Mohon tunggu...
Jumari (Djoem)
Jumari (Djoem) Mohon Tunggu... Seniman - Obah mamah

Hidup bergerak, meski sekedar di duduk bersila.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Antoboga Menangis

15 April 2011   01:56 Diperbarui: 6 Juli 2015   04:38 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13028322102095828170

Pagi ini saya teringat cerita tentang Batari Sri, terutama versi Parahiyangan, semoga cerita ini berkenan di hati teman-teman.

Pada suatu ketika Batara Guru bermaksud membangun sebuah gedung baru, segera dia mandatkan kepada seluruh isi langit dan bumi untuk segera melaksanakan tugas tersebut. Bagi yang tidak mau bekerja, sebagai hukumannya akan dipotong tangannya. Berita segera tersebar luas karena mediasi saat itu aji pamelingan ya dan bukan internet ataupun handphone. Mendengar berita tersebut Dewa ular Hyang Antaboga yang menguasai bawah tanah bingung. Kenapa tidak dia kan ular tidak mempunyai tangan dan kaki, sehingga tidak bisa bekerja layaknya dewa lain. Mau menghindar dari tugas takut disebut malas, dan takut dihukum. Sepantasnya dia gusar setengah mati dan ribut sendiri, soalnya kalau dihukum hanya lehernyalah yang bisa diserahkan, artinya kematian bagi dirinya. Segera dia menemui Batara Narada untuk curhat tentang masalah tersebut, tetapi sayang Narada juga tidak mampu memberikan solusi, dia hanya bisa cengar-cengir. Akhirnya Batara Antaboga hanya bisa nangis gulung koming.

Ketika menangis titisan air matanya berubah menjadi telur yang bersinar seperti permata, ada 3 telur permata sekarang di depanya. Dan atas saran Narada supaya telur itu diberikan kepada Batara Guru, sebagai sumbah sih Antaboga. Segera saja dia menelan telur itu dan bergegas menemui Batara Guru.

Sepenggal cerita itu ada di dunia pewayangan (Dewi Sri). Ketika mengingat cerita ini saya jadi ingat situasi sekarang. Analogikan saja Hyang Guru dengan anggota DPR yang ngotot ingin bangun gedung baru, Antaboga rakyatnya yang ingin menolak pembangunan gedung tersebut, dan Narada adalah pejabat tinggi lainnya yang tidak mampu membendung keinginan Guru, atau hanya suka obral obrol saja. Sudah sewajarnya rakyat nangis, bingung dan resah, cemoohan terhadap sistem negara ini datang dari berbagai kalangan, bahkan sampai Antaboga yang sembunyi jauh di dalam tanahpun sampai menangis. Seharusnyalah sebagai Guru, notabene sebagai penguasa TRILOKA (tiga dunia) tidak asal saja itu membuat aturan, mikirkan yang lain dong. Kan masih banyak itu kebutuhan lainnya yang harus di dahulukan.

Rakyat nangis nganti mringis-mringis, arep mangan rekasa, golek gawean angel, ijasah ora kanggo, tanduran ora royo-royo, akeh hama lan penyakit, mangsa wis owah, lha kok sempat-sempate pengin mbangun....hadhuh-hadhuh.... Ketika rakyat menangis, dan semua usaha tidak memungkinkan untuk menghambat niatan Guru, jangan salahkan jika alam nantinya yang akan bicara. Bentuk telur itu adalah simbol yang nantinya akan menyuburkan bumi lagi, karena telur itu adalah Dewi Sri, dewi padi, dewi sandang pangan. Dia yang memiliki akses kemakmuran dan kehancuran, pelindung sekaligus menghidupi. Tidak mungkin hama-hama yang sekarang merajalela, seperti ulat bulu itu ada dengan sendirinya atau kebetulan saja. Ekosistem alam sudah hancur, sehingga seorang ahli kalender jawapun kebingungan menentukan pranata mangsa. Ulat bulu semoga kamu awal dari perubahan negara ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun