Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mengumpulkan Buah dan Snack untuk Buka Puasa

9 April 2023   11:26 Diperbarui: 9 April 2023   11:32 656
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: depok.urbanjabar.com

Jalan berbatu kulalui bersama teman-teman saat pagi hari. Tepatnya setelah selesai melaksanakan shalat Subuh berjamaah kami jalan-jalan pagi. Masih dengan mukena menutupi tubuh. Atau sarung dikalungkan ke leher dengan posisi menyelempang bagi anak laki-laki.

Sebenarnya tak hanya anak-anak saja yang jalan-jalan pagi setiap bulan Ramadan tiba. Ada beberapa pemuda dan orang tua yang ikut juga.

Suasana udara di desa tentu sangat segar. Tidak terlalu dingin, meski daerah kami termasuk di antara bukit dan pegunungan ketinggiannya. Maksudku, daerahku kalau dikatakan sebagai perbukitan tidak masuk karena ketinggian melebihi bukit. Pegunungan pun tidak karena ketinggiannya tak seperti pegunungan.

Menyusuri jalan yang masih lumayan gelap oleh kabut tak menyurutkan langkah kaki kecil kami. Apalagi saat Ramadan, kami sekolah agak siang. Jadi kami agak santai. Sambil bercanda ria, bercerita tentang makan sahur kami, rencana buka puasa dan sebagainya. Puasa baru beberapa jam tapi sudah merencanakan buka puasa. Heheheh. Tapi itulah asyiknya kalau puasa Ramadan.

Makanya saat jalan-jalan pagi itu tidak sedikit anak-anak yang sudah mengumpulkan aneka buah dari pohon-pohon yang ditanam dan tumbuh di sisi kanan-kiri jalan. Pastinya, kami minta izin kepada pemilik dulu untuk memetik buah-buah itu. 

"Ayuk, kita minta buah jambu air buat buka puasa nanti Maghrib," ajak Toni.

"Siapa yang mau minta izin pak Samto?" Tanya Topa.

Pak Samto itu guru Matematika di SD kami. Beliau tegas tetapi tetap ramah dan baik hati kepada murid-muridnya.

"Aku saja yang matur (bilang) pak Samto," ucap Amin.

Bertepatan dengan ucapan Amin, pak Samto yang memiliki pohon jambu air baru sampai rumah. Beliau masih mengenakan peci, bersarung dan meletakkan sajadah di pundak kanannya. 

Jamaah di masjid pak Samto memang bubarnya agak siang. Kultumnya lebih lama dibandingkan dengan masjid tempatku shalat setiap hari.

"Pak, mau minta jambunya ya!" Ucap Amin, mewakili kami semua.

"Lah, apa kowe padha ora pasa?" (Apa kalian tidak puasa?)

"Nggih pasa, pak. Jambune mangke dimaem pas Maghrib," jawab kami. (Puasa, pak. Jambunya mau dimakan nanti Maghrib, pak)

"Oalah. Iya. Kono dho opek. Nanging pilih sing wis tuwa lan mateng ya! Ben ora mubadzir," nasehat pak Samto. (Iya. Kalian petik saja. Tapi kalian pilih yang sudah tua dan masak ya! Biar tidak mubadzir)

Segera kami menunjuk dan berebut memilih jambu air yang sudah tua dan matang. Salah satu teman laki-laki, Esan, memanjat pohon jambu air lalu memetikkan buah jambu air yang sudah dipilih sendiri-sendiri oleh kami.

Dari atas pohon, Esan melemparkan buah jambu yang sudah dipetik tadi. Tak jarang jambu itu meleset saat mau ditangkap. Jadi, jambunya hancur saat menyentuh bebatuan di bawah pohon jambu air. Ada rasa kecewa juga saat kami gagal menangkap jambu air yang dilemparkan dari atas pohon.

"Le nyathok nganggo sarungku wae!" Usul mas Zezen. (Kita tangkap dengan sarungku saja!)

Mas Zezen mengambil sarung yang dikalungkan menyilang di lehernya. Lalu sarung itu dihamparkan dan dipegangi bersama mas Manto dengan posisi berdiri.

Hasil kerjasama itu Alhamdulillah tidak mengecewakan. Buah jambu air tidak hancur akibat jatuh di bebatuan yang masih lancip. Barulah buah itu dibagi sama rata oleh mas Udin. 

Mas Udin itu sudah SMA, bisa membagi buah jambu secara adil kepada aku dan teman-teman.

"Wis padha oleh bagian dhewe-dhewe ta?" Tanya pak Samto. (Kalian sudah mendapat bagian jambu sendiri-sendiri ya?)

"Sampun, pak. Matur nuwun nggih, pak." Ucap kami berbarengan. (Sudah, pak. Terimakasih ya, pak).

Setelah itu kami pamit dan melanjutkan jalan kaki ke arah dusun Karangtalun. Saat ke sana, sudah pasti kami melewati rumah pak dukuh Karangtalun. Di depan rumah pak dukuh itu ada pohon talok atau kersen. 

Buahnya banyak. Ada yang masih hijau. Ada pula yang sudah memerah atau malah merah menyala. 

Jadi meski tangan sudah menggenggam beberapa buah jambu air dari pak Samto, kami masih mengincar buah talok atau kersen tadi. Buah kecil-kecil itu memang menggoda. Meski ukurannya tidak lebih besar dari kelereng, tapi rasanya manis sekali. Ada butiran-butiran halus saat memakannya. Hampir sama kalau makan ceplukan. Ah, aku malah jadi membayangkan rasanya. Bismillah, aku harus tetap berpuasa biar dapat pahala dari Allah.

"Pak dukuh, kami minta buah taloknya ya". Kami tetap minta izin kalau mau memetik buah yang bukan milik sendiri. Kami ingat nasehat ustadz kalau semua yang dimakan itu harus halal. Tidak boleh makanan dari hasil mencuri.

"Ya kono. Opeko dhoan. Ketimbang wohe padha tiba lan ora kepangan (Ya kalian petik sana. Daripada buahnya jatuh dan tidak termakan)," ucap pak dukuh mengizinkan kami memetik buah kersen.

Kembali kami beraksi. Seperti saat memetik jambu, beberapa anak laki-laki yang memanjat pohon talok atau kersen. Maklum, pohonnya tinggi. Buah-buah mungil itu dimasukkan ke saku atau dibundel pada sarungnya. Begitu turun, buah kersen dibagi secara adil lagi oleh mas Udin. 

Dengan semangat dan tawa riang, kami berpamitan dan melanjutkan perjalanan sampai pertigaan Karangtalun lalu balik badan untuk pulang. Kami kembali ke rumah masing-masing untuk siap-siap ke sekolah.

Lalu bagaimana dengan buah-buahan yang kami dapatkan setiap pagi? Kalau aku sendiri menyimpannya di lemari ruang makan. Soalnya tidak memiliki kulkas. 

Semoga saja ayah bisa membelikan kulkas biar bisa menyimpan sayur dan buah dalam waktu lama. Kan enak dan segar juga kalau menikmati buah yang baru saja dikeluarkan dari kulkas.

Di desaku, warga yang memiliki kulkas hanya beberapa saja. Mereka biasanya berjualan es lilin rasa buah-buahan. Kalau misalnya uang jajanku ditambahi oleh ibu, aku membeli. Tetapi kalau tidak diberi ya aku hanya melihat teman-teman yang menikmati esnya.

***

Kembali ke ibu yang melihatku menyimpan jambu air dan beberapa butir kersen di lemari ruang makan. Pada awalnya ibu merasa kaget dan khawatir kalau aku akan mokak atau buka puasa saat mbedhug Dhuhur. 

"Kamu sudah kelas II, puasanya jangan kayak anak TK ya!" Ibu memperingatkanku. Aku hanya mengangguk. 

Aku memang senang mengumpulkan makanan buat buka puasa sejak pagi. Kalau buah sudah tersedia, aku tinggal beli snack ringan. Dengan uang jatah seratus rupiah, aku membeli Fujimie seharga lima puluh rupiah dan snack berhadiah.

Kalau Fujimie jelas kubuka saat suara adzan Maghrib berkumandang. Kunikmati setelah minum air sirup rasa jeruk. Kami menyebutnya orson. Rasanya segar. Agak kecut tapi ada manis-manisnya. Pokoknya segar di tenggorokan.

Nah, kalau snack berhadiah kubuka kemasannya beberapa saat setelah kubeli. Jangan heran ya! Aku tetap menepati janji kepada ibu kalau puasa sehari penuh.

Kenapa aku membuka kemasan snack sebelum Maghrib tiba? Kalian boleh tertawakan aku. Aku hanya penasaran dengan hadiahnya saja.

Saat itu hadiah snack ada yang berupa uang dengan nominal yang berbeda. Nah, kalau mendapat hadiah berupa uang, maka uang itu kugunakan untuk membeli snack berhadiah lagi. Dengan harapan kembali mendapat hadiah. 

Oh iya. Ada kebiasaan buruk aku dan teman-teman kalau membeli snack berhadiah, pasti kemasan snack kami raba-raba untuk memastikan ada hadiahnya atau tidak. Sampai kemasan snack kucel dan mengakibatkan Bu Zum, penjual di warung sebelah rumahku marah.

Meski dimarahi, kami tetap nekat. Tapi, ibu dengan sigap memberikan nasehat agar aku tidak mengulang perbuatan seperti itu.

"Itu namanya nggak sopan. Bu Zum bisa rugi. Kalau Bu Zum rugi, bisa-bisa nggak bisa jualan lagi!" Tutur ibu dengan bijak.

Benar sih kata ibu. Perbuatan kami memang tidak sopan. Apalagi ustadz bilang kalau rezeki tak akan tertukar. 

***

Ketika sore hari, setelah shalat Asar, aku dan teman-teman bergegas ke masjid untuk takjilan atau buka puasa bersama. Jambu air, buah talok atau kersen serta snack dan minuman orson aku bawa ke masjid. 

Mendekati waktu buka puasa aku sendiri sangat bahagia, karena tubuhku tidak lemas. Aku berhasil puasa sehari penuh. Tak seperti teman sekelasku yang masih puasa mbedhug atau puasa Asar. Atau bahkan ada yang pasa manuk podhang.

Puasa mbedhug itu maksudnya puasa sampai waktu Dhuhur. Sementara puasa Asar ya puasanya sampai azan Asar. Istilah puasa mbedhug dan puasa Asar kami iringi guyon. Puasa Mbedhug kejegluk-jegluk. Puasa Asar kesasar-sasar. Meski kami tak tahu maksud sebenarnya apa. Hahaha.

Nah kalau pasa manuk podhang itu istilah untuk anak yang tidak puasa sama sekali. Kalau orang tua kami sering menambahkan pasa manuk podhang, esuk-esuk wis madhang. (Puasa burung podhang, pagi-pagi sudah makan)

Seperti di tempat lainnya, saat takjilan, pasti kami diajak membaca Iqra sesuai kemampuan kami dan mendengarkan dongeng atau kisah nabi. 

Selesai membaca Iqra dan mendengarkan dongeng, kami bersiap-siap untuk buka puasa di emper masjid. Ustadz membagikan nasi takjil. Bekal buah, snack dan minuman kami jejer rapi sambil menunggu bedhug dan azan Maghrib.

Sungguh pengalaman ini sangat berkesan. Aku sendiri pasti akan mengingatnya sampai kapanpun.

Branjang, 8 April 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun