakukan para dosen tersebut? Jika mereka berharap untuk mendapatkan jenjang akademik, dan kemudian promosi ke profesor penuh, mereka harus mempublikasikan  artikel dalam apa yang oleh disiplin ilmu mereka disebut jurnal "terkemuka/bereputasi". Tetapi jurnal-jurnal ini justru adalah jurnal yang memangsa mereka --- yang memanfaatkan kerentanan mereka (take advantage of their vulnerability). Seperti yang dikatakan former editor Richard  Smith, "Merupakan akademisi yang berani atau bodoh : mereka yang menolak untuk menerbitkan di jurnal papan atas (top journal) untuk alasan terlalu mahal atau jurnal-jurnal tersebut dimiliki oleh penerbit yang rakus" (Smith, 2006:  p. 454). George  Monbiot setuju:

Sementara jurnal akses terbuka telah berkembang pesat [dalam jumlah], para peneliti masih harus membaca artikel di balik dinding berbayar (paywalled) di jurnal-jurnal komersial. Dan, oleh karena pekerjaan para peneliti ini dinilai oleh mereka/sponsor ---yang mungkin mendanai, memberikan penghargaan/reward atau mempromosikan jurnal-jurnal itu sesuai dengan dampaknya (the impact of the journals) di mana mereka menerbitkan---  banyak peneliti yang merasa bahwa mereka tidak punya pilihan selain menyerahkan penelitian mereka kepada perusahaan-perusahaan ini (Monbiot, 2018).

Apakah jurnal-jurnal yang saya sebut "predator" sungguh-sungguh predator? Beberapa orang percaya itu iya. Bradley  Allf, seorang mahasiswa pascasarjana dalam biologi konservasi di North Carolina State University, baru-baru ini menerbitkan sebuah artikel pendek (Allf, 2020) dalam publikasi daring di mana ia "menunjukkan" bahwa setidaknya beberapa jurnal "predator" menerbitkan "ilmu pengetahuan sampah" ("junk science"). Dalam hal ini, saya tidak tertarik pada soal etika penerbit yang menipu (ethics of defrauding publishers), seperti yang Allf jelas lakukan ketika ia melakukan percobaan mengirimkan artikel palsu (bogus essay)-nya ke sejumlah jurnal untuk mengetahui siapa jurnal yang menerima dan siapa yang tidak. (Lagipula, apakah hasil akhir membenarkan cara?/ Does the end justify the means? Maksudnya, apakah percobaan Allf itu sendiri dapat dibenarkan?).

Hal yang menarik minat saya adalah penggunaan istilah "predator" oleh Allf untuk menggambarkan jurnal tertentu.  Allf  menggunakan istilah-istilah "predatory" sebanyak 12 kali dalam esainya. Ia mengkontraskan apa yang disebut jurnal predator dengan jurnal yang "sah/legitimate". Ia menggunakan istilah-istilah seperti "menipu/scams," "menyamar/masquerading," "mengancam/menace," "penipuan/fraud," "berpura-pura/posing," "ditipu/duped," "gadungan/bogus," dan "palsu/fake," tetapi tanpa pernah menjelaskan hal yang salah dengan hubungan kontraktual (contractual relationship) antara penulis dan penerbit [21].

Jika jurnal yang disebut Allf sebagai "predator" mengambil keuntungan dari seseorang,  maka seharusnya mudah bagi Allf untuk mendukung (dan mendokumentasikan) klaim itu. Apakah seseorang disesatkan oleh jurnal itu? Jika demikian, bagaimana penyesatannya? Apakah ketentuan perjanjian  itu menindas (opresif), tak masuk akal (unconscionable), atau tak pantas (objectionable)? Jika demikian, seperti apa? Apakah tekanan diberikan oleh penerbit? Jika demikian, jenis tekanan apa itu, dan bagaimana hal itu dialami oleh penulis? [Allf tidak memiliki argumen untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan baik.]

Menggunakan istilah-istilah peyoratif (yang membuat makna sebuah kata menjadi lebih buruk) [seperti yang dilakukan Allf] untuk menggambarkan hal yang dituduhkan seseorang bukanlah argumentasi; itu adalah pemanggilan nama (name calling) [Jadi predator itu hanya merupakan name calling dari Allf]. Bahkan, lebih buruk daripada pemanggilan nama. Istilah-istilah yang dikemukakan Allf adalah retorika manipulatif yang dirancang untuk memastikan agar kita semua sepakat tanpa Allf sendiri harus melakukan kerja keras dalam berargumentasi.

Mari saya jelaskan secara rinci jenis tertentu retorika manipulatif yang ada dalam pikiran saya. Kata  "predator," seperti yang digunakan sehubungan dengan manusia dan institusi manusia (sebagai lawan dari hewan), adalah peyoratif. Tidak ada seorangpun atau satu pihak pun yang ingin menjadi, atau untuk dilihat sebagai predator. Ketika seseorang menggambarkan manusia atau lembaga manusia sebagai predator, maka orang itu sedang mengutuknya. Kecaman dibangun ke dalam pemaknaan kata, seperti itu. Fakta tentang bahasa ini dapat dieksploitasi oleh mereka yang tidak bermoral. Sebagai contoh, jika saya ingin lawan bicara saya membentuk pendapat yang tidak menguntungkan tentang sesuatu yang terhadapnya ia belum memiliki pendapat yang tidak menguntungkan, saya akan menerapkan label "predator" (atau beberapa label bermuatan negatif lainnya) dengan harapan bahwa negativitas dari kata itu sendiri tertransfer ke suatu itu [22].

Mungkin contoh dari konteks lain akan membuat hal ini jelas. Istilah "pemerkosaan" didefinisikan dalam hukum sebagai "Hubungan seksual yang melanggar hukum dengan seorang wanita tanpa persetujuannya" (Unlawful sexual intercourse with a female without her consent) atau "Penetrasi seksual yang melanggar hukum terhadap seorang wanita oleh seorang pria secara paksa dan bertentangan dengan keinginan si wanita" (The unlawful carnal knowledge of a woman by a man forcibly and against her will) (Black's Law Dictionary, 1979: p. 1134). Elemen  kunci dalam definisi ini adalah "tanpa persetujuan si wanita" dan "secara paksa dan bertentangan dengan kehendak si wanita." Misalkan saya memiliki sikap negatif terhadap "seks yang tidak diinginkan" (contohnya). Saya dapat menggambarkannya sebagai "pemerkosaan," berharap dengan demikian untuk memanipulasi lawan bicara saya untuk membentuk sikap negatif terhadap seks yang tidak diinginkan. Tapi seks yang tidak diinginkan bukanlah pemerkosaan (unwanted sex is not rape) [23]. Hukum tidak pernah mendefinisikan "pemerkosaan" sebagai seks yang tidak diinginkan. Tindakan seks tertentu yang "tidak diinginkan" oleh  seorang wanita mungkin tidak naik status perbuatannya ke tingkat pemerkosaan, sebagaimana makna istilah tersebut dimengerti dalam hukum [24].

Proses penerapan istilah negatif (atau positif) untuk sesuatu yang bukan dirujuk oleh istilah itu, secara ketat, dengan tujuan mengubah pendapat seseorang tentang hal itu, disebut juga "definisi persuasif" [25]. Semacam inilah definisi yang  digunakan oleh mereka yang menggunakan istilah "predator" lakukan ketika mereka menggambarkan jurnal tertentu sebagai predator. Mereka mencoba menginduksi lawan bicara mereka untuk membentuk sikap negatif terhadap jurnal-jurnal itu, bukan dengan berdebat tentang kelayakan argumen (dimana perdebatan merupakan sesuatu yang terhormat dan bereputasi) tetapi dengan menggunakan retorika manipulatif (dimana retorika ini sebenarnya tidaklah sopan dan tidaklah bereputasi). Definisi persuasif bertentangan dengan segala filsafat yang melatarbelakanginya. Penggunaan definisi persuasif adalah tanda bahwa penggunanya tidak dapat membuat kasus rasional untuk proposisi/pernyataan yang dimaksudkannya --- dalam hal ini, bahwa jurnal  tertentu buruk (dalam arti tertentu) atau tidak layak untuk memperoleh perlindungan akademik. Ironisnya, tentu saja, adalah bahwa beberapa istilah yang digunakan oleh  Allf  untuk menggambarkan apa yang disebutnya jurnal "predator"---istilah-istilah seperti "ditipu" (duped), "gadungan" (bogus), dan "palsu" (fake)---dengan sempurna menggambarkan teknik argumentatif yang tidak sopan dan tidak bereputasi itu

Sebagai catatan, saya akan menjadi yang pertama dalam antrean untuk mengutuk pemasaran yang menipu atau segala jenis paksaan. Jika sebuah jurnal terlibat dalam penipuan untuk memastikan/mengamankan artikel yang dapat dipublikasikan, atau menekan penulis untuk mempublikasikan di situs itu, jurnal itu harus diperingatkan. Namun, tidak  satu pun dari hal-hal tersebut telah terjadi dalam interaksi saya dengan jurnal-jurnal "predator".   Yang terjadi adalah sebaliknya. Saya diperlakukan dengan hormat (hal yang justru tidak terjadi pada sejumlah jurnal "terkemuka/bereputasi" yang berinteraksi dengan saya) oleh jurnal "predator" dari awal hingga akhir; Saya diberikan semua informasi yang relevan tentang ketentuan perjanjian (terms of the agreement); dan saya ditawari banyak kesempatan untuk meninjau bukti dapur terbitan (galley proofs) sebelum publikasi, untuk memperbaiki kesalahan editorial atau typesetting.   Allf  membuatnya seolah-olah semua atau sebagian besar jurnal "predator"  terlibat dalam praktik bisnis yang tidak beretika (sharp business practices) atau bentuk-bentuk lain tindakan yang dipertanyakan atau tidak bermoral. Tidak ada bukti bahwa hal yang dikemukakan oleh Allf tersebut merupakan kebenaran, dan justru banyak bukti bahwa yang dikemukakan Allf tidaklah benar. Pengalaman saya sampai saat ini sangat serasi (congenial), pada kenyataannya, sehingga saya menantikan untuk berurusan lebih lanjut dengan jurnal "predator". Saya tidak malang; saya bukannya tidak  berdaya. Saya bukan mangsa siapa-siapa.

Moralitas dan Kepentingan Diri

Pada titik ini  (jika Anda telah sampai sejauh ini), Anda mungkin berpikir: "Saya setuju bahwa terus menerbitkan dalam jurnal 'terkemuka/bereputasi' secara moral adalah problematik, jika tidak benar-benar zalim, karena berbagai alasan yang disediakan Burgess-Jackson, tetapi publikasi dalam jurnal-jurnal itu sangat penting untuk karier saya. Saya ingin memperoleh jabatan akademik; Saya ingin akhirnya dipromosikan menjadi profesor penuh; Saya ingin dihormati dengan baik oleh sejawat dan rekan-rekan saya ketika saya melakukan perjalanan ilmiah (scholarly journey) saya. Saya  tidak ingin menjadi orang buangan atau bahan tertawaan dalam disiplin yang saya pilih, dan saya tentu tidak ingin harus menyerah (atau berisiko kehilangan) karier ilmiah sama sekali. Penerbitan dalam jurnal 'predator' pasti akan membahayakan prospek karir saya."

Ini adalah konflik klasik antara moralitas dan kepentingan diri sendiri [26]. Kecuali Anda adalah seorang egois etis (ethical egoist), Anda percaya bahwa moralitas dan kepentingan diri adalah berbeda (terpisah). Ini tidak berarti bahwa keduanya selalu terpisah, karena keduanya mungkin kebetulan datang bersama-sama dalam kasus tertentu (atau kasus-kasus tertentu); hal itu berarti bahwa keduanya tidak selalu datang bersama-sama. Kadang-kadang melakukan hal yang benar adalah merugikan diri sendiri (Sometimes doing the right thing is costly to self). Kadang-kadang bertindak seturut kepentingan diri seseorang adalah mengkompromikan, atau bahkan melanggar, prinsip-prinsip moral seseorang. Kadang-kadang,  tragisnya,  seseorang tidak  bisa sekaligus bermoral dan bijaksana.

Misalkan Anda dibesarkan makan daging. Anda menyukai rasanya dan bagaimana rasa tersebut Anda nikmati, tetapi  Anda telah diyakinkan (dengan argumen filosofis yang dihasilkan oleh orang-orang yang Anda kagumi, seperti Peter Singer atau Tom Regan) bahwa makan daging adalah salah. Apakah Anda akan terus makan daging? Jika Anda melakukannya, Anda akan menderita disonansi/kesenjangan kognitif (belum lagi hati nurani yang merasa bersalah). Cara terbaik untuk mencegah kesenjangan kognitif sambil berpegang pada keyakinan moral Anda adalah mengubah perilaku Anda. Ini sulit untuk dilakukan, terutama ketika perilaku itu merupakan kebiasaan, tetapi dapat dilakukan. Jika Anda memutuskan untuk menerbitkan dalam jurnal-jurnal "predator" dan untuk meninggalkan publikasi di jurnal-jurnal "terkemuka/bereputasi", maka Anda hendaknya,  sebagai bentuk pertahanan diri, bersiap untuk menjelaskan dan membenarkan/menjustifikasikan tindakan Anda kepada orang-orang yang berada di atas Anda dalam hierarki akademik, seperti ketua departemen/jurusan Anda atau dekan fakultas Anda. Latihan bersama (joint exercise) dalam penjelasan dan pembenaran itu sendiri merupakan tindakan keilmuwanan (act of scholarship), belum lagi aspek integritas akademik. Justru itulah sebabnya saya menulis artikel ini: untuk menjelaskan ---dan membenarkan---perilaku nonkonformis saya (my heretical conduct), perilaku saya yang tidak ikut-ikutan.

Apakah saran saya kepada Anda? Lakukanlah hal yang benar. Fiat justitia, ruat clum [27]. Hal ini mungkin tidak mudah; memang, itu tidak akan mudah. Anda melawan daya yang kuat (powerful forces), baik secara akademis maupun ekonomis. Namun demikian, alternatifnya, adalah Anda berpartisipasi dalam institusi yang Anda yakini sebagai zalim --- dan memiliki alasan untuk percaya pada kezaliman. Dapatkah Anda hidup dengan diri sendiri jika Anda melakukan hal yang terakhir ini?

Kesimpulan

"Para akademisi sudah muak ditipu, dan mengusulkan berbagai cara untuk membuat penelitian mereka tersedia" (Smith, 2006: p. 454).

Artikel ini memiliki dua tujuan. Yang pertama adalah menjelaskan mengapa, setelah 38 tahun penerbitan di jurnal akademik "terkemuka/bereputasi", saya telah memutuskan untuk menerbitkan secara eksklusif artikel-artikel saya dalam media yang  para kritikus sebut sebagai jurnal "predator". Kata sifat "predator" sangat tidak tepat dalam konteks ini, karena predator sejati/true predators (yaitu, pelaku eksploitasi, penindasan, penjarahanan) adalah perusahaan penerbitan multinasional kaya yang memperlakukan peneliti dan penulis sebagai buruh budak (slave laborers). Tujuan  kedua adalah untuk mengadvokasi agar akademisi lain (terutama yang berada dalam disiplin filsafat saya sendiri) mengikuti jejak saya.

Ucapan Terima Kasih: Artikel ini didedikasikan untuk Chloe dan  Autie, para teman anjing saya selama delapan tahun (hingga kini dan seterusnya).

Catatan Kaki (Footnote)

(1) R.M. Hare ke Keith Burgess-Jackson, 16 Juni 1995. Salinan merupakan milik penulis. Hare berusia 76 tahun ketika ia menulis ini. Ia terus menulis dan mempublikasikan artikel sampai kematiannya, enam setengah tahun kemudian. Dalam surat saya kepada Hare (tertanggal 13 Juni 1995), yang ia tanggapi, saya telah mengusulkan untuk menulis studi kritis tentang karya-karyanya. Hare menjawab: "Saya ragu-ragu untuk membiarkanmu memulai sebuah buku tentang saya. Saya telah menulis terlalu banyak. Tetapi merupakan dorongan yang besar bagi saya (yang saya butuhkan) bahwa siapa pun bahkan harus memikirkan usaha seperti itu." Saya belum menulis buku yang saya usulkan, meskipun saya telah menghasilkan karya berupa bibliografi teranotasi. Lihat di sini.

(2) Wilson adalah penulis lebih dari 30 buku, menurut uraian sampul belakang pada setidaknya dua dari buku-buku tersebut. Buku-bukunya termasuk Bahasa & Pengejaran Kebenaran (Language & the Pursuit of Truth) (1958), Berpikir dengan Konsep (Thinking with Concepts) (1963), Logika dan Moralitas Seksual (Logic and Sexual Morality) (1965), Hal yang Filsafat Dapat Lakukan (What Philosophy Can Do) (1986), dan Kata Pengantar kepada Moralitas (A Preface to Morality) (1987). Dalam suratnya kepada saya, ia menulis, "Saya menulis TERLALU banyak dan ceroboh serta merasa sedikit bersalah tentang hal itu, tetapi senang jika Anda merasa itu berguna." John Wilson kepada Keith Burgess-Jackson, 8 Juli 1988. Salinan merupakan milik penulis.

(3) Saya menerbitkan artikel dalam jurnal-jurnal hukum dan sejarah karena saya memiliki kredensial dalam disiplin ilmu tersebut. Kredensial saya adalah sebagai berikut: A. B. (Political Science), The University of Michigan-Flint; M.A. (History), Wayne State University; J.D. (Law), Wayne State University; M.A. (Philosophy), The University of Arizona; and Ph.D. (Philosophy), The University of Arizona.

(4) Sebagian besar jurnal hukum (dikenal sebagai "tinjauan hukum"/law reviews) diedit oleh mahasiswa, bukan dosen/profesor. Siswa yang menyunting jurnal ini memiliki tiga tugas: "seleksi, pengembangan, dan penyuntingan [artikel]" (Posner, 1995: p. 1132).

(5) Seseorang mungkin bertanya-tanya mengapa saya menggunakan kata "predator" untuk menggambarkan jurnal yang saya pertahankan, karena saya tidak percaya bahwa jurnal-jurnal tersebut bersifat predatori. (Dalam pandangan saya, seperti yang saya jelaskan di bagian berikutnya, jurnal yang benar-benar predator adalah jurnal yang saya sebut sebagai "terkemuka/bereputasi," dan jurnal yang benar-benar terkemuka adalah jurnal yang disebut kritikus sebagai "predator.") Pembaca yang berhati-hati akan memperhatikan bahwa saya tidak menggunakan (use) kata "predator"; saya menyebutkannya (mention it). Itulah sebabnya saya menyertakan kata predator dalam tanda kutip ganda (quotation marks) di seluruh artikel ketika menggambarkan jurnal-jurnal yang saya bela. Saya  tidak ingin pembaca saya berpikir bahwa saya mencoba untuk mendapatkan retorika "predator" (yang bersifat menghina) dan jurnal yang saya tolak sebagai "terkemuka" (yang bersifat pujian). Tidak ada yang bisa menuduh Marquis-atau saya-menggunakan retorika manipulatif untuk "memenangkan" argumen.

(6) Perpustakaan Healey Universitas Massachusetts-Boston mendaftarkan 12 jurnal filsafat akses terbuka yang ditinjau sejawat (peer-reviewed open-access philosophy journals). Lihat di sini.

(7) Beberapa jurnal menyebutnya Biaya Penerbitan Artikel (Article Publishing Charge), dengan akronim/singkatan yang sama (APC).

(8) Semua informasi yang terkandung dalam bagan ini dikumpulkan dari situs web jurnal.

(9) Kutipan ini diambil dari dokumen yang diposting di situs web Open Philosophy.

(10) Hume menulis: "Tidak pernah upaya sastra (literary attempt) lebih malang daripada Treatise of Human Nature saya. Karya saya itu jatuh mati-saat-lahirnya dari penerbitan, tanpa mencapai sesuatu kekhasan, bahkan untuk membangkitkan gumaman di antara orang-orang fanatik  (It fell dead-born from the press, without reaching such distinction, as even to excite a murmur among the zealots)" (Hume, 1777 :  pp. 7-8 [italics in original]).

(11) Artikel saya, "Cara Mencegah Penembakan di Sekolah dan Pembunuhan Massal Lainnya" (How to Prevent School Shootings and Other Mass Homicides) (Burgess-Jackson, 1999), memiliki hingga 12.113 kata. Artikel saya, "The Whole Truth About Partial Truth Tables" (Burgess-Jackson, 2000a), memuat 11.819 kata. Artikel saya, "Kelaparan, Kemakmuran, dan Kemunafikan" (Famine, Aflluence, and Hypocrisy) (BurgessJackson, 2000b), memuat 11.957 kata. Artikel ini akan memuat sedikit lebih banyak dari 9.000 kata.

(12) Dari situs web Law and Philosophy, yang diterbitkan oleh Springer.

(13) Dari situs web Open Journal of Philosophy, yang diterbitkan oleh Scientific Research Publishing.

(14) Dari situs web Studies in History and Philosophy of Science, yang diterbitkan oleh Elsevier.

(15) Nozick adalah penulis Anarchy, State, and Utopia (Nozick, 1974), salah satu karya besar filsafat politik abad ke-20.

(16) Dari 1988 hingga 2003, saya adalah seorang feminis (bahkan, seorang feminis radikal). Selama tahun-tahun ini, saya menerbitkan dengan mudah di jurnal "terkemuka/bereputasi". Sejak saya menjadi seorang konservatif pada tahun 2003, saya telah berjuang untuk menerbitkan artikel tertentu. Kesulitan publikasi yang saya alami sejak 2003 ini mungkin entah karena (1) Saya telah menjadi penulis atau penalar yang lebih buruk selama bertahun-tahun, atau (2) editor dan peninjau membuat keputusan berdasarkan posisi yang diambil oleh penulis (saya) daripada manfaat dari karya yang sedang ditinjau. Saya cukup yakin bahwa saya tidak menjadi penulis atau penalar yang lebih buruk selama bertahun-tahun.

(17) Para filsuf cenderung tidak menjadi absolutis, tetapi beberapa filsuf terkemuka telah berdebat dalam beberapa tahun terakhir untuk larangan mutlak terhadap penyiksaan (termasuk penyiksaan dalam interogasi, di mana tujuan pihak berwenang adalah untuk memastikan informasi yang akan menyelamatkan nyawa-nyawa mereka yang tidak bersalah). Lihat, misalnya, Shue, 2005; Waldron, 2005; Mayerfeld, 2008; dan  Juratowitch, 2008. Sangat menarik untuk dicatat bahwa beberapa filsuf yang sama yang mendukung larangan mutlak terhadap penyiksaan dalam interogasi juga menentang pelarangan mutlak terhadap pembunuhan orang-orang yang tidak bersalah-bahkan pembunuhan bayi yang tidak bersalah. Untuk informasi lebih lanjut tentang oposisi/penentangan terhadap penyiksaan, lihat Bagian 8 dari esai saya yang diterbitkan.

(18) Informasi dalam paragraf ini diambil dari Wikipedia ("ensiklopedia bebas").

(19) Lihat di sini: http://www.colyvan.com/journals.html

(20) Oxford dan perguruan tingginya memiliki pendapatan bersih kumulatif $ 1,04 miliar pada tahun 2017. Lihat Adams & Greenwood, 2018. Saya melakukan konversi mata uang, menggunakan Google.

(21) Allf tampaknya tidak menyadari fakta bahwa banyak jurnal yang akan ia anggap "sah/legitimate," seperti yang tercantum di bagian sebelumnya dari artikel ini, memiliki opsi akses terbuka yang mereka kenakan kepada penulis sejumlah besar uang (sebagai APC). Ia menulis: "Di relung/niche dunia penipuan penerbitan akademik, kelompok-kelompok ini [yaitu, jurnal "predator"] menghasilkan uang dengan menyamar sebagai jurnal ilmiah yang sah, menerbitkan apa pun yang mereka dapatkan, dan kemudian menagih penulis ratusan atau bahkan ribuan dolar dalam memproses biaya" (penekanan ditambahkan). Apakah  Allf  tidak menyadari bahwa semua jurnal, di dalam maupun di luar sains, "menghasilkan uang"?

(22) Seseorang juga dapat terlibat dalam definisi persuasif dengan kata-kata yang memuji, seperti "demokrasi," "keadilan," "kesetaraan," "kebebasan," dan "pernikahan." Tujuannya adalah untuk membuat-orang untuk berpikir mendukung hal-hal yang justru, secara tegas, tidak dimaksudkan oleh istilahnya.

(23) Masing-masing dari kita melakukan hal-hal setiap hari yang tidak ingin kita lakukan. Kita melakukan hal-hal ini dengan penuh dendam atau keengganan, bahkan mungkin kejengkelan. Misalnya,  saya tidak ingin pergi bekerja hari ini. Ini  tidak berarti bahwa jika saya pergi, saya melakukannya "tanpa persetujuan" (without consent). Juga tidak berarti bahwa saya "dipaksa" untuk pergi atau bahwa saya "melawan keinginan saya".

(24) Untuk diskusi lebih lanjut tentang hal ini, lihat Burgess-Jackson, 1995.

(25) Lokus klasiknya adalah Stevenson, 1938

(26) Untuk esai ilustrasi (dan dalam beberapa kasus seminal) tentang topik ini, lihat Gauthier, 1970.

(27) Terjemahan: "Biarlah yang benar dilakukan, meskipun langit harus runtuh" (Let right be done, though the heavens should fall) (Black's Law Dictionary, 1979: p. 561)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun