Siapa ? mengapa? Untuk apa? Bagimana?
Sejuta Tanya membludak di otakku. Apakah isteriku yang menularkannya? Atau aku? Lalu siapa? Selama ini aku menitip Jiayou kepada mertuaku. Apalagi isteriku tak tega ku tinggalkan sendirian. Siapa di dalam rumah yang telah mengakhibatkan puteriku terjangkit virus jahanam ini?!
"Argggh," teriakku geram
Orang dewasa saja ada yang bisa meninggal ditempat. Bagaimana dengan puteriku? Apa dia masih bisa bertahan? Berapa lama lagi? Oh Tuhan....
"aku tidak menularkannya, aku sangat menjaga puteri kita. Makanannya, minumannya, semuanya steril, aku sudah melakukan yang terbaik yang bisa aku berikan untuk melindungi buah hati kita..." Lin -- lin berusaha menjelaskan kepadaku
"LALU MENGAPA?!" aku membentak sambil meninju tembok disekitarku dengan penuh emosi.
"aku ti...tidak tahu...pah....aku...AKU TIDAK TAHU!!SEMUA INI SALAHKU, SEMUA INI SALAHKU," Lin-lin mulai menyalahkan dirinya dan menghantamkan kepalanya ke dinding papan informasi. Â
Entah mengapa akupun ikut menangis secara tiba -- tiba. Lalu kamipun berpelukan. Aku tidak peduli lagi dengan darah yang mengucur di kepalan tanganku atau di dahi isteriku, kami menyatu dalam tangis tak berujung. Lalu lama sesudah itu dengan segenap kekuatan yang tersisa kami mendekat ke ruangan tempat dimana anakku diisolasi.
Dari balik diding kaca itulah aku melihat Jiayou bergerak. Dia tersenyum dan membuka tangannya lebar -- lebar. Aku bisa merasakan betapa rindunya bayi kepada kami. Kami saling mengulurkan tangan dengan hati yang pedih.
Mengapa ? mengapa Aku tidak bisa memeluknya?
Tak terasa airmata ini lebih derasa lagi mengalir. Ada rasa sakit tak terkira yang menyerang dada ini. Hatiku seolah terbelah dua. Jantungku melambat dan kakiku mendadak keram.