Mohon tunggu...
YEREMIAS JENA
YEREMIAS JENA Mohon Tunggu... Dosen - ut est scribere

Akademisi dan penulis. Dosen purna waktu di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Polisi Menembak Polisi: Ada Apakah Gerangan?

26 Juli 2019   10:39 Diperbarui: 26 Juli 2019   19:23 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Polisi menembak polisi, ada apakah gerangan? Ilustrasi Warta Kota. Sumber: wartakota.tribunnews.com

Sejak semalam dan pagi ini, 26 Juli 2019, publik dikejutkan dengan berita menghebohkan. Brigadir Rangga Tianto (32 Tahun) menembak mati rekannya sendiri, Bripka Rahmat Efendy (42 tahun) di Polsek Cimanggis. Korban ditembak sebanyak tujuh kali di bagian perut, leher, dan paha sehingga tewas di tempat.

Ada apa dengan anggota kepolisian? Mengapa aksi sebrutal ini terjadi di antara rekan penegak hukum? Apakah emosi Rangga Tianto begitu meledak dan tak tertahankan sehingga harus mengorbankan rekannya sendiri?

Pihak kepolisian sendiri belum memerinci lebih lanjut soal penyebab penembakan itu. Tetapi beberapa data dan informasi elementer dapat kita tangkap dari media massa.

Intinya, Bripka Rahmat Efendy, anggota Samsat Polda Metro Jaya diberitakan menangkap FZ, seorang pelaku tawuran dan membawanya ke Polsek Cimanggis, Depok dengan barang bukti sebilah celurit, sekitar pukul 20.30.

Tidak lama berselang, datanglah Brigadir Rangga Tianto bersama Zulkarnaen, orang tua FZ. Rangga Tianto kemudian meminta Bripka Rahmat Efendy menyerahkan FZ ke orangtuanya untuk dibina lebih lanjut. Rahmat Efendy menolak permintaan itu.

Rangga Tianto konon menjadi emosi dan kemudian menembak rekannya sendiri karena Rahmat Efendy berbicara dalam nada yang tinggi dan menolak permintaan tersebut.

Penembakan itu terjadi sekitar pukul 20.50, itu artinya hanya berselang 20 menit setelah Rangga Tianto bersitegang dengan Rahmat Efendy. Bayangkan bahwa dalam waktu sesingkat itu seorang Rangga Tianto tidak bisa menahan emosinya dan langsung menghabisi nyawa rekannya. 

Dan dia menembak secara brutal dengan sebuah pistol HS 9. Bayangkan juga bahwa seseorang berdiri di hadapan korban yang adalah manusia dan kemudian menembaknya sebanyak tujuh kali. Jangankan manusia. Melukai dan membunuh makhluk hidup saja seharusnya orang tidak tegah.

Dengan begitu, penyebabnya sudah dapat dipastikan. Brigarir Rangga Tianto adalah pribadi dengan emosi yang meledak-ledak. Dan jika dia datang bersama Zulkarnaen, pertanyaannya, apa hubungan dia dengan orang tua korban itu? Jika hanya dalam 20 menit saja Rangga Tianto sudah meledak emosinya, kemungkinan besar ada pembicaraan yang intens dengan Zulkarnaen, entah di mana. 

Dan dapat terjadi bahwa emosi Rangga Tianto diaduk-aduk karena pembicaraan itu. Apakah ada hubungan keluarga di antara mereka? Masih harus dibuktikan.

Demikianlah, emosi yang meledak-ledak dan tak terkendali telah menjadi penyebab Rangga Tianto membunuh rekannya sendiri.

Pertanyaannya, mengapa seorang anggota penegak hukum seperti polisi yang sehari-hari memegang senjata, memili emosi yang begitu buruk? Mengapa dia tidak mampu mengendalikan emosinya?

Kita hanya bisa mengira-ngira dan membangun narasi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.

Meskipun bukan bukti material hukum, narasi ini membuat kita mengerti pentingnya pengendalian emosi dalam menjalankan profesi. Dan bahwa untuk profesi-profesi tertentu, pengendalian emosi itu menjadi tuntutan mutlak.

Angka Kematian Polisi

Diberitakan TribunNews.com, sepanjang tahun 2015 terdapat 18 anggota polisi yang meninggal dunia dan 74 yang luka-luka. Korban tewas terjadi karena aksi pengeroyokan, ditembak begal, ditabrak, ditusuk, bentrokan sesama polisi, bentrok dengan TNI atau bunuh diri.

Ada 7 orang polisi yang meninggal karena bunuh diri, 4 orang yang tewas karena ditembak, 3 orang karena kecelakaan, 1 orang karena ditikam dan sisanya karena penyebab lain.

Anggota polisi yang meninggal ketika sedang melaksanakan profesinya justru memprihatinkan selama lima tahun belakangan. Dan yang membuat kita mengernyitkan dahi adalah anggota polisi yang tewas karena bunuh diri dan ditembak rekannya sendiri.

Di tahun sebelumnya (2014), jumlahnya justru lebih banyak, yakni 41 orang tewas dan 42 orang luka-luka. Sementara itu, jumlah polisi yang meninggal karena bunuh diri diperkirakan meningkat 150 persen di tahun 2016.

Meskipun jumlah bunuh diri mengalami penurunan di tahun 2017, yakni sebanyak 13 kasus, ancaman bunuh diri tetap menghantui polisi di tahun 2018 dan tahun-tahun setelahnya.

Kepala Kepolisian RI, Jenderal Tito Karnavian, menghubungkan tingginya angka bunuh diri dengan kesejahteraan anggota polisi. Argumen semacam ini membuat kita mengerti kasus anggota polisi yang bunuh diri karena terlilit utang, dan semacamnya.

Bunuh diri dan menembak atau membunuh rekan sendiri berhubungan erat dengan emosi. Seseorang yang tidak mampu mengendalikan emosinya cenderung mengambil keputusan nekad dan ekstrem seperti tindakan membunuh diri atau menembak rekannya. Masalah kesejahteraan atau alasan lainnya tetap tidak memadai untuk menjelaskan mengapa anggota kepolisian tertentu memiliki emosi yang labil.

Deteksi Akar Masalah

Pengamatan sekilas atas berbagai berita selama 4 tahun terakhir membantu kita untuk menangkap beberapa sebab kematian anggota polisi.

Pertama, beban sosial dan ekonomi, terutama tuntutan biaya hidup yang tidak sepadan dengan penghasilan. 

Faktor ini dapat diatasi dengan relatif mudah, misalnya menaikkan atau memperbaiki gaji anggota kepolisian. Perbaikan gaji yang dilakukan pemerintah belakangan ini diharapkan dapat menekan angka bunuh diri dan pembunuhan rekan sendiri.

Kedua, beban kerja yang terlalu berat.

Di kota besar, misalnya, satu orang polisi idealnya melayani 350 orang. Rasio ideal ini belum terpenuhi karena seorang polisi sekarang harus melayani lebih dari 1500 orang.

Masalah ini juga relatif mudah dilakukan, terutama dengan menambah jumlah anggota kepolisian dan secara otomatis juga menambah jumlah anggaran kepolisian.

Tetapi sekali lagi, terbatasnya anggota polisi yang berakibat pada beratnya beban kerja tidak harus menjadi alasan pembenar tindakan kejahatan dan kekerasan oleh polisi. Itu artinya ada masalah lain yang lebih serius di baliknya.

Ketiga, problem rekruitmen.

Sangat sering kepolisian mengkampanyekan rekruitmen polisi yang bebas biaya. Kampanye itu bahkan menjadi viral atau cukup dikenal di media massa online, terutama youtube, bahwa ada orang kecil dan miskin yang menjadi polisi tanpa biaya sepersen pun.

Tetapi di saat yang sama, kita juga masih mendengar adanya pungutan-pungutan tertentu dalam rekruitmen, entah dalam penerimaan awal maupun kenaikan pangkat/jabatan.

Menurut saya, ini masalah serius yang harus diperhatikan. Kepolisian adalah profesi penegak hukum yang dipersenjatai oleh negara. Mereka harus memiliki keseimbangan emosi yang sangat baik. 

Apakah seseorang memiliki keseimbangan emosi yang baik atau tidak, seperti apa dia akan mengelola emosinya ketika sedang dalam keadaan capeh, ketika sedang berada di bawah tekanan yang tinggi karena pekerjaan, dan sebagainya, dapat diprediksi dan diketahui melalui tes-tes psikologi sebelum seseorang diterima.

Tetapi sekali lagi ini mengandaikan rekruitmen, kenaikan pangkat, atau kenaikan golongan terjadi/dilakukan secara professional, tanpa didorong oleh alasan-alasan lain yang tidak professional.

Apa yang Harus Dilakukan

Dengan deskripsi ini, saya menduga bahwa penembakan Bripka Rahmat Efendy oleh Brigadir Rangga Tianto terjadi karena kegagalan pengendalian emosi.

Mungkin saja itu terjadi karena beban kerja yang terlalu berat atau karena tekanan sosial/ekonomi. Kalau pun ini benar, kegagalan pengendalian emosi tetap tidak bisa ditolerir.

Saya justru menduga bahwa Rangga Tianto memiliki perangai dan manajemen pengendalian emosi yang buruk. Dia baru berusia 32 tahun, masih sangat muda, dan kemungkinan besar belum lama menjadi anggota kepolisian.

Bagi saya, kegagalan pengendalian emosi mungkin saja dipicu oleh kegagalan rekruitmen. Dengan kata lain, Brigadir Rangga memiliki kepribadian yang tidak stabil secara emosional, dan itu melekat pada dirinya sendiri.

Seharusnya orang dengan kepribadian seperti ini tidak cocok menjadi anggota kepolisian (juga TNI dan profesi lainnya yang diperbolehkan memegang senjata api).

Anggap saja telah terjadi kesalahan rekruitmen pada diri Brigadir Rangga (kasarnya dia seorang emosional tetapi lolos seleksi), seharusnya ada mekanisme dan pembinaan terus-menerus di dalam kepolisian sendiri untuk memastikan apakah seseorang anggota berada dalam keadaan emosi yang stabil atau tidak.

Jadi, seharusnya ada semacam pemeriksaan psikologis secara berkala, mungkin 6 bulan atau 1 tahun sekali, terutama bagi anggota yang memiliki beban kerja yang berat dan langsung berhubungan dengan masyarakat.

Dua Usul

Bagaimana pun, kematian Bripka Rahmat Efendi sudah terjadi. Hukuman berat pasti harus dijatuhkan ke Brigadir Rangga Tianto. Tetapi yang lebih penting lagi adalah pertama membenahi mekanisme perekrutan untuk mendapatkan anggota kepolisian yang ideal dan professional. 

Termasuk di dalamnya adalah mendeteksi apakah seorang polisi memiliki kecenderungan psikopat atau tidak, apakah dia berafiliasi dengan gerakan radikal tertentu, dan sebagainya.

Kedua, deteksi dan tes kepribadian secara berkala wajib dilakukan, terutama terhadap anggota kepolisian yang langsung berhubungan dengan masyarakat dan yang memiliki beban kerja yang terlalu berat.

Sambil perlahan-lahan terus menambah jumlah anggota supaya mencapai angka ideal dan meningkatkan kesejahteraan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun