Loh dari NTU menyoroti keragaman negara-negara Global South, yang masing-masing memiliki sejarah dan kepentingan yang berbeda.
"Istilah ini sendiri masih diperdebatkan dan terbuka untuk diperdebatkan, dan peran kepemimpinan Tiongkok yang diproyeksikan Xi juga akan disikapi secara berbeda oleh setiap negara, meskipun saya pikir mayoritas Global South cukup nyaman dengan kepemimpinan Tiongkok," ujarnya.
Meski begitu, Tiongkok juga memiliki sikap yang kontradiktif dengan apa yang mereka anggap melalui GGI ini.
Abuza, seorang akademisi yang menekuni geopolitik dan keamanan Asia, menyebut cukup ironis bahwa ancaman Tiongkok terhadap hukum internasional, padahal Beijing sendiri kedekatan dengan Moskow dan menolak putusan mahkamah internasional terkait Laut Tiongkok Selatan.
Sikap ini menempatkan Beijing berseberangan dengan sejumlah negara Asia Tenggara --- terutama Filipina, yang berulang kali menuduh kapal-kapal Tiongkok melakukan intimidasi dan pelanggaran di perairannya. Tiongkok membantah tuduhan tersebut.
Kondisi di negeri China juga semakin sulit dalam upaya mereka memimpin tatanan global, tambah Abuza.
"Meski Beijing selalu berusaha menampilkan kekuatan, Xi harus menghadapi lemahnya perekonomian, menurunnya konsumsi domestik, meningkatnya arus keluar modal, tantangan demografi yang serius, serta politik yang tertutup tanpa mekanisme transisi yang jelasnya."
"Saya kira kebijakan luar negeri Tiongkok lebih banyak dilakukan karena kelemahan dibandingkan kekuatan," ujar Abuza.
Sebuah peluang yang terbatas
Keputusan Xi menempatkan GGI di bawah SCO menegaskan pandangan Beijing bahwa blok tersebut bisa menjadi sarana untuk memperkuat pesannya, menurut para analis.
Namun, para analis mencatat bahwa semakin besarnya keanggotaan membuat SCO semakin heterogen, dengan tumpang tindih persaingan dan kepentingan.