Mohon tunggu...
Aku Adalah Meteor
Aku Adalah Meteor Mohon Tunggu... Tentara - Penulis Yang Tersakiti

Menulis sejak kecil saat mulai bisa berbohong. Sadarlah bahwa doktrin lebih berbahaya dari peluru! yosuahenrip.47@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mawar, Cacing, dan Pohon

24 April 2020   02:14 Diperbarui: 24 April 2020   17:38 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suatu ketika, sebuah biji yang di bawa oleh burung jatuh ke tanah. Kebetulan tanah itu baik, dan pepohonan di sekitarnya menjatuhkan air lewat dedaunan yg mereka miliki. Embun terperangkap diantaranya. 

Cacing pun segera menutup biji itu dengan sigap, meski ia tak memiliki cangkul atau skop. Rumput duri seolah enggan mendekati. Seakan mereka semua tau, dan memiliki harapan agar biji itu tumbuh menjadi suatu individu baru yg indah.

Mentari dan bulan berkejaran, namun tak pernah bertemu. Mentari tau, bahwa bulan tak malu akan terangnya yg begitu mempesona hingga mampu membakar apapun yg menantangnya. Begitu pun sebaliknya. Hingga tak terasa sudah 14 putaran mereka selalu begitu sejak biji itu jatuh dari paruh seekor burung pipit. 

Tak terasa pula, biji itu telah menjelma menjadi sebuah batang yg tinggi menjulang. Pohon, rumput, dan cacing pun makin bahagia melihatnya. Sesekali pohon pohon itu menggoyangkan rantingnya, agar sinar mentari dapat menyentuhnya dan menjadikanya baik. Begitu terus, hingga 5 hari kemudian.

Perlahan namun pasti, batang ini makin indah. Dan lihatlah, ternyata muncul bunga indah berwarna merah di tiap tangkainya. Dia pun merasa bangga, begitupun semua makhluk yang turut menjaganya. Senyumnya begitu memikat. Segala yg melihatnya pasti ingin memilikinya. Ia pun tumbuh dan semakin mekar. Kemudian harum semerbak memenuhi tempat itu, yg adalah berasal dari sari bunga yg dia miliki. Semesta makin girang melihat tempat itu menjelma bagai firdaus.

Sayangnya, hal itu merupakan cobaan bagi sang biji kecil yg kini menjelma menjadi bunga indah. Ia mulia congkak. Ia mulai meninggikan diri. Seolah ia lah yg paling indah. Tanpa terbesit di pikirannya bahwa itu semua berkat usaha semesta sekelilingnya. Kemudian ia mulai menumbuhkan duri pada tangkainya. 

Dengan dalih agar tak satupun dapat menyentuh bunganya. Cacing mulai gerah. Rumput pun mulai enggan berbagi air tanah. Pohon yg selalu melindunginya dari cahaya terik pun mulai sedih, dan perlahan menyingkapkan dedaunan yg selama ini melindungi bunga itu.

Terik mulai menyengat bunga indah nan harum itu. Angin kencang melarutkan aroma yg terpancar darinya. Panaspun mulai melayukan kelopak bunga yg kini kisut dan kering. Sang biji kecil itu tetap merasa kuat. Bertahan dibalik sombongnya yg ia banggakan. Dengan penuh keyakinan bahwa ia akan kuat melewati hari itu dan menerka bilamana hari itu panas maka akan turun hujan, seperti keyakinan kebanyakan petani disawah. 

Tetapi dia lupa akan satu hal. Yaitu bahwa mentari memiliki terang yg begitu mempesona, yg mampu membakar siapapun yg menentangnya. Pelan tapi pasti, kelopak-kelopak indah itupun mulai berguguran. Dibalik angkuhnya itu, ia menangis kencang dalam hati. Segala mantra dan doa saling bersahutan memohon pertolongan kepada Sang Tunggal, sekiranya boleh turun hujan barang sebentar saja. Sebenarnya dia sendiri sadar bahwa tidak akan lama ia mampu bertahan. Tapi gelora congkaknya mengalahkan nyawa.

Pohon tertegun menatapnya. Cacing menggelinjang tak kuasa menentang panas saat hendak memberinya setetes air. Maksud hati ingin menolong. Begitu pula sepasukan kecil semut, 10 ekor anggota dan 1 ekor sebagai komandan regu. Memisahkan diri dari koloni dan bergerak untuk membawakan butiran air kepada bunga indah yg mulai hilang semarak itu. Nampaknya para semut ini teringat akan kisah leluhur mereka saat menolong Ibrahim yg dibakar dalam api oleh kaumnya sendiri. 

Bagi semut, tidak ada tebang pilih untuk berbuat baik. Meski sering kali apa yg mereka lakukan dipandang sebelah mata, bahkan tidak ada yg menghiraukan. Rumput yang berjajar pada belukar dibawah pohon pun menjadikannya pelajaran kepada anak cucunya. Bahwa hal indah yg kita miliki dalam hidup ini bukanlah murni anugerah, melainkan cobaan belaka, yg suatu saat mampu membinasakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun