Paus Leo pada Audience Yubilium: 'Berharap berarti Memilih' pada hari Sabtu, awal Oktober di lapangan Santo Petrus, Vatican.
Pada tahun ini kita harus memilih siapa yang kita layani: Keadilan atau ketidakadilan ? Bahwa "dunia berubah, jika kita berubah: dan bagi yang menolak untuk memilih jatuh kedalam keputusasaan.
Paus Leo mencatat bahwa "wacana-Nya tentang kemiskinan tampak absurd bagi mereka. Lebih tepatnya, mereka merasa terdampak secara pribadi karena keterikatan mereka pada uang."
Paus menjelaskan bahwa harapan sejati tidak dapat dipisahkan dari keputusan pribadi.
"Berharap berarti memilih," ujarnya, seraya menunjukkan dua aspek kunci: pertama, bahwa "dunia berubah jika kita berubah," dan kedua, bahwa mereka yang menolak untuk memilih berisiko jatuh ke dalam keputusasaan.
"Salah satu konsekuensi paling umum dari kesedihan rohani yaitu, "acedia" adalah tidak memilih apa pun," beliau memperingatkan. Orang yang mengalaminya dicengkeram oleh kemalasan batin yang lebih buruk daripada kematian. Di sisi lain, "berharap berarti memilih."
Hannah Arendt, pemikir politik, menekankan tema-tema kritis seperti ballanalitas kejahatan ("kebanyakan kejahatan dilakukan oleh orang-orang yang tidak pernah memutuskan untuk menjadi baik atau jahat"), sifat destruktif birokrasi dan pemerintahan totaliter ("pemerintahan oleh tak seorang pun bukanlah tanpa pemerintahan, dan di mana semua orang sama-sama tidak berdaya, kita memiliki tirani tanpa tiran"), pentingnya kebebasan berbicara dan kebenaran dalam masyarakat yang berfungsi, serta kekuatan agensi dan pikiran manusia ("Dalam kondisi tirani, jauh lebih mudah bertindak daripada berpikir").
"Karena kebutuhan untuk berpikir tidak akan pernah dapat diredakan oleh wawasan yang konon pasti dari "orang bijak"; kebutuhan untuk berpikir hanya dapat dipenuhi melalui berpikir".
Kesenjangan Amerika
Senator Sanders, Â ungkap Rencana Melawan Oligarki, Kekayaan Miliarder Top Lampaui $10 Triliun.
"Jika ada saat ketika kaum progresif perlu mengomunikasikan visi kami kepada rakyat negara kami, inilah saatnya," tulis Senator Bernie Sanders. "Putus asa bukanlah pilihan."
Analisis Bloomberg tentang kekayaan miliarder yang dipublikasikan  menemukan bahwa kekayaan gabungan dari 500 orang terkaya di dunia melampaui $10 triliun tahun ini, sebuah temuan yang muncul tak lama setelah Senator AS Bernie Sanders  mengeluarkan seruan mendesak untuk bertindak guna mencegah munculnya "masyarakat yang oligarki dan otoriter."
Analisis baru mencatat bahwa 500 miliarder teratas dunia "menjadi jauh lebih kaya" tahun ini dengan bantuan "kenaikan saham teknologi AS yang tak tergoyahkan."
Hanya delapan miliarder---Elon Musk, Mark Zuckerberg, Jensen Huang, Larry Ellison, Jeff Bezos, Michael Dell, Larry Page, dan Sergey Brin---yang menambahkan lebih dari $600 miliar ke kekayaan kolektif mereka pada tahun 2024 dan menyumbang 43% dari peningkatan kekayaan bersih sebesar $1,5 triliun di antara 500 orang terkaya di dunia, menurut Bloomberg .
Â
Dan kesenjangan kekayaan di AS mungkin akan segera memburuk, karena Trump dan Kongres yang dikuasai Partai Republik akan segera mengupayakan putaran pemotongan pajak lainnya untuk orang-orang superkaya dan perusahaan besar.
"Mereka tidak percaya pada demokrasi---hak rakyat biasa untuk mengendalikan masa depan mereka sendiri. Mereka sangat percaya bahwa orang kaya dan berkuasa harus menentukan masa depan."
Dalam surel kepada para pendukungnya  Sanders menyebut pergeseran cepat menuju oligarki di AS sebagai "isu yang menentukan zaman kita," dan memperingatkan bahwa para miliarder semakin mendominasi tidak hanya "kehidupan ekonomi kita, tetapi juga informasi yang kita konsumsi dan politik kita."
"Sebuah perwujudan dari momen saat ini adalah kebangkitan Elon Musk , dan semua yang diperjuangkannya," tulis Sanders, menunjuk pada pengaruh besar Musk pada pemilu 2024 dan peran utamanya dalam membentuk Kabinet Trump yang didominasi miliarder .
Â
Kaum progresif, tulis Sanders, memiliki "visi yang sangat berbeda," yaitu visi yang memprioritaskan "sistem ekonomi yang berdasarkan pada prinsip-prinsip keadilan," "demokrasi yang hidup berdasarkan satu orang, satu suara," dan menjadikan "perawatan kesehatan sebagai hak asasi manusia."
"Meskipun kita tidak akan berhasil mencapai visi itu dalam waktu dekat dengan Trump sebagai presiden dan Partai Republik yang mengendalikan Kongres, penting untuk mempertahankan visi itu dan kita terus memperjuangkannya," tulis Sanders.
Sejak kemenangan Trump dalam pemilu 2024, Sanders telah berfokus secara besar pada kebutuhan untuk mengorganisasikan kelas pekerja guna memerangi ancaman yang ditimbulkan oleh Musk dan miliarder sayap kanan lainnya yang telah mengumpulkan kekayaan dan kekuasaan politik yang luar biasa.
"Apakah upaya ini akan mudah?" tanya Sanders. "Tidak, tentu saja tidak. Bisakah itu dilakukan? Kita tidak punya pilihan. Jika ada saat ketika kaum progresif perlu mengomunikasikan visi kita kepada rakyat negara kita, inilah saatnya.
Putus asa bukanlah pilihan. Kita berjuang bukan hanya untuk diri kita sendiri. Kita berjuang untuk anak-anak kita dan generasi mendatang, dan untuk kesejahteraan planet ini."
Pada tanggal 20 Januari 2025 dimulai. Balas dendam politik. Deportasi massal. Proyek 2025. Korupsi yang tak terduga. Serangan terhadap Jaminan Sosial, Medicare, dan Medicaid. Pengampunan bagi para pemberontak. Serangan habis-habisan terhadap demokrasi.
Usulan Michael Sandel, seorang filsuf Politik, dalam bukunya Justice, Â adalah bahwa kita harus terlibat secara publik dan politis dalam diskusi moral yang tepat tentang apa yang baik bagi suatu masyarakat, lalu mulai menerapkan kebijakan-kebijakan yang akan menghasilkan kebaikan dan rasa solidaritas dalam masyarakat. Itulah cara mencapai keadilan.
Melawan Kesenjangan Global
Visi reformasi tata kelola global yang digaungkan Presiden Tiongkok Xi Jinping disambut baik oleh negara-negara yang jenuh dengan dominasi Barat. Namun, apakah retorika Xi ini akan terwujud?
Di tengah lanskap geopolitik yang diguncang rivalitas kekuatan besar yang kian sengit dan aliansi yang mulai retak, Presiden Tiongkok Xi Jinping menyampaikan visi mengenai reformasi tata kelola global. Menurut para analis, ini adalah ambisi paling terang dari Tiongkok dalam memimpin pembentukan tatanan dunia baru.
Melalui Inisiatif Tata Kelola Global (Global Governance Initiative/GGI), Xi mengajak negara-negara untuk bekerja sama membentuk sistem tata kelola global yang lebih adil dan setara.
Para analis mengatakan, visi GGI adalah pengejawantahan dari gagasan-gagasan yang disampaikan Xi di berbagai ajang internasional berskala besar. Tiongkok ingin menyatukan gagasan-gagasan itu di bawah satu payung.
Xi mengajukan inisiatif itu pada KTT Organisasi Kerja Sama Shanghai (Shanghai Cooperation Organization/SCO) di Tianjin pekan lalu. Pada acara tersebut, Xi menyebut gejolak geopolitik saat ini serupa dengan kekacauan pascaperang 80 tahun lalu yang akhirnya melahirkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
"China berupaya menata ulang sistem internasional dan membangun tatanan multilateral di mana Amerika Serikat hanya menjadi salah satu dari banyak pusat kekuatan," ujar Zachary Abuza, akademisi yang meneliti geopolitik dan keamanan Asia.
"Namun dorongan itu tidak hanya lahir dari kekuatan, melainkan juga dari kelemahan dalam negeri --- mulai dari perlambatan ekonomi hingga masalah demografi," tambahnya.
Reformasi Global Baru
Xi secara resmi memperkenalkan GGI dalam pidatonya pada KTT SCO pada tanggal 1 September lalu di hadapan para kepala negara anggota, mitra dialog, dan pengamat.
"Sejarah menunjukkan, semakin berat tantangan yang kita hadapi, semakin penting bagi kita untuk berpegang pada prinsip hidup berdampingan secara damai, memperteguh keyakinan pada pentingnya kerja sama, dan mencapai hasil yang saling menguntungkan," ujar Xi.
"Oleh karena itu, saya menyetujui Inisiatif Tata Kelola Global untuk bekerja bersama seluruh negara dalam membangun sistem tata kelola yang lebih adil dan rasional, serta mendorong terwujudnya masa depan bersama bagi seluruh umat manusia."
"China tengah memosisikan dirinya sebagai pembela perdamaian sekaligus aktor utama dalam membentuk tatanan baru yang ditawarkannya," kata Dylan Loh, asisten profesor kebijakan publik dan urusan global di Nanyang Technological University (NTU) Singapura, kepada CNA.
Jonathan Ping, lektor kepala di Bond University, mencermati ambisi yang terkandung dalam pernyataan Xi.
Abuza menambahkan, Tiongkok melihat perubahan kondisi global saat ini bisa menguntungkan mereka, khususnya ketika Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump justru menafsirkan tatanan internasional.
Sejak kembali menjabat pada bulan Januari, Trump telah mengambil keputusan secara unilateral, di antaranya mengenakan tarif dagang besar-besaran baik pada sekutu maupun saingannya, serta menarik diri dari sejumlah perusahaan multilateral penting.
Di bawah Trump, AS kembali menarik diri dari Perjanjian Paris tentang iklim dan rencana keluar dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sekaligus menangguhkan sebagian bantuan besar luar negeri, termasuk program yang dijalankan melalui USAID.
Washington juga mengumumkan rencana penghentian pendanaan bagi keamanan Eropa, seperti Baltic Security Initiative --- langkah yang memicu kekhawatiran di antara negara-negara anggota NATO serta membuat banyak negara menganalisis konsistensi jangka panjang Amerika dalam memimpin kerja sama multilateral.
"Xi berusaha menyamakan kekacauan pasca-Perang Dunia II dengan situasi kacau saat ini, yang secara tersirat ia tuduhkan ke Amerika Serikat," kata Abuza.
Pemimpin Tiongkok itu menegaskan negaranya tetap berkomitmen pada jalur pembangunan damai.
Namun, Abuza menilai bahwa Beijing tidak mengejar hegemoni global, melainkan menginginkan tatanan di mana Washington hanyalah "salah satu kutub di antara banyak lainnya," karena beban kepemimpinan global dan menciptakan keuntungan bersama tidak mudah dilakukan oleh Tiongkok.
Tiongkok, kata dia, mendorong sistem multilateral di mana Beijing bersama negara berkembang yang tengah bangkit dapat menandingi dominasi AS.
"Dari sudut pandang Tiongkok, era pasca-Perang Dunia II dibentuk oleh negara-negara seperti Prancis dan Inggris yang sebenarnya tidak memiliki kekuatan sebesar klaim mereka," ujar Abuza.
China yang sejak lama menampilkan dirinya sebagai pihak yang diuntungkan dari tatanan pascaperang, kerap menekankan statusnya sebagai anggota pendiri PBB sekaligus anggota tetap Dewan Keamanan.
Ping dari Bond University menilai, inisiatif ini merupakan upaya rebranding strategis yang menegaskan dorongan jangka panjang Tiongkok untuk membangun tatanan multipolar yang berlandaskan nilai-nilai non-Barat.
Secara umum, inisiatif pembangunan fokus pada upaya mengurangi kesenjangan global melalui pembangunan; inisiasi keamanan penciptaan keamanan melalui dialog, bukan aliansi militer; sedangkan peradaban pentingnya keberagaman budaya sebagai tandingan universalisme ala Barat.
Pada saat yang sama, para pengamat menilai lima prinsip utama GGI memberikan cetak biru yang lebih jelas tentang visi Tiongkok.
Prinsip-prinsip itu adalah kesetaraan penghormatan, penghormatan terhadap hukum internasional, multilateralisme, menempatkan rakyat sebagai prioritas, dan pendekatan berbasis aksi.
GGI "menawarkan sesuatu yang mirip peta jalan kecil" tentang seperti apa wujud tatanan baru, kata Loh dari NTU, seraya menambahkan bahwa nilai inisiatif ini terletak pada upayanya menyatukan berbagai benang kebijakan luar negeri Tiongkok ke dalam satu paket yang satu kesatuan.
Naskah konsep resmi GGI yang dirilis tak lama setelah pidato Xi pada 1 September menegaskan bahwa Beijing tidak menandakan perubahan total tatanan dunia saat ini, melainkan "reformasi" untuk mengatasi apa yang dianggapnya sebagai ketimpangan.
Abuza menjelaskan, menurut versi China, GGI tidak dimaksudkan untuk mengganti sistem PBB, melainkan memperkuatnya dengan memberi porsi lebih besar bagi negara-negara berkembang dalam hal representasi dan kewenangan dalam aturan pembuatan.
Ia menilai inisiatif ini mempunyai dampak yang lebih besar dibandingkan berbagai inisiatif sebelumnya, yang "tidak banyak menghasilkan hasil" dan sering ditujukan kepada audiens di dalam negeri.
Kali ini, fokus pada reformasi tata kelola global mungkin lebih berkembang secara internasional, karena banyak negara berkembang juga mendorong perubahan, tambah Abuza.
"Pembentukan sistem multilateral dan posisi kepemimpinan bagi negara-negara kunci di Global South merupakan prioritas bersama," katanya, mencontohkan tuntutan lama India untuk reformasi Dewan Keamanan PBB sebagai salah satu kepentingan yang beririsan.
Para analis berpendapat bahwa GGI lebih menitikberatkan pada momentum dan strategi daripada menghadirkan ide-ide baru. Dengan membungkus ide-ide sebelumnya dalam kerangka yang lebih terstruktur, Beijing berupaya menegaskan citranya sebagai pembaharu tatanan internasional sekaligus juru bicara Global South.
Retorika atau Realitas
Yang belum ditawarkan inisiatif ini, menurut para analis, adalah gambaran jelas bagaimana Tiongkok akan mewujudkan teori dan prinsip menjadi praktik nyata.
Meski Xi telah memaparkan tema-tema besar seperti kesetaraan dan multilateralisme, ia nyaris tidak memberikan rincian mengenai mekanisme atau sumber daya yang siap dikucurkan Beijing, kata mereka.
Analis menambahkan, kesenjangan antara retorika dan realitas paling tampak dari bagaimana pesan Beijing diterima di Global South.
Istilah Global South merujuk pada negara-negara berkembang yang lebih miskin, memiliki kemiskinan lebih besar, dan harapan hidup lebih rendah dibandingkan negara maju.
Para analis menilai sebagian besar bahasa yang digunakan Xi saat meluncurkan GGI memang ditujukan pada negara-negara berkembang, dengan penekanan berulang pada kesetaraan terhadap kesetaraan, kepatuhan terhadap hukum internasional, serta penolakan terhadap "standar ganda."
Mereka mencatat, Xi berupaya menampilkan Beijing sebagai pembela keadilan bagi negara-negara yang merasa terpinggirkan dalam sistem yang0 didominasi Barat.
Namun Ping dari Universitas Bond menekankan, meskipun pesan China diterima baik oleh negara-negara yang mencari alternatif sistem dominasi Barat, sebagian pihak mungkin menilainya sebagai langkah yang lebih mementingkan diri sendiri, di tengah kekhawatiran atas pengaruh Beijing yang terus meluas.
Loh dari NTU menyoroti keragaman negara-negara Global South, yang masing-masing memiliki sejarah dan kepentingan yang berbeda.
"Istilah ini sendiri masih diperdebatkan dan terbuka untuk diperdebatkan, dan peran kepemimpinan Tiongkok yang diproyeksikan Xi juga akan disikapi secara berbeda oleh setiap negara, meskipun saya pikir mayoritas Global South cukup nyaman dengan kepemimpinan Tiongkok," ujarnya.
Meski begitu, Tiongkok juga memiliki sikap yang kontradiktif dengan apa yang mereka anggap melalui GGI ini.
Abuza, seorang akademisi yang menekuni geopolitik dan keamanan Asia, menyebut cukup ironis bahwa ancaman Tiongkok terhadap hukum internasional, padahal Beijing sendiri kedekatan dengan Moskow dan menolak putusan mahkamah internasional terkait Laut Tiongkok Selatan.
Sikap ini menempatkan Beijing berseberangan dengan sejumlah negara Asia Tenggara --- terutama Filipina, yang berulang kali menuduh kapal-kapal Tiongkok melakukan intimidasi dan pelanggaran di perairannya. Tiongkok membantah tuduhan tersebut.
Kondisi di negeri China juga semakin sulit dalam upaya mereka memimpin tatanan global, tambah Abuza.
"Meski Beijing selalu berusaha menampilkan kekuatan, Xi harus menghadapi lemahnya perekonomian, menurunnya konsumsi domestik, meningkatnya arus keluar modal, tantangan demografi yang serius, serta politik yang tertutup tanpa mekanisme transisi yang jelasnya."
"Saya kira kebijakan luar negeri Tiongkok lebih banyak dilakukan karena kelemahan dibandingkan kekuatan," ujar Abuza.
Sebuah peluang yang terbatas
Keputusan Xi menempatkan GGI di bawah SCO menegaskan pandangan Beijing bahwa blok tersebut bisa menjadi sarana untuk memperkuat pesannya, menurut para analis.
Namun, para analis mencatat bahwa semakin besarnya keanggotaan membuat SCO semakin heterogen, dengan tumpang tindih persaingan dan kepentingan.
"Beijing memandang SCO sebagai wadah untuk mengekspor visinya tentang tata kelola hingga melampaui Eurasia,namun memiliki bobot simbolis, kapasitas SCO untuk memimpin reformasi tata kelola global masih dibatasi oleh fragmentasi internal dan skeptisisme eksternal," ujar Ping dari Bond University.
Ia menambahkan, hambatan praktis SCO mencakup keragaman anggotanya, perbedaan sistem politik, serta keterbatasan kapasitas institusional.
"Sebagian anggota bisa jadi enggan mengikuti model China lebih jauh, dan justru memilih sikap netral atau menjaga keseimbangan hubungan dengan kekuatan lain."
Pada akhirnya, ujar Abuza, jangkauan SCO masih terbatas karena hanya beranggotakan 10 negara. Kini lebih dari 100 negara anggota.
Abuza mencatat Beijing sejak lama berusaha membangun lembaga di luar tatanan pasca-Perang Dunia II. Misalnya, Tiongkok membangun Asian Infrastructure Investment Bank yang dijalankan paralel dengan Bank Dunia dan IMF.
Suara Pejuang Keadilan
Menurut Aristoteles yang mengatakan bahwa keadilan adalah tindakan yang terletak diantara memberikan terlalu banyak dan sedikit yang dapat diartikan memberikan sesuatu kepada setiap orang sesuai dengan apa yang menjadi haknya.
Kutipan Desmond Tutu menekankan "Ubuntu" (kemanusiaan melalui orang lain), dengan frasa seperti "Seseorang menjadi manusia melalui orang lain" dan "Saya ada karena orang lain ada".
Ia memperjuangkan keadilan di atas perdamaian semata, dengan pernyataan terkenalnya, "Tidak ada perdamaian karena tidak ada keadilan", dan menganjurkan keberanian, kasih sayang, dan pengampunan sebagai jalan menuju penyembuhan dan koneksi.
"Seseorang menjadi manusia melalui orang lain. Saya ada karena orang lain ada".
"Kemanusiaan saya terikat dalam kemanusiaan Anda, karena kita hanya bisa menjadi manusia bersama".
"Kita diciptakan untuk kebaikan, cinta, dan kasih sayang. Hidup kita diubahkan sama seperti dunia ketika kita hidup dengan kebenaran ini".
Uskup Agung Desmond Tutu berkata, "Jika Anda bersikap netral dalam situasi ketidakadilan, berarti Anda telah memilih pihak penindas." Bicarakan tentang komitmen Anda terhadap keadilan.
Dari Dua Tuan.
Amerika adalah Tuan Besar Tua.Yang memiliki kekuatan sebagai lokokomotif ekonomi dunia dan kekuatan militer yang memiliki ribuan pangkalan untuk mendaratkan nuklir armada perang Kapal Induknya. Sebuah peta besar.
Tiongkok adalah Tuan Muda Kecil. Sebuah negara raksasa yang bangun dari tidurnya. Bekerja keras selama tiga dekade membangun ekonomi dan angkatan perangnya.Dia adalah The new Kids On The Block. Berusaha membuka peta jalan kecil melalui  "Inisiatif Shanghai hingga blok baru Brics."
Dunia  berubah jika kita berubah. Sebuah Semangat untuk membangun dunia yang besar jurang kesenjangannya. "Berharap berarti memilih."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI