Mohon tunggu...
Jihan Astriningtrias
Jihan Astriningtrias Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Jurnalistik

Suka sekali mengembara, meski hanya dalam kepala.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

[Opini] Tentang Asmara, yang (Katanya) Tidak Yogia

19 Oktober 2020   14:15 Diperbarui: 21 Juli 2021   12:07 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Bunga, yang disebut di dalam sebuah artikel opini Mojok.co, memberi alasan bahwa hijrahnya seseorang ke imajinasi fiktif seringkali dipicu oleh pengalaman buruk yang dimiliki orang tersebut dalam kisah cinta bersama manusia riil. 

Ada lagi orang-orang yang saya temui, yang masuk begitu dalam ke dunia Harry Potter---berguru di Hogwarts dan jatuh cinta pada Harry---karena merasa tak puas dengan kisah romansa mereka di dunia nyata. Mereka jadi tidak lagi percaya pada konsep keterpasangan yang harus "manusia dengan manusia". Atau mungkin percaya, namun enggan lagi menelisik lebih lanjut konsep itu, sebab mereka telah memilih jagad khayal sebagai tempat hati mereka berlabuh. Bagi mereka, boleh jadi relasi di dunia nyata terkesan lebih takhayul dibanding mitologi Yunani, lebih rumit dari novel-novel Franz Kafka, dan lebih berpotensi menyakiti dibanding tokoh dalam komik.

Kamus urban menyebut mereka sebagai pengidap Fictophilia. Memberi mereka label tersendiri, agar terkesan lebih "berbeda" dibanding orang-orang yang menghamba relasi klasik antara pria dan wanita. Bahkan terminologi telah mengasingkan mereka, menjadikan mereka keluar dari golongan manusia yogia. Padahal, mereka hanya jatuh cinta. Sama seperti Habibie yang jatuh cinta pada Ainun dan ingin senantiasa hidup bersamanya.  

Realitas melabeli fictophilia sebagai nyentrik, ekstentrik---atau yang lebih dari itu: gila. Hal ini seringkali tertutur secara implisit, dan dibungkus dalam bentuk guyon. Kalimat sejenis "Kamu ini sudah kayak orang gila" atau semacamnya sudah khatam dihafal oleh sekolompok orang yang saya temui ketika saya tergabung dalam sebuah komunitas pecinta animasi Jepang dan pecinta novel The Chronicles of Narnia dulu. Mereka akhirnya terbiasa pada label aneh. Menjadikan "gila" sebagai nama tengah mereka, lalu berpikir bahwa debaran yang mereka rasakan kepada Edmund Pevensie itu adalah sebuah dosa sosial.

Padahal sebenarnya tidak juga. Masing-masing orang pada dasarnya memiliki tipe ideal mereka sendiri. Setiap tipe ideal tersebut adalah konstruksi dari tolok ukur sempurna yang kita ciptakan dengan imajinasi sebagai sarananya. 

Kebetulan saja, saat mayoritas orang mencari dan menemukan tipe ideal mereka di bumi, ada sebagian orang lainnya yang secara tidak sengaja menemukan sosok ideal itu pada sebuah karya fiksi.

Lagipula, selayak Bonnie yang jatuh hati pada Clyde setelah pria itu mengubah pola pikir dan pola hidupnya, orang-orang yang mencintai tokoh fiksi juga mungkin jatuh cinta dengan cara yang sama. Mereka terkagum pada sudut pandang sebuah tokoh dalam dunia karangan, hingga eksistensi tokoh ini secara magis mampu mengubah pola pikir mereka dan membantu mereka menemukan sisi baru dalam melihat sesuatu. Terlebih, karya fiksi memang biasanya menawarkan sudut pandang baru dan serba mind-blowing, sebab dunia imajinasi sanggup mencakupi segala yang paling fana sekalipun. Ia lebih dari sekadar realitas yang hanya dapat dicerna indera.

Sebagai contoh, ada orang yang pada awalnya setengah mati mengutuk kelicikan dan kemurkaan, namun ia tetap jatuh cinta pada seorang Draco Malfoy---yang meskipun licik dan pemarah, ia tetap kuat, pemberani, dan mau belajar dari kesalahannya. 

Sifat Malfoy ini dapat memberi pandangan baru, bahwa tidak selamanya kelicikan dan angkara murka seburuk yang orang itu bayangkan, sebab Malfoy tidaklah demikian. Bukankah ini konsep yang sama dengan konsep jatuh cinta konvensional?

Orang-orang yang jatuh cinta pada fiksi sekalipun, memiliki definisi bahagia mereka sendiri. Akihiko Kondo, seorang pria Jepang yang mempersunting Miku Hatsune---penyanyi hologram---pada 2018 silam, telah mampu menuturkan makna bahagia dalam versinya. Di mana, baginya kebahagiaan cinta tak melulu terbatas relasi antara pria dan wanita. Ia bahagia dengan konsep cintanya yang tanpa perlu balasan dan tanpa perlu pula repot-repot menginginkan hubungan seksual. Sebuah definisi yang mungkin gagal ditemukan oleh ribuan pasangan dalam 306.688 kasus perceraian di Indonesia per Agustus 2020. Pun, Kondo berhasil lari dari patah hati pahit semacam perceraian tadi---yang lumrah dalam konsep cinta konvensional---dan justru menjalani konsep paling tulus dan paling anti-menuntut dari cinta, yaitu cinta platonis.

Lagipula, cinta itu bagaimanapun bentuknya, prakteknya akan tetap serupa. Jatuh hati pada tokoh fiksi memang muskil keterwujudannya, namun apakah cinta pada manusia selalu berhasil? Kita pernah berkaca pada kisah kasih tak sampai milik Widodo Suwardjo dan Widari Soewahyo, atau malah kisah romantika bertepuk sebelah tangan ala Jane Austen dan Thomas Lefroy---yang tidak indah seperti kisah kasih dalam karya-karya fiksi Jane Austen sendiri. Setiap bentuk cinta memiliki kemungkinan untuk berakhir tanpa penyatuan. Bedanya, orang-orang yang jatuh hati pada tokoh fiksi lebih dulu mengetahui bahwa kisah cintanya itu mustahil terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun