Setelah semua pesanan pelanggan selesai, aku pun bergabung dengan Ragil dan Rendra di meja mereka. Anjani juga ikut mendekat, penasaran dengan pembicaraan kami.
"Jadi, gimana rencananya? Kalian serius mau ikut lomba bisnis muda itu?" tanya Ragil sambil menyeruput kopinya.
"Aku serius, Gil. Ini kesempatan besar buat Lintas Garis Coffee. Kita bisa dapet exposure besar, dan siapa tau bisa menang dapet modal buat ngembangin kafe," jawabku antusias.
Rendra mengangguk. "Aku juga setuju. Tapi, kita harus punya strategi yang bagus. Lomba ini pasti pesertanya banyak, dan kita harus beda dari yang lain."
"Betul," sahut Ragil. "Pertama, kita harus bikin proposal bisnis yang jelas. Mulai dari konsep kafe, target pasar, sampai rencana pengembangan ke depannya."
Aku mengangguk, mencerna setiap kata Ragil. "Aku sudah punya beberapa ide. Misalnya, kita bisa bikin konsep 'Lintas Garis Coffee' sebagai tempat nongkrong yang ramah lingkungan. Kita bisa pakai bahan-bahan organik dan mengurangi penggunaan plastik."
"Wah, ide bagus tuh!" seru Rendra. "Sekarang kan lagi tren go green. Pasti banyak yang suka."
Ragil mencatat beberapa poin di bukunya. "Kita juga bisa tambahkan program loyalty card buat pelanggan setia. Jadi, setiap kali mereka beli kopi, mereka dapet poin yang bisa ditukar dengan minuman gratis atau diskon."
Anjani yang selama ini diam tiba-tiba ikut nimbrung. "Kakak, aku juga punya ide! Bagaimana kalau kita bikin acara-acara kecil di kafe, seperti open mic night atau workshop kopi? Biar suasana kafe lebih hidup."
Mataku langsung berbinar. "Ide bagus, Jani! Itu bisa jadi nilai tambah buat proposal kita."
Rendra tertawa. "Wah, ternyata Anjani juga jago mikir ide ya!"