Mohon tunggu...
Jujun Junaedi
Jujun Junaedi Mohon Tunggu... Penulis dan Pendidik dari Bandung 31324

Pendidik dan pemerhati lingkungan. Aktif mengedukasi di sekolah berwawasan lingkungan di Kota Bandung sejak 1997

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Nostalgia Dua Toples Noga, Jajanan Legendaris yang Mengajarkan Arti Sebuah Kenangan Manis

14 September 2025   08:30 Diperbarui: 14 September 2025   08:30 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua toples noga kacang, jajanan legendaris. | Dok. Pribadi/Jujun Junaedi. | Dok. Pribadi/Jujun Junaedi

Mengurai Jejak Rasa Masa Lalu

Jajanan masa kecil itu seperti sebuah mesin waktu. Dia bukan hanya soal makanan, tapi juga tentang kenangan, aroma, dan perasaan yang pernah kita rasakan. 

Di antara semua jajanan yang pernah saya cicipi, ada satu yang selalu punya tempat istimewa di hati yaitu Noga Kacang. 

Makanan legendaris dari Tasikmalaya ini bukan sekadar camilan, dia adalah potongan sejarah, sebuah rasa yang tidak bisa ditukar dengan apapun.

Setiap gigitan Noga Kacang adalah perjalan kembali ke masa lalu. Rasanya yang gurih, renyah, dan manis dari gula aren asli selalu mengingatkan saya pada masa-masa kecil yang penuh kebahagiaan. 

Orang tua saya sering membelikannya, dan setiap kali Noga Kacang hadir, suasana di rumah menjadi lebih ceria. 

Jajanan ini bukan hanya enak, tapi juga sehat. Karena terbuat dari bahan-bahan alami seperti kacang tanah dan gula aren, tanpa pewarna, pemanis, atau pengawet buatan. 

Noga kacang, kualitasnya sudah terjamin sejak tahun 1982.

Saya masih ingat betul, dulu Noga Kacang sering dijual di warung-warung kecil, di dekat sekolah, atau di pasar tradisional. Bentuknya sederhana, tapi rasanya luar biasa. 

Ada semacam kehangatan yang terpancar dari jajanan ini, mungkin karena dia dibuat dengan cara tradisional, penuh ketelitian, dan menggunakan bahan-bahan terbaik dari alam.

Sebuah Perjalanan dan Pertemuan Tak Terduga

Hari Sabtu, 13 September 2025, kami sekeluarga, saya, istri, dan anak, sedang dalam perjalanan rutin mengunjungi kampung halaman istri di Garut. 

Perjalanan kali ini terasa berbeda, mungkin karena suasana hati yang sedang santai. 

Kami berhenti di sebuah warung kopi kecil di daerah Kadungora untuk istirahat sejenak dan mencari minuman hangat.

Saat masuk ke warung, mata saya langsung tertuju pada sebuah toples besar di atas meja. Isinya bukan kerupuk atau permen, melainkan sesuatu yang sangat saya kenal. 

Warnanya coklat tua, permukaannya tidak rata, dan ada butiran-butiran kacang yang menyebar di dalamnya. Tanpa ragu, saya tahu itu adalah Noga Kacang. 

Jantung saya berdegup kencang, seolah-olah menemukan harta karun yang sudah lama hilang.

Saya dekati toples itu dan memegangnya. Rasanya seperti menyentuh kenangan. 

Saya tanyakan kepada pemilik warung, "Ini Noga Kacang, ya, Pak?" Pemilik warung tersenyum dan mengangguk. 

Dia bilang jajanan ini memang jarang ada, tapi kebetulan hari itu ada kiriman dari Tasikmalaya.

Membeli Kenangan, Bukan Sekadar Jajanan

Tanpa pikir panjang, saya langsung memutuskan untuk membelinya. 

Istri saya sempat heran, "Kok, tiba-tiba mau beli Noga sebanyak ini?" Saya hanya tersenyum dan menjawab, "Ini bukan hanya jajanan, ini masa kecil Bapak." 

Istri saya mengerti, karena dia tahu betapa saya suka bercerita tentang jajanan legendaris ini.

Saya tidak membeli satu, melainkan dua toples sekaligus. Harganya sangat terjangkau, bahkan rasanya tidak sebanding dengan nilai kenangan yang terkandung di dalamnya. 

Pemilik warung tampak senang melihat saya begitu antusias. Mungkin dia jarang melihat pembeli yang sebahagia itu hanya karena Noga Kacang.

Setelah membayar, saya bawa dua toples itu ke mobil. Anak saya langsung penasaran, dia membuka toples dan mengambil satu potong. 

Gigitan pertamanya diikuti dengan ekspresi kaget. "Pak, ini enak sekali! Kacangnya banyak!" katanya.

Saya tersenyum puas. Ternyata, rasa yang saya cintai sejak kecil juga bisa dinikmati oleh generasi baru.

Noga Kacang sebagai Jembatan Generasi

Di dalam mobil, kami berbagi Noga Kacang. Saya bercerita kepada anak saya tentang masa lalu, tentang bagaimana saya sering memakannya bersama orang tua saya dulu. 

Saya ceritakan betapa langkanya jajanan ini di kota besar, dan betapa beruntungnya kami bisa menemukannya di perjalanan ini.

Anak saya mendengarkan dengan seksama sambil terus mengunyah. Saya melihat ada rasa penasaran di matanya. 

Dia tidak hanya menikmati rasanya, tapi juga mendengarkan ceritanya. 

Noga Kacang ini bukan lagi sekadar camilan, dia menjadi jembatan antara masa lalu saya dan masa kini anak saya. 

Dia menjadi bahan obrolan yang hangat dan penuh makna.

Malam itu, di rumah, dua toples Noga Kacang itu menjadi teman kami menonton televisi. 

Rasanya tetap sama, tidak berubah sedikit pun. Gurihnya kacang, manisnya gula aren yang pas, dan tekstur renyahnya yang membuat ketagihan. 

Saya sadar, Noga Kacang ini bertahan karena kualitasnya yang jujur dan rasanya yang otentik. 

Dia tidak perlu banyak gimmick, cukup dengan rasa yang enak, dia bisa bertahan puluhan tahun.

Kesimpulan

Nostalgia Dua Toples Noga adalah sebuah cerita tentang bagaimana sebuah jajanan sederhana bisa menyimpan begitu banyak makna. 

Dia bukan hanya soal rasa, tapi juga tentang kenangan, tentang sebuah perjalanan, dan tentang menghubungkan dua generasi. 

Noga Kacang mengajarkan saya bahwa kebahagiaan sejati seringkali ditemukan dalam hal-hal yang paling sederhana dan otentik. 

Dia adalah bukti nyata bahwa jajanan yang jujur dan berkualitas akan selalu memiliki tempat di hati para penikmatnya, dulu, kini, dan selamanya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun