Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Undangan di Antara Rintik Hujan

11 November 2021   04:23 Diperbarui: 11 November 2021   04:32 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: tribunnews.com

Aku mengenalnya tanpa sengaja. Sepertinya lelaki itu merasa kasihan, setiap Senin pagi aku dan sepupuku berboncengan untuk ke kampus masing-masing. Aku di UNY. Sepupuku di UST.

Kenapa kasihan? Di tengah perjalanan yang padat pada jalan berliku dari Gunungkidul menuju Yogyakarta, pastilah ada lelaki muda yang selalu mengawal kami. Begitu hafalnya aku dan sepupuku. 

"Nanti pasti ketemu mas Dagni, setelah bokong Semar, mbak" ucap Maya yang memboncengku. 

Kami terbiasa mengobrol di tengah perjalanan. Menghilangkan rasa takut. Ya... sebenarnya aku takut kalau berkendara dan ramai. Harus bersaing pula dengan truk muatan kayu, damen atau jerami, bus-bus antar kabupaten yang melaju pelan.

Untuk ngebut dan menyalip truk, dan bus tentu butuh keberanian. Karena dari lawan arah pasti juga melintas bus-bus, kendaraan bermotor para penglaju yang menuju Wonosari.

Pengendara motor laki-laki biasanya lebih bernyali untuk menyalip bus dan truk. Mereka memiliki tenaga dan keberanian yang besar dibandingkan aku.

"Dari mana kamu tahu namanya, May?"

"Lho...'kan dulu dia pernah nyebutin namanya, mbak."

Sambil berkonsentrasi pada keramaian jalan, aku mencoba mengingat kebenaran ucapan Maya.

"Ternyata Dagni kerja di perpustakaan daerah, mbak."

"Kamu ini. Tahu banget tentang dia. Jangan-jangan kamu sering ketemuan..."

"Aih... ya nggak-lah, mbak. Bisa runyam hubunganku dengan mas Bima."

Aku mau menanyakan lebih banyak tentang lelaki itu ke Maya, tetapi orang yang diobrolkan sudah berada di belakang motorku. Dia tak seperti pengendara lain yang ngebut demi menyalip kendaraan roda empat.

Dia mengawal aku dan sepupuku. Rasanya jadi sedikit tenang. Setidaknya sampai di jalan Jogja-Wonosari biasanya dia langsung tancap gas. Mungkin sudah merasa kalau cukup mengawalku di jalan raya tanpa liku dan lalu lintas lancar.

***

Dua minggu yang lalu.

Aku pulang dari kampus dengan perasaan tak menentu. Tadi, aku dan teman-teman kuliah ke perpustakaan daerah untuk mencari sumber literasi primer untuk tugas makalah kelompok. 

Kalau hanya mengandalkan perpustakaan fakultas atau perpustakaan kampus, rasanya belum cukup. Keputusan kelompok kami, sumber literasi primer akan kami cari di perpustakaan daerah. 

Aku mengikuti teman-teman yang sudah lebih dulu masuk perpustakaan. 

Sesampai di lobi perpustakaan, kami harus mendaftar terlebih dahulu. Maklum, sebagai mahasiswa yang baru masuk semester 2 kadang malas untuk ke perpustakaan. Apalagi zaman now, banyak literasi yang bisa didapatkan lewat google.

Terpaksa kami ke perpustakaan, karena tuntutan dari dosen. Kalau tidak, kami lebih senang berselancar di dunia google. Maklumlah, dosen kami termasuk penulis. Jadi beliau lebih senang kalau mahasiswa membaca buku daripada berselancar di internet.

***

Hari ini.

Aku kembali lagi ke perpustakaan daerah. Mumpung jam kuliah kosong. Tetapi aku ke sana tak bersama teman-teman lagi. Karena untuk saat ini aku mengejar target deadline dari dosen. Besok harus dikumpulkan dan dipresentasikan, padahal itu tugas individu. 

Baru saja aku masuk perpustakaan. 

"Mbak Ririk, ingat dengan saya?" Tiba-tiba suara lelaki menyapaku. Langkahku terhenti. Lelaki itu mendekatiku.

Aku mengernyitkan dahi. Kucoba mengingat-ingat kembali, siapa gerangan dia. 

Kuingat ucapan Maya, sepupuku, kalau Dagni kerja di perpustakaan ini. Ah... aku aneh dan bodoh! Kenapa tak ingat wajahnya sama sekali? 

"Emmmm... mas Dagni?" Tanyaku lirih.

Dia tertawa pelan. 

"Iya, mbak. Saya Dagni. Waduh, ternyata mbak Ririk lupa sama saya."

"Maaf, mas. Padahal tiap Senin pagi ngawal saya. Maaf banget."

Dia mengulurkan tangannya. Kusalami dia.

"Iya, mbak. Kasihan dan khawatir kalau lihat mbak Ririk di belakang bus-bus besar."

"Makasih ya, mas."

Aku mau menuju lantai dua perpustakaan.

"Ah...iya, mbak. Saya mau minta maaf." Ucapan Dagni menahanku untuk melangkah.

Aku tak mengerti, kenapa dia meminta maaf padaku.

"Saya kemarin mengirim undangan untuk mbak Ririk. Saya kirim ke alamat mbak Ririk..."

"Undangan? Alamat? Dari mana mas?"

"Saya nyuri informasi alamat di perpustakaan ini, mbak. Sekali lagi saya minta maaf..."

Aku baru ngeh. Betapa bodohnya aku, kenapa perlu menanyakan dari mana Dagni memperoleh alamatku?

"Kalau boleh tahu, undangan apa ya, mas?"

"Pernikahan..."

Ucapan Dagni tak dilanjutkannya. Ada beberapa pengunjung perpustakaan yang mau meminjam buku.

Dengan langkah gontai, aku menuju ruangan perpustakaan tentang fenomena pendidikan di Indonesia.

Buku-buku bejibun di sana membuatku bingung. Apalagi baru saja aku bertemu Dagni yang katanya mengirim undangan pernikahannya. 

Aku benar-benar tak bisa konsentrasi untuk menuangkan isi buku dan konsep yang sudah kubuat ke dalam bentuk makalah.

Akhirnya kubuat seadanya. Yang penting makalah buat besok sudah siap dipresentasikan. Nanti malam bisa kuedit lagi di rumah.

Sehabis ini aku meluncur ke kampus lagi. Dosen statistik sudah standby di kampus. 

***

Di perjalanan pulang hari ini, hujan. 

Rahasia umum dari derasnya hujan adalah bisa menyembunyikan air mata, tangis karena kecewa, sakit hati. Air mata yang terkadang memang harus dikeluarkan, agar hati lebih plong dan tenang di tengah perasaan tak menentu. 

Sepanjang perjalanan pulang dari kampus kuingat nama Swadagni. Nama lengkap Dagni. Iya, petugas perpustakaan itu. Nama yang diam-diam mencuri hatiku. Namun kenyataan pahit yang kurasa. Hingga hatiku menangis.

"Beruntunglah kalau kau sedih lalu bertemu hujan. Kau bisa menyembunyikan air mata di sana saat sedih," kalimat itu kuingat. Tapi entah dari siapa. 

Dan aku sangat menikmati hujan deras yang mengguyur kota Yogyakarta. Hingga banjir di beberapa titik kota menyebabkan beberapa motor jatuh karena pengendara kurang hati-hati dalam berkendara.

Kulajukan motor bebekku dengan pelan. Tanpa mantel atau jas hujan yang melindungi tubuhku dari serbuan hujan.

Ya...setidaknya aku sudah lega. Menangis bersama hujan. Setengah jam. Perjalanan kala hujan terasa sangat lama. Karena kalau tidak hujan paling-paling hanya membutuhkan waktu 15-20 menit dari kampus sampai perumahan orangtuaku di kawasan Bantul.

***

"Mbak Ririk, ada kiriman paket. Belum kubuka!" Teriak Maya. Aku tengah membersihkan badanku. Mandi keramas wajib kulakukan sehabis kehujanan. Biar tidak masuk angin.

"Ah ..pasti undangan dari Dagni," batinku.

Aku segera berganti pakaian. Keluar dari kamar mandi, Maya menyerahkan paket yang dimaksud. 

"Cieh... dari mas Dagni .. uhuyyyy!" Teriak Maya.

Kugelengkan kepala melihat tingkah laku sepupuku itu. Sementara paket tipis dari Dagni kupegang. Aku menimbang-nimbang untuk membukanya. Aku masih shock dan sedih dengan ucapan Dagni tadi.

Ternyata Dagni sudah mau menikah. Dan kesimpulanku, aku terlalu pede dan banyak berharap Dagni yang setia mengawalku di jalan saat Senin pagi, akan menjadi pengawal dan menjagaku selamanya. 

Saat memegang dan melihat kiriman Dagni rasanya dadaku sesak. Padahal tadi hatiku sudah merasa lega saat hujan-hujanan di jalan. Kuletakkan paket dari Dagni. Aku menuju dapur. Perutku seharian tak bertemu nasi.

***

Bakda Maghrib.

"Mas Dagni nggak perlu ke sini. Toh undangan sudah sampai. Cuma belum aku buka," ucapku kepada Dagni. Aku tak menyangka kalau dia ke perumahan. Sebuah surprise yang tak kuharapkan sama sekali. 

"Oh sudah sampai ya? Alhamdulillah..."

"Iya. Tadi diterima Maya."

Sunyi. Aku menatap air yang masih saja turun dari langit. Sedang Dagni terlihat canggung.

"Selamat ya, mas. Semoga lancar persiapan pernikahannya. Sampai hari H. Sakinah mawaddah warahmah." Ucapku tersendat, memecah kesunyian.

"Selamat apaan sih, mbak? Mbak Ririk pasti belum buka kirimanku." Dagni tertawa ringan.

Aku terus terang tak tahu maksud Dagni. Dia mau menikah kok malah ke sini. Dikasih ucapan, malah pertanyaan aneh diajukannya. Tertawa pula.

"Coba mbak Ririk buka dulu," ucap Dagni kikuk.

Baru saja mau masuk, Maya mengejutkanku. 

"Ini kiriman dari mas Dagni. Ehem!" senyum Maya mengembang. Diserahkannya paket kiriman dari Dagni. Kukuatkan hati pikiranku ketika membuka kiriman undangan di depan Dagni.

***

"Jadi begini, mbak Ririk. Saya ke sini untuk mengajak mbak Ririk ke pernikahan mbak saya. Minggu depan. Mmmm. Bisa 'kan?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun