Sumedang adalah sebuah kabupaten di Jawa Barat. Letaknya bersebelahan dengan Kabupaten Bandung dan Garut. Banyak orang mengenal Sumedang dari makanan khasnya seperti tahu Sumedang dan ubi Cilembu. Selain itu, Sumedang juga dikenal sebagai salah satu daerah penghasil tembakau. Salah satu desa yang jadi pusat produksi tembakau di Sumedang adalah Desa Jatiroke, Kecamatan Jatinangor.
Namun, belakangan ini, jumlah petani tembakau di sana mulai menurun. Banyak petani beralih menanam jenis tanaman lain seperti sayur-mayur. Meski begitu, kondisi ini justru dilihat sebagai peluang menjanjikan oleh sebagian masyarakat, terutama oleh petani baru.
Salah satu petani baru itu adalah Supriatna. Usianya 43 tahun. Saya sempat berbincang dengannya pada hari Ahad, 8 Juni 2025. Supriatna adalah warga asli Jatiroke. Dia baru satu tahun terakhir ini mencoba peruntungan menjadi petani tembakau untuk menghidupi keluarganya.
Sebelumnya, Supriatna bekerja di sebuah pabrik di daerah Rancaekek. Namun, sekitar satu tahun yang lalu, dia terkena PHK. Kejadian itu membuatnya harus memutar otak mencari penghasilan baru. Akhirnya, dia memutuskan untuk mencoba bertani tembakau.
Bagi Supriatna, terjun ke dunia pertanian tembakau sebenarnya bukan hal yang asing. Dia berasal dari keluarga petani tembakau. Jadi, meskipun ini pengalaman pertamanya bertani secara mandiri setelah bekerja di pabrik, dia sudah punya dasar pengetahuan yang cukup. Hal ini membuat proses adaptasinya tidak terlalu sulit. Dia mengaku tidak mengalami masalah berarti dalam mengelola ladang tembakau barunya.
PHK yang menimpanya dulu, yang mungkin bagi sebagian orang adalah musibah, justru menjadi berkah tersendiri bagi Supriatna. Dia merasa menemukan sumber rezeki yang lebih baik dibandingkan saat dirinya masih menjadi karyawan pabrik. Penghasilannya dari bertani tembakau terasa lebih menjanjikan dan memberinya keleluasaan yang tidak ia dapatkan sebelumnya.
Bagi Supriatna, keputusan untuk beralih profesi ini adalah sebuah lompatan besar. Dari lingkungan pabrik yang serba teratur dan terikat jam kerja, kini ia harus berhadapan langsung dengan tanah, cuaca, dan risiko pertanian. Namun, ia tidak gentar. Dukungan keluarga dan pengalaman masa kecil yang sering melihat orang tuanya bertani menjadi modal penting.
Setiap pagi, Supriatna sudah berada di ladang. Ia mulai dari merawat bibit, menyiangi gulma, hingga menyiram tanaman. Semua dilakukan dengan telaten. Ia belajar banyak hal baru setiap harinya, mulai dari jenis pupuk yang tepat, cara mengatasi hama, hingga waktu panen yang ideal. Pengetahuan yang didapat dari keluarganya diperbarui dengan informasi dari sesama petani dan penyuluh pertanian.
Proses penanaman tembakau membutuhkan kesabaran dan ketelitian. Tanah harus diolah dengan baik. Bibit harus ditanam pada jarak yang tepat. Setelah itu, perawatan rutin menjadi kunci. Supriatna tahu betul, kualitas daun tembakau sangat menentukan harga jual. Oleh karena itu, ia berusaha keras memastikan setiap daun tumbuh sempurna dan sehat.
Musim panen adalah saat yang paling dinanti sekaligus paling sibuk. Daun tembakau yang sudah matang harus dipetik satu per satu. Proses ini memakan waktu dan tenaga. Setelah dipetik, daun-daun itu kemudian dijemur. Penjemuran juga punya aturannya sendiri. Tujuannya agar daun kering sempurna dan aroma khas tembakau keluar.
Supriatna sering dibantu oleh istri dan anak-anaknya saat panen tiba. Kebersamaan di ladang menjadi momen berharga. Mereka bekerja sama, berbagi cerita, dan merencanakan masa depan. Baginya, bertani bukan hanya tentang mencari nafkah, tetapi juga membangun kebersamaan keluarga.