Mohon tunggu...
Juneman Abraham
Juneman Abraham Mohon Tunggu... Dosen - Kepala Kelompok Riset Consumer Behavior and Digital Ethics, BINUS University

http://about.me/juneman ; Guru Besar Psikologi Sosial BINUS; Pengurus Pusat Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI); Editor-in-Chief ANIMA Indonesian Psychological Journal; Asesor Kompetensi - tersertifikasi Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kegurubesaran di Indonesia

4 Februari 2021   12:27 Diperbarui: 10 Februari 2021   11:08 3546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Dok. Jobplanet) via Kompas.com

Menjadi Guru Besar (Profesor) ternyata menjadi idaman banyak orang, tidak terkecuali orang-orang yang kita kenal sebagai praktisi, seperti Kak Seto. "Usia boleh senja. Namun semangat tetap menyala dalam mengejar cita-cita: Guru Besar!," ungkap beliau pada 26 November 2020. 

Mungkin karena keprestisiusannya, kemuliaan kontribusinya, atau keduanya, jabatan Profesor memang sudah tersebut dan terkenal sejak lama di kalangan masyarakat luas. Putri Proklamator RI, Presiden Megawati Soekarnoputri pun pernah bercita-cita menjadi Profesor Pertanian. Belum lama, kita merasakan hangatnya pembahasan tentang diksi "saya profesor beneran" dan sebutan Profesor sebagai "panggilan kesayangan".

Baru-baru ini, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menyelenggarakan Seri Diskusi KIKA: Kesejahteraan Dosen dan Problematika Perguruan Tinggi di Indonesia. Salah satunya, didiskusikan mengenai Problem tentang Guru Besar/Profesor (mulai menit ke-26:39). Tampaknya, pembahasan tentang hal ini merupakan kelanjutan dari petisi daring yang diajukan pembicara KIKA yang bertajuk "Stop dagelan di Pendidikan Tinggi: Guru Besar milik Institusi yang menjunjung tinggi aktivitas keilmiahan".

Saya menyadari bahwa pembahasan mengenai sistem pengangkatan Guru Besar atau Profesor merupakan hal yang kompleks. Oleh karenanya, pembahasannya perlu dilakukan secara seksama, berhati-hati, dan tidak mungkin menjadi sebuah pembahasan sisipan. Di samping itu, sudah banyak pula pihak yang membahasnya dalam berbagai fragmen di media massa. 

Berbicara tentang pengalaman mengobservasi kualifikasi dan kegiatan Profesor di kancah internasional, walau kampus luar negeri "tinggal buka slot kepegawaian untuk level profesor" (menit ke-29:15), karena profesor adalah sebuah posisi, Ketua Umum Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I4) mengakui bahwa menjadi profesor di kampus luar negeri tidak mudah. "Karena begitu kita direkrut menjadi profesor di kampus itu, bukan berarti langsung menjadi profesor penuh dan juga dievaluasi setiap tahunnya," ungkapnya. 

Dengan demikian, menjadi Profesor memiliki tantangannya sendiri di setiap negara, baik Profesor sebagai sebuah posisi (seperti di sejumlah negara di luar negeri) maupun sebagai sebuah jenjang karir (seperti di Indonesia). Yang jelas, kita perlu mengerti terlebih dahulu perkembangan diskusi termutakhir di Indonesia tentang kegurubesaran.

Diskusi tentang Profesor: Mulai dari Mana?
Beberapa sumber pembahasan yang penting, misalnya, Sumber Pertama, naskah-naskah akademik kebijakan serta pidato-pidato kunci dari Direktorat Jenderal yang menangani Sumber Daya Manusia di lingkungan Kementerian (Kemendiknas/ Kemenristekdikti/ Kemendikbud). 

Biasanya, dalam naskah dan pidato tersebut, termuat fakta, argumen, alur pikir, dan upaya Pemerintah sehubungan dengan pengangkatan Guru Besar dan kualifikasinya.

Pemeriksaan secara seksama atas hal-hal tersebut merupakan hal yang sangat penting. Bukan hanya melihat secara sekilas dokumen kebijakannya saja, melainkan mengikuti naskah atau pun verbalisasi pertanggungjawaban akademik di baliknya, yang seringkali perlu dilakukan dengan pengamatan secara historis dari waktu ke waktu, mirip kerja-kerja jurnalisme mendalam. 

Ilustrasi via slate.com/h
Ilustrasi via slate.com/h
Sebagai contoh, tidak sepenuhnya benar ketika pembicara KIKA menyatakan bahwa Indonesia "teriak-teriak kekurangan Guru Besar" (menit ke-29:45). 

Faktanya, Dirjen Sumber Daya Iptek dan Dikti, Kementerian Ristekdikti, Prof. dr. Ali Ghufron Mukti M.Sc., Ph.D. [catatan: sekarang Dirjen Dikti Kementerian Dikbud, dijabat oleh Prof. Ir. Nizam, M.Sc., Ph.D., IPM., ASEAN Eng.], pernah mengungkap dalam berbagai kesempatan (diantaranya pernah saya dengar pada 2018 di Auditorium Universitas Narotama Surabaya), bahwa Indonesia mengalami "kelebihan guru besar" pada sebuah periode di masa lalu, bahkan, "inflasi guru besar". 

Inflasi menurut KBBI adalah "kemerosotan nilai... karena banyaknya dan cepatnya...".  Tampaknya yang hendak dicapai dengan berbagai revisi Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Kenaikan Jabatan Akademik/Pangkat Dosen, di samping sudah barang tentu, merit system, adalah ekuilibrium yang diperbarui terus-menerus, diantara estimasi situasi defisit dan inflasi Guru Besar.

Di samping itu, pemeriksaan tersebut perlu dilengkapi juga dengan Sumber Kedua, yakni pengkajian atas komentar-komentar sistematis yang telah tersedia atas kebijakan Pemerintah. Ambil contoh, Jaja Suteja (2020) mengungkapkan mengenai kaitan antara politik anggaran dengan proses Jabatan Fungsional Guru Besar, sebagai berikut:

"Satu sisi peneliti didorong, bahkan dipaksa harus meneliti dengan sedikit ancaman peninjauan kembali pembayaran sertifikasi dosen dan insentif kehormatan guru besar, namun pada sisi lain ketersediaan fasilitas penunjang seperti jurnal, kemudahan pengurusan jabatan fungsional masih terkendala dengan birokrasi, minimal pada tingkat adminitrasi awal (pengurusan jabatan fungsional dosen PTS masih sangat panjang alur birokrasinya). 

Apakah karena masalah ketidakmampuan menyusun anggaran, atau karena kepentingan sekelompok tertentu yang memiliki akses terhadap penyusunan anggaran atau karena ketidakmampuan meng-estimate cash-in-flow harus dibayar dengan tertunda atau dibatalkannya sejumlah penelitian bahkan bagi peneliti muda (dosen yang belum memiliki jabatan fungsional, yang sering diplesetkan sebagai tentara pelajar) akan layu sebelum berkembang?"

Sumber Ketiga adalah kajian dari Guru Besar yang berpengalaman dan tak diragukan reputasinya oleh masyarakat. Ambil contoh, Prof.(Em.). Dr. Franz Magnis-Suseno. Pada harian Kompas, 9 Juli 2015, Romo Magnis (begitu beliau biasa dipanggil), Sang Begawan Kasma(ra)n, pernah menyampaikan sebuah proposal dengan penuh pertimbangan tentang bagaimana sebaiknya Guru Besar diangkat dalam konteks negara kita, Indonesia (jadi, tidak semata-mata mengambil mentah-mentah kebijakan dari negara atau benua lain). Beliau menyatakan, sebagai berikut:

"Ambil kasus saya sendiri. Saya masih enak menjadi profesor: asal rajin mengumpulkan kum profesornya terjamin. Tahun 1994 kum saya melampaui 1.000, ya, jadi guru besar.... 

[Usulan untuk situasi sekarang adalah] Peningkatan produktivitas ilmiah staf akademis kita tak akan dicapai dengan metode palu. Untuk jadi guru besar cukup dipersyaratkan empat tulisan ilmiah state of the art yang dipublikasikan di Indonesia. Atau sebuah monografi yang betul-betul mengesankan (setingkat Habilitationsschrift di Jerman), yang kemudian dinilai, misalnya, oleh empat guru besar yang pakar, dua di antaranya dari luar universitas yang bersangkutan."

Franz von Magnis juga mempertanyakan, apakah bangsa membutuhkan spesialisme ekstrem dari para ilmuwan kita - khususnya pada bidang non-eksakta - sebagaimana diminta oleh jurnal-jurnal internasional yang dianggap bereputasi. Pertanyaan ini ternyata bukan hanya melanda bidang Filsafat, melainkan juga bidang Psikologi; bukan hanya di Indonesia, melainkan juga antar-bangsa. 

Pun apakah asumsi bahwa persyaratan penerbitan di jurnal internasional dapat meningkatkan kualitas semua akademisi Indonesia sungguh-sungguh berdasar. Pesan beliau kiranya jelas: Hamparan kepelbagaian ilmu-ilmu (dan ilmuwan-ilmuwan serta insitusi-institusi) kita hendaknya tidak diukur dengan satu atau segelintir takaran produktivitas dan dampak. Oleh karenanya, baik juga bahwa sejak akhir 2020 lalu, Ditjen Dikti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berkomitmen merumuskan kembali persyaratan Guru Besar yang memberikan bobot yang lebih serius terhadap portofolio non-publikasi internasional. 

Sehubungan dengan interkonektivitas ilmuwan dengan dunia internasional, perkembangan kebijakan tersebut dapat sejalan dengan kajian termutakhir bahwa "dunia ilmiah yang semakin digital kini - tidak seperti masa lalu - sudah mulai dapat dibayangkan tanpa jurnal ilmiah" (Kachniewska, 2019). 

Kachniewska bahkan menangkap gejala adanya krisis jurnal ilmiah (the crisis of scientific journals). Bukan berarti kita ingin meninggalkan keilmiahan atau dunia ilmiah. Justru, yang perlu dikuatkan dalam situasi krisis ini sejatinya adalah sistem peninjauan sejawat (peer review system) oleh pakar (expert). Namun demikian, sistem ini, pada sebuah dunia yang mengalami transformasi digital, tidak lagi harus melalui sistem jurnal (setidaknya yang dalam bentuknya saat ini). 

Demikianlah, menurut gagasan inovatif yang diangkat oleh Profesor Magdalena Kachniewska ini, apabila penerbitan karya-karya para ilmuwan secara mandiri (self-publishing) dan pengarsipan karya-karya mereka juga secara mandiri (self-archiving) dibenami dengan sistem penelaahan sejawat ahli (peer review system) yang berkualitas (catatan: untuk saat ini, sistem ini masih belum tergantikan dengan kecerdasan buatan/artificial intelligence), maka dunia memiliki alternatif (yakni e-science) terhadap fungsi jurnal ilmiah internasional selama ini. Bukan hanya sebuah alternatif, melainkan alternatif yang lebih baik di tengah-tengah era komodifikasi jurnal ilmiah [jurnal sebagai komoditas], yang turut melanda keilmuwanan Indonesia dewasa ini. 

Si "A"-Profesor Harvard dan Profesor Soenjono
Terbatasnya rentang perhatian saya terhadap ketiga sumber tersebut sekaligus, membuat saya saat ini, dalam tulisan ini, hanya mengkaji satu buah salindia yang disampaikan oleh pembicara KIKA (dan hanya pada sebagian isinya), mulai menit ke-50:13 yang disebut pembicara sebagai "Ilustrasi praktek keliru yang dibangun".

Disampaikan oleh pembicara, sebagai berikut, "Indonesia memiliki target untuk membawa kampus-kampus Indonesia go international dengan prestasi Internasional yang juga luar biasa.
Si A, orang Indonesia yang telah menjabat Full professor of Psychology at Harvard University mendengar kabar ini dan berencana untuk kembali ke Indonesia. Si A pun mengirim surat lamaran ke salah satu PTN terbaik di Indonesia. 

Karena A tidak memiliki rekam jejak barkarir sebagai akademisi di Indonesia si A pun diminta mengikuti proses seleksi; dia diminta untuk ikut tes Potensi Akademis (TPA) dan tes Bahasa Inggris. Si A sangat kaget mendapatkan kabar ini dan menginfokan: 1) apa perlunya tes potensi akademis kalau sudah ada pencapaian akademis, 2) apa perlunya tes bahasa Inggris lagi untuk orang yang sudah lama tinggal di negara berbahasa Inggris? Si A mendapatkan jawaban yang sederhana juga: karena memang aturannya seperti itu.

ps. Jenjang Karir akademis di Indonesia: AA, Lektor, Lektor Kepala, Profesor. Ada aturan tertulis di Indonesia bahwa untuk mengurus kepangkatan akademis, seseorang mesti mendapatkan dahulu NIDN. Setelah mendapatkan NIDN, seseorang tersebut bisa diurus kepangkatan pertama: AA atau Lektor. Artinya si A, walaupun sudah profesor di LN, tidak serta merta profesorshipnya bisa langsung di sinkronisasi. Si A harus mendapatkan NIDN terlebih dahulu."

Flyer kegiatan KIKA - YouTube Stream
Flyer kegiatan KIKA - YouTube Stream
Ilustrasi dari pembicara KIKA tersebut membawa saya pada sebuah ingatan tentang kasus Alm. Prof. Soenjono Dardjowidjojo. Saya teringat karena kasus si A dapat disandingkan dengan kasus Pak Soenjono (orang Indonesia). Prof. Soenjono, seperti si A, "tidak memiliki rekam jejak berkarir sebagai akademisi di Indonesia". Jelasnya, karir Pak Soenjono "dimulai sebagai pengajar kajian bahasa Indonesia di Universitas Victoria, Wellington, Selandia Baru".

Saya membeli buku beliau sewaktu duduk di bangku kuliah S1 Psikologi, berjudul Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Dalam sampul belakang buku beliau, persis tertulis, sebagai berikut:

"Karena keunikan sistem pendidikan Indonesia yang tidak mengakui kegurubesaran dari luar negeri, termasuk negeri Amerika Serikat, maupun dari suatu PTN ke PTN lain, Soenjono terpaksa menjadi Gurubesar empat kali di: (i) Universitas Hawaii tahun 1970-82, (ii) IKIP Negeri (sekarang UNJ) Jakarta tahun 1983, (iii) Universitas Indonesia tahun 1993, dan (iv) Unika Atma Jaya tahun 2001!"

Dihadapkan pada fakta ini, ilustrasi "si A" oleh pembicara KIKA di atas, menurut hemat saya, tidak sepenuhnya akurat. Memang benar, bahwa kegurubesaran dari Si A tidak otomatis diakui di Indonesia, dan bahwa si A perlu mendapatkan NIDN (Nomor Induk Dosen Nasional). 

Akan tetapi, tidak benar bahwa, "Setelah mendapatkan NIDN, seseorang tersebut bisa diurus kepangkatan pertama: AA atau Lektor." Sebab, apabila kita telaah fakta bahwa Pak Soenjono menjadi Guru Besar di Universitas Hawaii hingga 1982, kemudian diangkat sebagai Guru Besar UNJ tahun 1983, maka sepertinya mustahil bahwa kepangkatan pertama Pak Soenjono di IKIP Negeri Jakarta adalah Asisten Ahli (AA) atau Lektor. 

Apakah dalam waktu 1 (satu) tahun, seseorang dapat (dari sisi regulasi) loncat jabatan akademik dari Asisten Ahli atau Lektor ke Guru Besar?

Mobilitas Profesor untuk Pemerataan Kualitas Pendidikan
Di samping itu, saya juga mencermati bahwa transfer kegurubesaran dari sebuah perguruan tinggi ke perguruan tinggi lain (atau, mobilitas profesor) telah terjadi.

Ambil contoh, Dekan Ketujuh (1994-1997) pada Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Prof. Dr. Suprapti Soemarmo Markam, yang juga masih menulis hingga awal tahun 2000-an sebagai Guru Besar pada Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, diangkat pada 2003 (atau, sering dikenal di komunitas perguruan tinggi sebagai Pengukuhan Kembali) sebagai Profesor Tetap pada Fakultas Psikologi, Universitas Persada Indonesia YAI Jakarta.

Transfer kegurubesaran dari PTN ke PTS juga terjadi pada Prof. Djamaluddin Ancok, Ph.D. (dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ke Universitas Gunadarma, Jakarta).

Fakta di atas juga sekaligus menjawab pernyataan pembicara KIKA pada menit ke-1:39:14 yang menilai bahwa, "Mobilitas dosen antar universitas pernah terjadi ...[tetapi] tidak lagi terjadi di universitas-universitas kita". Pernyataan tersebut, saya kira, tidak sepenuhnya akurat karena bahkan mobilitas dosen semakin ditunjang dengan Program Detasering (Pengumandahan) dosen. Disebutkan dalam prospektus Kemendikbud mengenai program ini.

"Program Detasering yang pernah juga dinamakan sebagai Program Mobilisasi Dosen Pakar dan Ahli (PMDPA), dimaksudkan sebagai upaya Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi untuk membantu perkembangan kualitas pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi dan penguatan institusi di enam perguruan tinggi yang saat itu baru berubah statusnya dari Perguruan Tinggi Swasta (PTS) menjadi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) agar tidak terjadi kesenjangan yang terlalu lebar dengan PTN yang sudah ada terlebih dahulu.... 

Sampai tahun 2012, program pembinaan dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi kepada perguruan tinggi dilakukan melalui Program Detasering dengan menempatkan dosen senior (dinamakan sebagai Detaser) yang berasal dari PTN ternama (disebut sebagai Perguruan Tinggi Sumber atau Pertisum) di Perguruan Tinggi Sasaran (Pertisas). Untuk penyelenggaraan Tahun 2020, nama PMDPA dikembalikan menjadi Program Detasering sesuai dengan pemahaman umum tersebut di atas."

Tantangannya, hemat saya, adalah bagaimana model ini dikuatkan dan ditularkan kepada berbagai lembaga pendidikan tinggi di Indonesia, untuk dilaksanakan secara terdesentralisasi berdasarkan inisiatif di wilayah-wilayah di Indonesia. Dalam konsep payung Kampus Merdeka, sejumlah konsorsium sudah mulai bergerak dalam aktivitas ke arah ini, seperti NUNI (Nationwide University Network in Indonesia) dan APTIK (Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik).

Yang Diharapkan dari Guru Besar Tidak Tetap
Di samping itu, dalam perkembangan kebijakan pengangkatan Guru Besar di Indonesia, terdapat kualifikasi jabatan Guru Besar Tidak Tetap. Disebutkan dalam Surat tersebut bahwa Romo Mangunwijaya (bidang lingkungan/pemukiman) dan Abdurrahman Wahid (bidang pluralisme)  merupakan contoh sosok yang layak sebagai Guru Besar Tidak tetap.

Dengan adanya "celah" kebijakan tersebut, (sebagian) terjawab kritik pembicara KIKA pada menit ke-34:46, yang menyatakan bahwa: "Sangat sulit dalam segi administratif untuk menjadi Guru Besar, tapi juga bisa secara 'politis' diproses. (Orang yang minim pencapaian ilmiah, sedang dinas di luar aktivitas ilmiah, dan usia pensiun bisa jadi Guru Besar). Hal yang Paradox kerap muncul."

Dirjen Dikti berargumen bahwa Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono merupakan Guru Besar Tidak Tetap bidang Ketahanan Nasional dari Universitas Pertahanan, yang dipandang memiliki tacit knowledge yang bisa diterjemahkan atau ditransfer menjadi explicit knowledge. Hal ini sebenarnya sudah disadari oleh pembicara sendiri ketika membahas tentang "Profesor Causa" pada menit ke-1:52:08.

Epilog
Betapapun, stimulan KIKA layak diapresiasi sebagai bentuk kebebasan berpendapat. Berpijak pada sampel dinamika kompleks pengangkatan Guru Besar (Profesor) di atas, dialog antara pemangku kepentingan dan pembuat kebijakan tampaknya merupakan jalan terbaik. Kesediaan untuk tidak hanya kritis, melainkan juga transparan, holistik, empatis dan konstruktif, akan sangat bermakna untuk menyegarkan kebijakan tentang kegurubesaran.

Tulisan ini masih sangat terbatas, dan belum membahas, misalnya implikasi dari Spesialisasi Tridarma Perguruan Tinggi, yang digaungkan oleh Mas Menteri Pendidikan & Kebudayaan, Mas Nadiem Makarim, dalam Forum Rektor Indonesia 2020 [Spesialisasi ini sebagian untuk menjawab persoalan beban kerja dosen], serta konsep kewargaan akademik (academic citizenship), terhadap sistem kegurubesaran.

Yang jelas, kita perlu setidaknya mengumpulkan perbendaharaan state of the art dari evolusi sistem yang ada, waktu demi waktu, membuatnya dari tacit menjadi explicit,  serta memahami konteks kebutuhan masyarakat kita sendiri di Indonesia. 

Juga, isu-isu yang lebih mendasar selama ini, seperti (1) penegakan deregulasi dan debirokratisasi pendidikan tinggi, (2) perwujudan pendidikan tinggi yang bebas dari korupsi, termasuk korupsi akademik, (3) sustainabilitas pendayagunaan profesor bagi kepentingan publik [istilah pendayagunaan berasal dari Permendiknas No. 9 Tahun 2008],

(4) urgensi kepemimpinan akademik guru besar luar negeri sebagai rektor universitas di Indonesia, (5) keberpihakan sistem kegurubesaran (professorship) terhadap perkembangan terkini tentang apa yang lebih bermakna secara ilmiah (misalnya, sains terbuka atau open science) ketimbang pada apa yang kurang bermakna (misalnya, pemeringkatan atau pe-ranking-an perguruan), (6) penguatan kelembagaan Guru Besar Indonesia, serta (7) konsep profesor masa depan sebagai para pemimpin pemikiran di era digital - yang mampu bersikap kritis terhadap dominansi narasi elit politik dan/atau elit industri, perlu memperoleh perhatian serius.

Dengan demikian, berbagai usulan untuk perbaikan sistem menjadi lebih akurat, komprehensif, tepat sasaran, serta implikatif. Itu pun bila kita setuju dengan sebuah adagium klasik, "Guru Besar bukan tinggal di menara gading, melainkan mesti membersamai dan bermanfaat untuk masyarakat!".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun