Mohon tunggu...
Johan Arifin
Johan Arifin Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Negeri Sipil pada Kantor Kementerian Agama Kab. Kapuas

Sejenak aku kisahkan tentang diriku padamu, agar kau tau siapa aku, bagaimana hidupku, karena kau tak akan pernah bertanya bagaimana rasanya menjadi aku.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cermin yang Terbelah

8 Maret 2013   15:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:06 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

setiap sore selepas salat asar, aku dibonceng ayah dengan sepeda ontel tuanya. Kaki kekarnya mengayuh dengan kuat sehingga otot-otot kaki nampak begitu padat, dan urat-urat kaki pun ikut tertarik kencang, kreeekkkkk.......... kreeekkkkk...... kreeekkkkk...... suara bulatan logam pipih bergerigi, tempat berpautnya rantai yang terlihat tumpul dan karatan adalah satu-satunya irama yang menghiasiperjalanan kami meskipun sudah ditetesi oleh ayah dengan minyak goreng yang dibuat Ayah sendiri dari buah kelapa, kata Ayah minyak kelapa sebagai alternatif kalau tidak punya oli. Kadang-kadang kakinya turun untuk menahan keseimbangan, maklumlah jalan yang ditempuh begitu sempit, banyak akar-akar pohon karet yang merambat menyeberang dan menghalangi jalan, selain itu di kiri dan kanan jalan dipenuhi dengan semak belukar, ditambah jalannya yang berkelok-kelok dan naik turun.

Perjalanan kami kali ini tidak sia-sia, wow.... banyak sekali ikan yang masuk dalam lukah1), tanpa ragu-ragu Ayah bercebur ke ceruk yang penuh dengan lumpur dan rumput air, byurrrr......kemudian mengangkatlukah yang dipenuhi berbagai macam jenis ikan, ada ikan papuyu, haruan, sepat siam, dan pentet. “Ayah...banyaknya pang kita dapat iwak hari ini, iwaknya ganal-ganal !” (Ayah...hari ini banyak sekalikita mendapatan ikan, ikannya besar-besar ! ) akupun kegirangan, kubuka gintingan purun2) dan kumasukkan ikan-ikan itu kedalamnya. “hmm....ikan-ikan ini akan menjadi hadiah istemewa buat ibu”

Setiap pulang dari sekolah, aku menyusul Ayah dan Ibu di sawah, dengan gaya khasnya ayah mengayunkan tajak 3) hingga rumput yang menyelimuti sawah sedikit demi sedikit tersingkirkan, sesekali Ayah berhenti dan menyapu keringatnya, nampak jelas sekali guratan-guratan diwajahnya sebagai lukisan luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu ke waktu.

Satu persatu peristiwa kehidupan bersama ayah hanya menjadi sebuah adeganpendek yang perlahan-lahanburam dan mulai menjadi bayangan seiring dengan perjalanan ayah ke kehidupan tanpa batas. Aku mengawali hidup tanparoh kehidupan yang semakin pupus dan memudar.

Dangau cantik ditengah-tengah sawah yang dibangun sebelum kepergian Ayah menjadi tempat untuk berteduh dari titik-titik air yang berjatuhan dan teriknya cahaya yang menyapa bulir-bulir padi yang mulai menguning, tidak lupa radio mungil bermerek Nasionalselalu kusandangkan di bahusebagai teman saatmengawasi padiku kalau-kalau ada burung pipityang mencuri buahnya, sesekali kuputar tombol radio untuk menempatkan posisi jarum pada frekwensi yang tepat agar alunan lagu-lagu slow rock yang menjadi pavoritku terdengar dengan jelas. Tiba-tiba gerombolan burung pipit datang seperti kelambu mendarat dan bertengger ditangkai-tangkai buah padi, woooy..... teriakku, kutarik tali tangkaruat 4) , brakkk...brakkk.....brakkk.... burung pipit pun kaget dan berhamburan terbang ke angkasa.

Malam ini terasa begitu hening, jangkrik-jangkrik pun terdiam, sesekali suara burung hantu terdengar dari kejauhan, disela-sela cahaya lampu semprong yang redup karena mulai kehabisan minyak, kutatap wajah Ibu yang terlihat keruh “Ibu, aku ingin merantau”, kulihat matanya mulai basah dan meneteskan butiran bening, beliau mengangguk sambil tersenyum, walaupun aku tau diwajah Ibu ada kesedihan yang mendalam, kugenggam kedua tangan Ibu, “Ibu....mohon doa restu”, Ibu menganggukmengiyakan keinginanku.

Kutinggalkan kampung halamanku, dan semua yang berhubungan dengan tanah kelahiranku, yang lebih menyedihkan aku harus meninggalkan Ibu, dan aku mencoba untuk memulai hidup baru.

Dua puluh tahun setelah kembali dari perantauan, aku menjumpai ibu yang sudah renta duduk di dipan yang terletak di pojok kamar, cahaya matahari menyususup menyelinap dari sela-sela dinding palupuh5) yang penuh cendawan, tubuhnya sudah tak berdaging, rambutnya pun sudah menjadi putih, sarung lusuh itu masih di badan beliau, di sampingnya kulihat mukenaIbu yang sudah berubah warna dan dipenuhi bintik-bintik hitam, rupaya Ibu tidak pernah lupa shalat dan berdoa. Mataku tertuju pada sebuah poto yang menempel di sela-sela retakan kaca pintu lemari, bentuknya sudah tidak utuh lagi, untuk tetap berdiri terpaksa salah satu kakinya harus diganjal dengan kertas kardus karena patah. Kupeluk Ibu erat-erat dan kuperkenalkan anak dan isteriku.

Kupandangi potret Ayah yang nampak usang dan berdebu, aku mencoba untuk merangkai kembali potret waktu saat bersamanya. Kulihat sepeda tua itu masih bersandar di dinding gudang yang sudah lapuk dan akan roboh, nampak usang dan terlihat lapisan-lapisan merah kekuningan yang melekat karena tidak terawat.

Kuambil minyak kelapa dan ku oleskan kebagian-bagian sepeda yang berkarat, kupanggil anakku dan kubonceng menapaki jalan-jalan yang pernah kulalui semasa kanak-kanak dulu. Kutarik nafas dalam-dalam, akupun bergumam “ternyata seperti inilah perasaan Ayahku waktu dulu”

Kesempatan ini kuajak Ibu untuk melaksanakan ibadah umrah sebagai hadiah pengorbanan beliau, di depan pintu Ka’bah aku bersujud di kaki ibu untuk meminta maaf, “Ibu..... aku berjanji akan merawat dan menjaga Ibu sampai aku mati” sambil terisak ibu tersenyum dan mengangguk, kulihat di matanya nampak begitu cerah dan di wajahnya nampak kebahagiaan yang tak bisa terlukiskan.

Hari-hari berlalu begitu cepat dalam kehidupan ini, adakalanya hari ini lebih indah dibandingkan hari-hari kemarin, masa lalu adalah sejarah dan itu adalah momen yang tak mungkin terlupakan. “Ayah...walaupun engkau telah tiada, namun kenanganmu tak akan pernah pudar, Ayah..... akan kukenang kau dalam doaku”

Glosarium :


  1. Lukah : lukah adalah alat untuk menjebak ikan yang terbuat dari bambu berasal dari Kalimantan Selatan, tepatnya di Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
  2. gintingan purun: tas yang terbuat dari rumput purun berasal dari Kalimantan Selatan, tepatnya di Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
  3. tajak : cangkul berbentuk lengkung panjang bertangkai lurus untuk membersihka rumput sawah, dan sebagainya. Berasaldari Kalimantan Selatan, tepatnya di Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
  4. tangkaruat: sebuatan alat untuk mengusir burung pipit, terbuat dari bambu yang diletakkan ditengah-tengah sawah diantara padi yang sudah hampir masak, kemudian diberi tali dan dihubungkan ke dangau, asalnya dari Kalimantan Selatan, tepatnya di Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
  5. Palupuh : istilah orang Kalimantan Selatan tepatnya di Kabupaten Hulu Sungai Selatan menyebut dinding yang terbuat dari bambu yang dibelah-belah dan dianyam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun