Sejak kecil, setiap tanggal 17 Agustus selalu menjadi hari penuh sukacita. Di rumah, ibu menyiapkan menu istimewa, meneruskan kebiasaan yang diwariskan nenek. Jika tidak menghadiri upacara, kami sekeluarga pasti menyaksikan siaran langsung peringatan kemerdekaan melalui TVRI.
Ketika saya mulai beranjak besar, saya ikut upacara di lapangan kota kabupaten. Pemimpin upacara biasanya adalah bupati. Seusai pengibaran bendera, saya segera pulang untuk makan siang bersama keluarga. Tradisi sederhana itu terasa begitu hangat, menjadi bagian dari memori yang melekat hingga hari ini.
Namun, ada satu kenangan yang paling membekas: atok. Beliau selalu mengikuti upacara dengan khidmat. Wajahnya serius, pandangannya tajam, dan seringkali air mata jatuh ketika lagu kebangsaan berkumandang. Dulu saya tidak memahami mengapa seorang lelaki tua bisa menangis saat upacara bendera, bukankah mestinya ini hari gembira. Kini saya mengerti: itu adalah air mata syukur, haru, sekaligus cinta pada tanah air---air mata yang lahir dari pengalaman langsung getirnya perjuangan dan pengorbanan.
Sekarang, setiap kali saya mendengar lagu-lagu nasional dan daerah, dada saya sering terasa sesak. Air mata pun kadang ikut menetes. Barangkali, itu karena saya mulai merasakan apa yang dulu dirasakan atok: betapa merdeka ini adalah anugerah Allah SWT yang dibayar mahal dengan darah, pengorbanan, dan keridhaan para pahlawan bangsa.
Namun di balik rasa syukur itu, ada juga kegelisahan. Dalam Pembukaan UUD 1945 dengan jelas tertera tujuan luhur: melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Sayangnya, cita-cita itu masih terasa jauh dari kenyataan. Masih banyak rakyat yang hidup dalam kesulitan, masih terasa ketidakadilan, dan arah bangsa kadang tampak menjauh dari harapan para pendahulu.
Pertanyaan pun muncul: Apakah Indonesia sedang menuju masa suram? Apakah akan ada perbaikan dari para pemimpin? Akankah lebih banyak rakyat menikmati kesejahteraan, atau justru sebaliknya?
Saya tidak punya jawabannya. Tapi saya percaya satu hal: selama masih ada doa, kepedulian, dan usaha, harapan tidak pernah padam. Saya hanya bisa berdoa, semoga Allah SWT menjaga Indonesia, memberi kebijaksanaan kepada para pemimpin, dan menghadirkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Dirgahayu Indonesiaku. Semoga engkau tetap teguh, berdaulat, adil, dan makmur. Merdeka!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI