Mohon tunggu...
E.M.Joseph.S
E.M.Joseph.S Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa hukum semester 7 UT

Pria, INFJ

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Mahkamah Konstitusi (1)

21 Maret 2024   10:49 Diperbarui: 21 Maret 2024   10:49 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada era modern seperti sekarang, Hukum terstigma sebagai norma-norma yang dikodifikasi menjadi beragam peraturan perundangan. Dan acap kali, dapat ditemukan norma-norma yang kemudian tidak lagi relevan, atau mungkin terjadi antinomi dengan peraturan perundangan lainnya, yang membuat ketidakpastian hukum terjadi, baik secara horizontal maupun secara vertikal.

Dalam teori hukum umum, dikenal asas lex superior derogat legi inferiori, dimana suatu peraturan dapat mengalahkan peraturan yang ada dibawahnya dan dengan demikian peraturan dibawahnya harus selaras dengan peraturan diatasnya. Asas ini sering digunakan dalam teori tata negara, terutama yang dikenal dalam teori Hans Kelsen dan Hans Nawiasky dengan skema piramida hierarki tata negara. Aplikasi teori tersebut juga dapat ditemukan di Indonesia, yang meletakkan Pancasila atau Konstitusi, sebagai norma tertinggi dan superior dari segenap peraturan perundangan yang ada.

Terlepas antara Pancasila atau Konstitusi yang kemudian menjadi norma tertinggi Negara Indonesia dan sangat panjang untuk didebat, kali ini penulis akan melihat pada undang-undang dan bagaimana suatu norma kemudian dinyatakan tepat, atau sebaliknya, tidak tepat dan dengan demikian dapat diadili sebagai suatu bunyi yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak.

Dan untuk mengadili suatu norma, kita mengenal apa yang dinamakan Mahkamah Konstitusi. Terlepas dari banyaknya peristiwa yang terjadi belakangan ini, Mahkamah Konstitusi tetaplah suatu lembaga dengan kewibawaan dan martabat yang sangat tinggi. Tapi mengapa dikatakan berwibawa? Apa sebenarnya Mahkamah Konstitusi itu? Dan atas pertanyaan tersebut, penulis kemudian mulai membuat serial ini. Dan tentu saja, secara singkat, sederhana, dan lebih dekat kepada spektrum sosial budaya daripada spektrum hukum itu sendiri.

PEMBENTUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI.

Dari segi hukum positif, kata 'Mahkamah Konstitusi' muncul saat amandemen ketiga UUD NRI, dalam pasal 7B ayat 1 yang berbunyi:

"usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden."

Kemudian, dalam kewenangannya sebagai lembaga, Mahkamah Konstitusi kemudian tertuang pada Bab IX Kekuasaan Kehakiman Pasal 24 ayat 2 UU NRI Amandemen ketiga, yang berbunyi:

"Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi."

Lalu, pada amandemen keempat UUD NRI 1945, bagian Aturan Peralihan pasal III, ada tertuang:

"Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung."

Hal ini menjadi menarik, mengingat Konstitusi adalah norma-norma dipenuhi dengan genetik suatu negara yang harusnya dapat bertahan puluhan, bahkan ribuan tahun. Namun bunyi tersebut bernada seperti mandat dengan keberlakuan hanya sekali-selesai. Terlepas daripada kritik terhadap bunyi, pasal yang sama juga menyatakan bahwa MK berdiri sebelum tanggal 17 agustus 2003.

Lebih tepatnya, secara formal (diatas kertas dalam bentuk undang-undang) MK berdiri pada tanggal 13 agustus 2003 dalam bentuk UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Ada cerita-cerita menarik tentang berdirinya MK pada saat itu, namun karena hal tersebut akan melebar ke lain topik, yaitu Politik Hukum, maka tidak penulis sampaikan dalam artikel ini.

MK DALAM UUD NRI 1945

Dalam pasal 24 yang sudah tertuang sebelumnya, jelas tertuang bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan mahkamah yang memiliki derajat sama dengan Mahkamah Agung. Dalam UUD NRI sendiri, cukup terang tentang wewenang dan kapasitas yang dapat dilakukan Mahkamah Konstitusi itu sendiri.

Pada pasal 7, Mahkamah Konstitusi memiliki kapasitas untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR terhadap Presiden yang dinilai melakukan pelanggaran hukum, kemudian pasal 7B ayat 4 menegaskan peranan tersebut dengan bunyi:

"Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama Sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi."

Kemudian setelah diputus, maka peranan MK berakhir di sana, karena keputusan tersebut akan diproses oleh DPR kepada MPR. Namun yang menjadi menarik adalah, MK memiliki kapasitas untuk memberhentikan kepala negara lewat keputusannya. Dan karena itu, MK dikatakan sebagai lembaga yang memiliki harkat martabat yang sangat tinggi.

Kewenangan MK berikutnya tertuang pada pasal 24C ayat 1 sampai 6 amandemen ketiga yang berbunyi:

"Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum."

Bila disarikan, maka kewenangan MK mengadili pada dasarnya final and binding, tidak dapat dirubah dan tidak dapat diganggu gugat putusannya. Kemudian kasus yang ditangani sesuai kewenangannya MK meliputi:

  • Menguji undang-undang terhadap UUD;
  • Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang berdiri atas dasar UUD;
  • Memutus pembubaran partai politik;
  • memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Selain itu, MK juga wajib memberi putusan dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden yang muncul karena pendapat DPR, dimana putusan tersebut juga berdasarkan UUD. Secara struktur keorganisasian, MK memiliki 9 orang yang dipilih secara eksklusif oleh lembaga kepresidenan selaku eksekutif, oleh MA selaku yudikatif, dan oleh DPR selaku legislatif, masing-masing 3 orang dari 3 lembaga tersebut. Sementara penunjukan ketua dan wakil ketuanya dipilih oleh para hakim konstitusi tersebut.

Lalu, secara mendasar syarat hakim konstitusi meliputi:

  • memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela;
  • adil;
  • negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan;
  • tidak merangkap sebagai pejabat negara.

Di mana ketentuan lain terhadap Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang lain. undang-undang lain yang dimaksud merujuk pada UU 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi serta perubahan-perubahannya, yang meliputi UU 8/2011 tentang perubahan pertama UU MK dan UU 4/2014 tentang perubahan kedua UU MK atas penetapan perpu.

Apa saja yang berubah, akan dibahas pada serial berikutnya. Adapun pada prinsipnya, Mahkamah Konstitusi yang karena keputusannya dapat memberhentikan kepala negara, menyatakan prinsip check and balances yang biasa ada dalam teori tata negara. Pertanyaannya, apabila kemudian Mahkamah Konstitusi dapat menjadi lembaga yang dapat mengawasi seluruh spektrum lembaga negara, siapa yang mengawasi MK? Ada banyak jawabannya dan penulis serahkan pada pembaca.

PRINSIP CHECK AND BALANCES DALAM MK.

Ibarat suatu keluarga konservatif, lembaga eksekutif adalah seorang ayah yang bekerja, lembaga legislatif adalah seorang ibu yang mengatur rumah tangga, dan lembaga yudikatif adalah anak yang memperhatikan ayah dan ibu itu menyelenggarakan keluarga. Bila ayah nakal, maka ibu dan anak akan marah. Bila ibu nakal, maka ayah dan anak akan protes. Bila anak nakal, maka ayah dan ibu akan memberikan suatu hukuman. Bila ketiganya nakal, maka tetangga (media) akan bergosip tentang keluarga tersebut.

Prinsip Check and Balances bergerak pada roda gigi yang sama, dimana setiap instrument terlembaga itu saling memeriksa kekuatan kekuasaan masing-masing, serta mengawasi langkah-langkah yang dilakukan dalam penyelenggaraan negara. Kemudian, konsekuensi perkembangan prinsip check and balances ini kemudian dapat membuat trias politica juga melebar. Kadang ada yang berkata penta politica karena ada 5 kekuasaan yang saling mempengaruhi satu dengan yang lain, kadang hexa politica karena ada 6 kekuasaan dalam satu negara.

Penulis sendiri menggunakan trias politica karena lebih dikenal secara umum, lebih diakui secara akademis, serta lebih pasti karena Indonesiapun dikatakan menggunakan trias politica dan keberadaannya jelas ada dalam hukum positif.

Adapun MK, sebagai bagian dari lembaga Yudikatif, tidak terlepas dari peranan yang menjalankan prinsip tersebut. Hal ini diketahui dari penjelasan UU 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi:

"Kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi melaksanakan prinsip checks and balances yang menempatkan semua lembaga negara dalam kedudukan setara sehingga terdapat keseimbangan dalam penyelenggaraan negara. Keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan langkah nyata untuk dapat saling mengoreksi kinerja antar lembaga negara."

Demikianlah sedikit tentang Mahkamah Konstitusi. Sebagai artikel minimalis, tentu artikel ini tidak sempurna, namun dapat memberikan gambaran umum bahwa Mahkamah Konstitusi adalah lembaga yang berwibawa karena kewenangannya dalam membatasi kekuasaan dan kewenangan yang ada dalam negara, dan memiliki daya untuk merubah, membatalkan, atau membentuk norma baru yang dapat berlaku secara holistik kepada seluruh masyarakat satu negara, sepanjang belum dirubah undang-undang lain. Akhir kata, semoga berkenan dan tetap semangat.

Artikel ini adalah opini pribadi seorang penggemar hukum dalam rangka memperdalam pengetahuan tentang hukum secara holistik. Adapun terjadi kesesatan, penulis terbuka untuk mendapatkan kritik, saran, ataupun diskursus yang dapat mempertajam pemahaman dalam topik terkait.

Peraturan Perundangan:

UUD NRI 1945.

UU 24 tahun 2003 tentang MK.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun