Mohon tunggu...
Jujun Junaedi
Jujun Junaedi Mohon Tunggu... Penulis dan Pendidik dari Bandung 31324

Pendidik dan pemerhati lingkungan. Aktif mengedukasi di sekolah berwawasan lingkungan di Kota Bandung sejak 1997

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Pilihan

Enaknya Punya Pejabat: Guru Honorer Pandeglang Jadi Bukti, Jalan di Tempat Selama 20 Tahun

11 September 2025   16:59 Diperbarui: 11 September 2025   16:59 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penampakan rumah Doni, guru honorer di Pandeglang, yang sudah tidak layak huni. | Tangkapan layar Instagram infopandeglang

20 Tahun Mengabdi, 20 Tahun Menanti Perhatian

Saya menonton berita di televisi nasional, sebuah cerita yang entah mengapa terasa begitu dekat. Cerita tentang Doni Romdoni, seorang guru honorer berusia 43 tahun di Kabupaten Pandeglang, Banten. Kisahnya bukan tentang pencapaian besar atau penghargaan tinggi, melainkan tentang perjuangan yang sungguh pahit. 

Selama dua dekade, Doni mengabdikan dirinya untuk mencerdaskan anak-anak bangsa di sebuah sekolah swasta. Dua puluh tahun bukan waktu yang singkat. Itu adalah masa di mana generasi demi generasi telah ia ajar, ia bimbing, dan ia bentuk karakternya. Namun, di balik dedikasi yang luar biasa itu, ada realita yang membuat hati teriris.

Doni tinggal di sebuah rumah yang jauh dari kata layak. Ukurannya hanya 5x8 meter. Sejak tahun 2022, rumah itu sudah ambruk, dan kini hanya menyisakan satu kamar. Dindingnya rusak parah, atapnya lapuk, tak mampu lagi menahan hujan. Situasi ini membuat Doni harus mengungsikan istri dan anaknya. 

Bayangkan, seorang pahlawan tanpa tanda jasa, yang seharusnya dilindungi dan dihargai, justru harus menghadapi kenyataan pahit seperti ini. Gaji yang ia terima sebagai guru honorer swasta sangat minim, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dapur sehari-hari. Untuk membangun kembali rumahnya, apalagi merenovasinya, jelas itu adalah mimpi di siang bolong.

Kisah Doni hanyalah satu dari sekian banyak potret pilu guru honorer di Indonesia. Saya yakin, di luar sana, masih banyak Doni-Doni lain yang senasib. Mereka adalah garda terdepan dalam dunia pendidikan, namun hidup di bawah garis kemiskinan. 

Gaji mereka seringkali tidak sebanding dengan pekerjaan yang mereka lakukan. Bahkan ada yang menerima honor hanya ratusan ribu per bulan. Jumlah ini tentu saja tidak manusiawi, mengingat beban kerja dan tanggung jawab mereka yang tidak berbeda dengan guru PNS. Minimnya perhatian ini adalah pukulan telak bagi semangat mereka.

Enaknya punya pejabat mungkin sering kita dengar sebagai sindiran. Dan kisah Doni adalah bukti nyatanya. Dua puluh tahun Doni berjuang sendiri di Pandeglang, tanpa ada uluran tangan berarti dari mereka yang seharusnya bertanggung jawab. 

Para pejabat seolah buta dan tuli terhadap jeritan para pahlawan pendidikan ini. Mereka terlalu sibuk dengan urusan-urusan yang lebih besar dan penting menurut mereka, sampai lupa bahwa fondasi sebuah bangsa adalah pendidikan, dan fondasi pendidikan adalah para guru.

Kisah Doni ini membuat kita semua harus bertanya. Apakah para pejabat di Pandeglang tidak pernah melihat, tidak pernah mendengar? Apakah mereka tidak tahu bahwa di wilayah kekuasaan mereka ada guru yang mengabdi puluhan tahun namun tinggal di rumah yang hampir roboh? Atau mereka tahu, namun memilih untuk menutup mata? Entahlah. 

Yang jelas, ada jurang lebar antara janji manis para pejabat dengan realita pahit di lapangan. Janji-janji kesejahteraan, perbaikan infrastruktur, dan pemerataan pembangunan, seolah hanya jargon kosong yang diucapkan saat kampanye.

Respon Cepat yang Datang Terlambat

Setelah kisah Doni viral di televisi nasional dan media lainnya, barulah para pejabat di Pandeglang bergerak. Berita terbaru menyebutkan bahwa Pemerintah Kabupaten Pandeglang akan segera membangun rumah guru honorer yang tak layak huni itu. 

Kepala Dinas Pertanahan, Perumahan, dan Kawasan Permukiman (DPKPP) Pandeglang, Roni, menyatakan bahwa ini adalah prioritas dan tidak bisa ditunda-tunda. Respons ini tentu saja patut diapresiasi, namun kita juga tidak bisa menutup mata bahwa respons ini datang terlambat. Mengapa harus menunggu kisah ini menjadi berita nasional terlebih dahulu?

Seandainya kisah Doni tidak diangkat ke media, apakah para pejabat akan tetap peduli? Apakah rumah Doni akan tetap diperbaiki? Kemungkinan besar tidak. Hal ini menunjukkan bahwa sistem yang ada saat ini lebih reaktif daripada proaktif. 

Mereka baru akan bertindak jika ada tekanan dari publik atau media. Ini adalah cerminan dari budaya birokrasi yang malas dan tidak peka. Padahal, seharusnya mereka memiliki data, mereka seharusnya memiliki program-program yang bisa menjangkau masyarakat paling bawah.

Enaknya punya pejabat yang responsif, tapi responsnya baru muncul setelah ada sorotan kamera. Inilah yang membuat masyarakat seringkali skeptis. Mereka merasa bahwa perhatian dari pejabat itu sifatnya insidental, bukan karena kepedulian yang tulus. 

Mereka membangun citra seolah-olah mereka bekerja keras, peduli terhadap rakyat, namun pada kenyataannya, banyak masalah kecil yang luput dari pandangan mereka. Masalah yang bagi mereka kecil, bagi Guru Honorer seperti Doni adalah masalah besar yang menentukan nasib keluarga.

Pernyataan "ini menjadi prioritas karena rumah tidak bisa tahun depan ditunda-tunda" terdengar ironis. Selama bertahun-tahun rumah itu sudah dalam kondisi tak layak, bahkan sudah ambruk. 

Mengapa tidak menjadi prioritas sejak dulu? Mengapa harus menunggu dua tahun setelah rumah ambruk? Dua puluh tahun Doni mengabdi, dua tahun ia mengungsikan anak istrinya, dan barulah para pejabat berkata "tidak bisa ditunda-tunda". Ini adalah pengakuan yang tidak sengaja dari kegagalan mereka sendiri. Kegagalan untuk melihat dan bertindak sejak dini.

Keberadaan DPKPP Pandeglang yang langsung meninjau rumah Doni setelah berita viral adalah langkah yang baik. Namun, pertanyaan besar tetap ada: mengapa baru sekarang? Mereka punya mata, mereka punya telinga. 

Atau mungkin mereka hanya punya mata untuk proyek-proyek besar yang menguntungkan dan punya telinga untuk bisik-bisik yang berisi kepentingan. Sementara itu, rakyat kecil seperti Doni hanya bisa menelan ludah.

Jutaan Doni Lain di Seluruh Negeri

Kisah Guru Honorer di Pandeglang ini adalah cermin dari masalah yang lebih besar. Masalah kesejahteraan guru honorer di seluruh Indonesia. Mereka adalah pilar pendidikan yang paling rentan. Gaji yang minim, status yang tidak jelas, dan jaminan sosial yang nyaris tidak ada. 

Banyak di antara mereka yang harus bekerja sampingan untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Mereka rela mengorbankan waktu dan tenaga, demi memastikan bahwa anak-anak di pelosok negeri bisa mendapatkan pendidikan yang layak.

Saya yakin, di setiap kabupaten, di setiap kota, ada Doni-Doni lain. Ada guru-guru yang mengajar di gedung-gedung tua, di sekolah-sekolah yang serba kekurangan, dengan gaji yang tidak seberapa. Ada guru yang harus menyeberangi sungai, melewati hutan, hanya untuk sampai di sekolah. 

Sementara di sisi lain, kita melihat pembangunan gedung-gedung mewah, pembelian mobil dinas baru, dan berbagai macam proyek yang menghabiskan anggaran besar. Prioritas para pejabat seolah-olah tidak selaras dengan kebutuhan rakyatnya.

Enaknya punya pejabat yang bisa membangun jalan-jalan yang mulus, tapi lupa memperbaiki rumah-rumah rakyatnya yang sudah rusak. Enaknya punya pejabat yang bisa mengadakan seminar dan rapat koordinasi di hotel-hotel berbintang, tapi tidak pernah duduk bersama guru honorer untuk mendengarkan keluh kesah mereka. 

Kita perlu lebih dari sekadar respons reaktif. Kita butuh perubahan sistemik. Kita butuh para pejabat yang benar-benar peduli, yang menjadikan kesejahteraan guru sebagai prioritas utama. Karena tanpa guru yang sejahtera, pendidikan tidak akan pernah bisa maju. Dan tanpa pendidikan yang maju, tidak akan ada masa depan yang cerah untuk bangsa ini.

Kesimpulan

Kisah Doni Romdoni di Pandeglang adalah tamparan keras bagi para pejabat di mana pun. Enaknya punya pejabat hanyalah ungkapan satir yang menggambarkan betapa abainya mereka terhadap masalah rakyat kecil. Butuh sorotan media nasional untuk membuat mereka bergerak, padahal masalah itu sudah berlangsung selama 20 tahun. 

Respons yang datang terlambat ini bukan bukti kepedulian, melainkan bukti kegagalan. Kegagalan untuk melihat, mendengar, dan bertindak sebelum masalah menjadi besar. Jika pemerintah benar-benar ingin membangun bangsa, mulailah dengan memastikan para pahlawan pendidikan, para guru honorer, hidup sejahtera. Karena mereka adalah aset paling berharga yang dimiliki oleh negara.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun