Mohon tunggu...
Johanes Marno Nigha
Johanes Marno Nigha Mohon Tunggu... Dosen - Pembelajar

Sedang Senang Menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Heritage of Toba: Menyeimbangkan Kenyamanan Wisatawan dan Masyarakat Lokal

26 September 2021   00:50 Diperbarui: 26 September 2021   00:55 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Danau Toba (Doc. Risky  O.Carm)

Wacana pariwisata yang berhembus dengan kencang di Indonesia selama ini menyisakan cukup banyak pertanyaan.

Dua pertanyaan penting yang kerap muncul adalah  apa bentuk pariwisata ideal yang harus ada di Indonesia? Atau  jenis pariwisata macam apa yang hendak digali?

Kesan kuat yang muncul dari iklan-iklan tentang pariwisata kita akhir-akhir ini adalah seputar jalan-jalan lalu selesai.

Misalnya membayangkan berwisata dalam konteks pariwisata ke Danau Toba hanya seputar jalan-jalan dan menikmati apa yang ditawarkan di sana.

Sadar atau pun tidak ada kesamaan hal tentang cara masyarakat kita menikmati sesuatu. Budaya latar hari-hari ini, sangat mempengaruhi bagaimana cara masyarakat menikmati sesuatu.

Budaya latar ini termanifestasi atau mengambil bentuk dalam apa yang kita kenal dengan media sosial.

 Aplikasi media sosial dalam gawai atau ponsel kita terhubung dengan budaya latar ini. Kita kenal dan selalu akrab menggunakan media sosial berupa facebook, whatsapp, instagram, twitter.

Melalui aplikasi media sosial ini cara menikmati menjadi terbatas. Kesan umum yaitu segala sesuatu yang ada di sekitar menjadi bias logika budaya latar ala aplikasi media sosial.

Pariwisata kemudian digenjot berdasarkan logika budaya latar yang berkembang ini. Puncaknya kesuksesan dilihat dengan segala sesuatu yang bernafaskan viral atau tidak viralnya suatu hal yang diwacanakan di media sosial.

Pertanyaan lain yaitu bagaimana dengan Danau Toba sebagai salah satu ikon #wonderful Indonesia ini?

Pada 15 Juli 2019, atau 8 bulan sebelum Pandemi menghantam Indonesia, Danau Toba telah ditetapkan dalam rapat terbatas kabinet sebagai salah satu dari 5 Destinasi Super Prioritas (DSP) dengan alokasi anggaran sebesar 1,07 Triliun.

Tujuannya untuk membangun fasilitas agar wisatawan yang berkunjung dapat menikmati kekayaan alam Indonesia dan serentak nyaman. Tujuan terbesar yaitu sebagai  pemasok devisa bagi negara.

Konsep yang selalu diusung yaitu soal kenyamanan wisatawan. Ada semacam wacana tunggal tentang menyamankan wisatawan senyaman mungkin dan pada saat yang sama mengabaikan masyarakat setempat sebagai pelaku pariwisata.

Hal ini tentu saja menjadi pelajaran berharga bagi pariwisata di Indonesia saat pandemi Covid-19 muncul. Bali sebagai role-mode pariwisata Indonesia merasakan dampak terbesarnya.

Kenyamanan para wisatawan yang datang lalu pergi berimbas pada penghasilan para pelaku pariwisata, terutama warga lokal.

 Saat sebelum pandemi masyarakat merasakan betapa pariwisata membuat warga hidup dengan layak. Namun pada titik lain pariwisata menjadi jalan pintas penyebaran virus. Lalu kenyataan pahit dirasakan warga saat pariwisata mengalami kelesuan akibat pandemi.

Kehidupan yang layak dan sejahtera berkat pariwisata tiba-tiba ambruk karena keroposnya sistem yang terbangun di dalamnya.Ada semacam ketidakseimbangan dalam bangunan pariwisata kita.

 Keinginan menarik wisatawan sebanyak mungkin dengan satu sarana budaya latar, lalu mengabaikan para pelaku pariwisata. Pengalaman hantaman pandemi membuktikannya. Ketika pandemi melanda, dunia pariwisata mendapatkan dampak yang parah.

Masyarakat tidak disiapkan untuk situasi ini karena hanya ada satu wacana tunggal tentang pariwisata. Wacana tunggal itu adalah menyamankan para wisatawan.

Ketika mereka pergi karena pandemi misalnya, basis kekuatan wisata menjadi ambruk lalu para pelaku pariwisata lokal yang hidupnya bergantung sepenuhnya pada pariwisata menjadi tidak berdaya.

Pengalaman ini seharusnya dipikirkan ulang juga oleh para pemangku kekuasaan.  Dalam konteks menyikapi program pengembangan pariwisata danau Toba  misalnya dalam slogannya Toba The World of Heritage, para pemangku kekuasaan  perlu untuk memecahkan narasi tunggal pariwisata kita.

Salah satu cara terbaik adalah menghubungkan narasi pariwisata ala pemerintah dan kebutuhan kultur masyarakat setempat. Contohnya dalam konteks Destinasi Super Prioritas (DSP) Danau Toba adalah berdialog dengan kebutuhan dan pemahaman masyarakat akar rumput yaitu warga lokal di sekitar area DSP ini.

 Kesan kuat lain yang muncul yaitu narasi pariwisata yang berkembang berasal dari para intelektual di tubuh pemerintah dan sudah berjarak dengan  masyarakat akar rumput.

Pariwisata yang dikelola akhirnya bersifat satu arah yaitu mengikuti trend pariwisata kebanyakan. Ada semacam kebiasaan menikmati pariwisata dari satu sudut pandang saja. Misalnya menggenjot sepuluh Bali baru, padahal jelas bahwa karakteristik pariwisata satu daerah sangat berbeda dengan karakteristik daerah lain.

Hasil yang muncul dari cara menikmati dalam satu kaca mata tunggal ini adalah bias keseragaman. Sebagai contoh misalnya pariwisata hanya soal memindahkan rasa dan corak wilayah tertentu ke wilayah lain.

Contoh pembandingnya adalah pembangunan infrastruktur yang muncul dalam pembangunan daerah DSP di Labuan Bajo, Flores, NTT. Salah satu wujudnya seperti munculnya hotel bergaya Yunani di Labuan Bajo dengan corak khas bangunan di daerah Santorini Yunani.

Hal ini mengakibatkan dialog dengan masyarakat menjadi semakin berjarak karena pariwisata diandaikan hanya sebatas melayani kepentingan pelancong demi menggenjot devisa. Apabila hal ini terus dipertahankan maka pariwisata kita sesungguhnya tidak pernah belajar dari pengalaman pahit yang baru saja terjadi akibat pandemi.

Sebagai pembanding bagaimana melihat keseimbangan antara  kebutuhan masyarakat lokal terhadap pariwisata dan wacana pariwisata oleh pemerintah ada sebuah contoh menarik di daerah Timor, NTT.

Sebuah daerah di salah satu kabupatennya yaitu Timor Tengah Selatan (TTS) atau tepatnya 136 km dari Kupang, ibu kota Provinsi hadir seorang Dicky Senda.

Dicky Senda (Doc. ubudwritesfestival.com)
Dicky Senda (Doc. ubudwritesfestival.com)

Dicky merupakan organisator dan pencetus komunitas Lakoat Kujawas di daerah Mollo. Pada awalnya ia membuka awal kerjanya melalui kerja pengarsipan tentang daerahnya.

Sebagai warga lokal juga orang muda yang gelisah, ia memulai kerja pengarsipan untuk memetakan tentang daerah kecilnya.

Ia membangun kerjasama warga lokal untuk mendata hal-hal unik tentang daerahnya, mulai dari makanan khas yang terhubung dengan basis kekayaan bahasa, cerita mitologi untuk identifikasi diri, mengeksplor rumah adat sebagai basis pengetahuan dan menghubungkan tradisi lisan yang hampir punah untuk mengusung satu ekosistem kerjasama dengan tujuan penguatan keragaman pengetahuan dan kebudayaan.

Semuanya ini sekaligus membantu memetakan kelemahan dan potensi alam dan masyarakat sekaligus membangun basis ketahanan dan ekonomi masyarakat di sana.

Hasilnya ada harapan saat sebelum pandemi. Pariwisata dengan basis kekuatan  identitas warga yang unik dan menarik terbentuk.

Ada tracking mendaki lereng gunung Mutis, mengenal kebudayaan masyarakat setempat dan lain sebagainya. Namun ketika pandemi menghantam daerah itu, masyarakat sudah memiliki basis ketahanan hidup karena tata kelola tidak melulu soal pariwisata tapi juga menyasar ketahanan pangan.

Masyarakat punya banyak pilihan saat pariwisata terhenti akibat pandemi karena ketahanan pangan telah dipersiapkan secara matang.

Pemerintah perlu mengidentifikasi para intelektual organik seperti Dicky Senda yang tumbuh di masyarakat dan telah menyatu di sana.

Dialog seperti ini sangat diperlukan antara para intelektual pemerintah dan intelektual masyarakat agar sinergitas terjaga.

Diharapkan setelah pemetaan yang baik dan dialog yang seimbang antara kedua corak intelektual ini, basis pariwisata menjadi lebih kuat dan seimbang.

Kita ingin para wisatawan datang mengunjungi sekaligus menambah devisa negara, seperti dalam program Mice di Indonesia (Meeting, Incentive travel, Convention and Exhibition)  namun perlu dipikirkan corak keadilan pariwisata bagi kenyamanan warga lokal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun