Mohon tunggu...
Juanda
Juanda Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer Taruna

$alam Hati Gembira ...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

5 Ketergantungan yang Membuat Tidak Merdeka

17 Agustus 2019   11:29 Diperbarui: 17 Agustus 2019   20:14 611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Antara/M. Agung Rajasa)

"Penjajah bisa berasal dari luar dan (atau) dalam diri. Merdeka bersumber dari dalam diri."

Merdeka ... Merdeka ... Merdeka ...

Kita ingin hidup yang merdeka. Namun pihak lain tidak ingin kita hidup merdeka. Atau mungkin diri kita sendiri yang sedang menjajah diri kita sendiri, karena sedang menggantungkan cita-citanya setinggi langit, padahal tidak ada gantungannya di sana. Ini bagai pungguk merindukan bulan, bukan?

Indonesia telah merdeka 74 tahun. Apakah kita telah menikmati kemerdekaan di negara yang telah merdeka ini? Banyak sekali yang suka membandingkan situasi dan kondisi negara yang kita cintai ini dengan negara lainnya. Tidak salah sih, kalau membandingkannya, tapi yang dijadikan pembanding harus sebanding lho.

Padahal kalau mau jujur, sudah 74 tahun keutuhan negara kita terjaga dari Sabang - Merauke. Bukan sebagai negara bagian, seperti di Amerika Serikat atau Uni Sovyet tempo dulu. Namun bukan tanpa cacat pula, karena ada 1 wilayah yang memisahkan diri.

Menjaga kesatuan negara Republik Indonesia bukanlah pekerjaan mudah. Menjaga keutuhan partai atau keluarga saja, betapa susahnya. Beberapa kali bangsa kita telah terhindar dari perang saudara yang ingin memecahbelah.

Kita adalah bangsa yang besar, namun sering dikerdilkan oleh sekelompok orang dengan kepentingannya masing-masing. Unsur SARA sering dijadikan pemicunya. Namun pemimpin dan rakyat Indonesia saat ini telah menjadi dewasa dalam berbangsa dan bernegara.

Ketidakpuasan atas kinerja pemerintah yang dirasa sebagian rakyat, itu yang dijadikan isu nasional. Seakan pemerintah yang ada, sedang menjadi penjajah untuk bangsanya sendiri. Mereka diajak untuk memberontak. Siapakah provokatornya? Yang merasa tidak merdeka di negerinya sendiri.

Ada 5 cara untuk memaknai kemerdekaan dalam kehidupan kita setiap harinya, yaitu:

1. Merdeka Tergantung Situasi dan Kondisi
Menurut KBBI, 'situasi' artinya: 1 kedudukan (letak sesuatu, tempat, dan sebagainya); 2 keadaan. Sedang 'kondisi' artinya: 1 persyaratan; 2 keadaan. Keduanya bisa sama-sama berarti suatu 'keadaan'. Lalu, apakah ada bedanya?

'Situasi' lebih menjelaskan kepada suatu keadaan yang bersifat eksternal, seperti situasi di luar diri. Contoh: situasi Puskesmas sedang ramai. Sedang 'kondisi' lebih menjelaskan kepada suatu keadaan yang bersifat internal, seperti tentang kualitas atau tampilan. Contoh: kondisi tubuhnya sedang tidak sehat.

Ada orang yang sedang berjuang untuk menikmati kemerdekaan dalam hidupnya dengan bergantung kepada keadaan tertentu. Akhirnya memaknai kemerdekaan hidupnya itu bersifat situasional dan kondisional. Meski telah memiliki semua hal, namun hidupnya tetap dalam tekanan atau penjajahan.

Contoh: waktu masih pacaran dulu, ingin berjumpa terus dengan pasangannya. Awal pernikahan masih memiliki semangat ingin berjumpa terus, sehingga selesai kantor ingin cepat tiba di rumah. Namun setelah menikah sekian tahun, lebih merasa merdeka, kalau usai jam kantor nongkrong di warung kopi di mal.  

2. Merdeka Tergantung Kekuasaan dan Materi
Seorang penjajah pasti memiliki kuasa dan materi yang lebih, dari pihak yang dijajah. Memiliki kuasa, tanpa materi akan kesulitan untuk menjajah. Memiliki materi, tanpa punya kuasa akan sulit mengendalikan bawahannya.

Saat bangsa kita dijajah oleh bangsa asing, ada sebagian dari masyarakat kita yang bisa menikmati kemerdekaannya. Kita sering menyebutnya sebagai antek penjajah atau pengkhianat.

Namun ada juga yang telah menganggap dan menanggapi para penjajah itu, sebagai sesuatu yang biasa alias tidak merasa sedang terjajah. Mungkin sudah terlalu lama terjajah, sehingga bisa melakukan penyesuaian. Atau mungkin tingkat intelektual yang belum memadai, untuk mengerti arti bebas dari penjajah.

Jika saat ini, kita bekerja mati-matian untuk mendapatkan kekuasaan dan materi, maka kedua hal itu sedang menjajah kita. Sebelum memiliki kekuasaan dan materi secara nyata, maka hidup seakan belum merdeka.

Segala cara dilakukannya hanya untuk meraih kekuasaan dan selanjutnya dengan keyakinan, bahwa materi akan mengikutinya. Sebelum memiliki keduanya ini, perjuangan akan terus dilakukannya.

3. Merdeka Tergantung Perasaan dan Pikiran
Untuk seorang berkelas filsuf, maka kekuasaan dan materi bukanlah segala-galanya. Merdekanya hidup itu hanya bergantung bagaimana perasaan dan pikiran kita saat menghadapi kenyataan.

Sesuatu yang nyata itu sesungguhnya tidak ada, sebelum kita merasakan keberadaannya itu dan memikirkannya. Contoh ada yang mengatai kita, "Bodoh." Maka kalau kita tidak menanggapi (seperti seseorang yang mengalami gangguan pikiran), maka ucapannya itu tidak akan menyakitinya.

Sebaliknya kalau kita merasa terhina, karena pikiran kita yang mengusulkan begitu, maka kita akan sakit hati. Kita tidak akan suka, saat melihat wajah orang itu. Kehadirannya seakan menjadi penjajah yang menekan kebahagiaan kita. Kalau tidak ada dia, malah kita merasa merdeka. 

4. Merdeka Tergantung Fisik dan Hobi
Ketika merasa badan (fisik) tidak fit, mungkin karena kejenuhan, kelelahan atau sakit, maka akan tergantung kepada obat-obatan tertentu, termasuk di dalamnya narkoba. Sejenak merasa kondisi badan jadi enak setelah mengonsumsi pil atau zat tertentu, maka itu akan menjadi pilihan selanjutnya (kecanduan).

Belum lagi yang memerdekakan diri dengan hobi tertentu. Punya hobi itu baik. Namun kalau tidak bisa menikmati hobinya itu, lalu merasa tersiksa sekali, ini gejala ketergantungan. Perhatikan orang yang hobi main game online, kalau tidak main badan rasa tidak enak.

5. Merdeka Tergantung Agama dan Keyakinan
Seorang ber-Tuhan disebut beragama. Tidak ber-Tuhan disebut ateis. Tidak tahu adanya Tuhan disebut agnostik. Semuanya itu merupakan keyakinan seseorang akan sesuatu yang bersifat abstrak.

Tidak ada orang yang bisa membuktikan adanya Tuhan. Sebaliknya, tidak ada pula orang yang bisa membuktikan tidak adanya Tuhan. Semua tergantung keyakinan.

Ingin membuktikan adanya Tuhan, maka orang itu harus memiliki posisi lebih besar dari Tuhan. Ingin membuktikan tidak adanya Tuhan, maka orang itu perlu merasa yakin, bahwa dulunya pernah ada. Lalu sekarang dicari ternyata tidak ketemu.

Kalau memang begitu yakin sejak dia lahir tidak ada yang namanya Tuhan, lalu ngapain sekarang kok dipikir atau dimasalahkan? Kan tidak ada. Bahkan ada yang ingin membuktikan bahwa Tuhan itu tidak ada? Kalau tidak ada yang sudah. Tidak perlu lagi memaksa yang yakin Tuhan itu ada, supaya yakin Tuhan tidak ada.

Yang yakin Tuhan itu ada, akan mengatakan bahwa hanya Tuhan yang sanggup memerdekakan hidup ini. Caranya harus melakukan ketentuan-ketentuan dari para utusan-Nya. Hingga membuat beberapa penganutnya merasa hidupnya tidak merdeka, karena diikat oleh aturan agamanya.

Inilah yang membuat orang ateis dan agnostik bisa lebih menikmati hidup, karena merasa tidak ada aturan agama yang mengatur hidupnya. Apakah benar demikian?

Tetap ada aturan yang mengikatnya, yaitu melalui kesepakatannya sendiri bersama para penganutnya itu. Apakah negara yag berhaluan komunis itu tidak ada aturan yang mengikat penduduknya?

Semua yang ada di dunia ini bisa menjadi penjajah bagi diri kita. Maka jika ingin menikmati hidup yang merdeka, maka itu tergantung dari diri kita masing-masing.

Negara Indonesia telah merdeka dari penjajahan asing. Namun ada banyak negara yang ingin menjajah kembali, baik melalui kebudayaannya, kekuatan ekonominya atau ideologinya.

Oleh sebab itu, perlu ingat nasihat Bang Napi, "Ingat! Kejahatan bukan semata-mata karena ada niat dari pelakunya, tetapi juga karena ada kesempatan! Waspadalah! Waspadalah!"

Merdeka ... Merdeka ... Merdeka ...
Merah Putih Teruslah Berkibar
Salam NKRI 74 Tahun

Surabaya, 17 Agustus 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun