Ada sisi lain yang sering tidak terlihat dari gemerlap panggung sirkus. Di balik tawa penonton dan tepuk tangan yang meriah, ternyata ada kisah-kisah kelam yang tersimpan rapat. Kisah ini akhirnya terungkap ke publik, membawa kesaksian yang begitu memilukan dari orang-orang yang pernah mengalaminya sendiri.
Mereka adalah para mantan pemain dari Oriental Circus Indonesia, sebuah nama yang tidak asing lagi di dunia hiburan tanah air. Setelah bertahun-tahun menyimpan beban pengalaman berat, mereka memberanikan diri untuk maju dan berbicara.
Momen penting itu terjadi di sebuah lembaga negara yang punya peran sangat krusial, pada Selasa, (15/4/2025. Mereka datang ke Kementerian Hak Asasi Manusia, atau Kementerian HAM.
Kedatangan mereka bukan tanpa tujuan. Mereka datang untuk mengikuti sebuah audiensi. Ini adalah kesempatan untuk didengar langsung oleh pihak yang berwenang mengenai apa yang mereka alami.
Di ruangan audiensi tersebut, mereka berbicara secara langsung di hadapan seorang pejabat tinggi, Mugiyanto, Wakil Menteri HAM . Dengan suara bergetar, mereka menyampaikan pengalaman pahit yang telah membayangi hidup mereka.
Pengalaman pahit itu bukan hanya sehari dua hari. Mereka mengatakan bahwa perlakuan tidak menyenangkan itu sudah mereka alami selama bertahun-tahun. Periode waktu yang sangat lama untuk menanggung beban yang berat.
Cerita mereka mengungkap berbagai bentuk penderitaan. Salah satunya adalah kekerasan fisik. Tubuh mereka mungkin pernah merasakan pukulan, tendangan, atau perlakuan kasar lainnya selama proses pelatihan atau saat melakukan kesalahan.
Selain kekerasan fisik, mereka juga menceritakan adanya eksploitasi. Tenaga, bakat, dan kemampuan mereka digunakan secara maksimal untuk pertunjukan, tapi hak-hak mereka sebagai pekerja atau bahkan sebagai manusia tidak dipenuhi dengan layak.
Secara keseluruhan, perlakuan yang mereka terima digambarkan sebagai tidak manusiawi. Mereka tidak diperlakukan selayaknya manusia yang punya martabat dan hak dasar yang harus dihormati.
Kisah tragis ini ternyata punya titik awal yang cukup mengejutkan. Kejadian ini bermula dari sebuah kelompok sirkus yang beroperasi di Indonesia. Kelompok ini sedang dalam misi pencarian bibit-bibit unggul.
Mereka mencari anak-anak yang dianggap punya potensi atau bakat alami untuk dilatih menjadi pemain sirkus. Tujuan mereka adalah menghasilkan pemain-pemain handal untuk dipertontonkan di arena.
Namun, dalam proses pencarian dan perekrutan anak-anak ini, cara-cara yang dipakai ternyata sangat tidak benar. Bahkan, cara-cara tersebut bisa dikatakan tidak manusiawi sejak awal.
Kepada keluarga atau pihak yang bertanggung jawab atas anak-anak tersebut, mereka datang dengan janji-janji yang kelihatannya sangat baik. Mereka menjanjikan bahwa anak-anak yang diambil akan mendapatkan pendidikan yang layak.
Tidak hanya pendidikan, mereka juga menjanjikan kehidupan yang baik, sebuah masa depan yang cerah di dunia sirkus. Mereka bahkan menggunakan kata "adopsi" atau "pembinaan" untuk menggambarkan proses pengambilan anak ini, seolah-olah ini adalah tindakan yang mulia.
Tapi apa yang terjadi di balik janji manis itu sangatlah gelap dan menyedihkan. Ternyata, proses pengambilan anak ini melibatkan transaksi uang. Mereka membayar sejumlah uang kepada keluarga atau pihak ketiga.
Praktik membayar uang untuk mendapatkan anak ini sangat mengerikan. Ini seperti "membeli" manusia. Membeli manusia, dalam bentuk apa pun, adalah salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang paling serius, mengingatkan pada praktik perbudakan.
Parahnya lagi, anak-anak yang menjadi korban praktik ini usianya masih sangat belia. Mereka baru berusia sekitar 5 sampai 7 tahun. Usia di mana anak-anak seharusnya dilindungi, diasuh penuh kasih sayang, dan diberi kesempatan untuk tumbuh kembang secara normal.
Anak-anak sekecil itu lalu dibawa pergi. Mereka dimasukkan ke dalam lingkungan sirkus untuk dilatih. Latihan keras di usia yang begitu muda, ditambah dengan kekerasan dan eksploitasi yang mereka alami, adalah perenggutan paksa hak-hak dasar mereka sebagai anak dan manusia.
Pengalaman pahit yang diceritakan para mantan pemain sirkus ini adalah pelajaran yang sangat penting tentang hak asasi manusia (HAM). Kita belajar bahwa pelanggaran HAM bisa terjadi di mana saja, bahkan di balik tirai sebuah pertunjukan yang tujuannya menghibur.
Pelajaran pahit lainnya adalah betapa rentannya anak-anak terhadap eksploitasi jika tidak ada pengawasan dan perlindungan yang memadai. Kasus ini menunjukkan bagaimana janji manis bisa menjadi kedok untuk kejahatan serius, seperti pembelian anak, yang merupakan bentuk perdagangan manusia.
Mengungkap kisah ini di Kementerian HAM adalah langkah awal yang krusial. Para korban telah menunjukkan keberanian luar biasa untuk bersuara, mencari keadilan atas martabat mereka yang dirampas dan masa kecil yang hilang.
Sekarang, setelah sisi gelap ini terungkap dan kita melihat pelajaran pahit tentang pelanggaran HAM yang terjadi, langkah selanjutnya menjadi sangat penting. Di sinilah muncul kebutuhan yang sangat mendesak akan dialog.
Dialog, atau "duduk bersama", diperlukan untuk mencari jalan terbaik dalam menyelesaikan kasus yang kompleks dan penuh luka ini. Dialog melibatkan mendengarkan semua pihak, terutama suara para korban, untuk memahami skala penuh penderitaan mereka.
Duduk bersama memungkinkan pencarian keadilan yang tidak hanya terbatas pada hukuman hukum, tetapi juga mencakup pemulihan bagi korban. Ini bisa berupa dukungan psikologis, pengakuan publik atas apa yang mereka alami, dan langkah-langkah untuk mencegah terulangnya praktik keji ini di masa depan.
Melalui dialog, semua pihak bisa belajar dari kesalahan masa lalu. Para pelaku (jika masih memungkinkan dan relevan) bisa mengakui perbuatannya, korban bisa mendapatkan ruang untuk menyembuhkan luka, dan sistem yang ada bisa diperbaiki agar lebih kuat dalam melindungi anak-anak dan kelompok rentan lainnya.
Jadi, kasus sisi gelap sirkus ini bukan hanya cerita memilukan. Ini adalah pelajaran pahit bagi kita semua tentang pentingnya HAM, kewaspadaan terhadap eksploitasi, dan keberanian untuk bersuara.Â
Untuk menyelesaikan kasus ini serta mencegahnya terulang, kebutuhan akan dialog yang jujur dan konstruktif menjadi sangat esensial. Dialog adalah jembatan menuju keadilan yang memulihkan dan masa depan yang lebih baik bagi perlindungan HAM.
Sumber: Kompas.com
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI