Surabaya sedang sibuk berhias. Kota ini seolah tengah bersiap mengikuti kontes kecantikan perkotaan tingkat dunia, semacam Miss Universe versi tata kota. Bedanya, alih-alih gaun malam dan tata rambut elegan, yang dipoles adalah kawasan semrawut, lalu diberi bedak bernama penataan. Kali ini, panggungnya ada di Jalan Ketintang Permai, Jambangan.
Di sana terdapat 22 bangunan liar, atau dengan istilah birokrasi yang terdengar lebih diplomatis disebut bangli. Lahan kosong yang dulu penuh kehidupan ala kadarnya kini disulap menjadi bozem, waduk mini yang dipromosikan sebagai "jurus baru" Surabaya dalam mengendalikan banjir.Â
Sederhananya, yang dulu dianggap kumuh kini dipamerkan sebagai prestasi.
Dari kacamata tata kota, ini jelas pencapaian. Lahan semrawut kini berubah jadi aset rapi dengan pagar besi tegak lurus, papan nama Pemkot berkilau, dan janji-janji fungsionalitas yang terdengar modern.Â
Dari kacamata warga yang dulu mencari sesuap nasi di situ? Mereka sudah hilang dari panggung cerita. Tidak perlu masuk narasi besar. Karena ini bukan kisah mereka, melainkan kisah Surabaya yang ingin tampil "wah" di depan turis.
Kepala Dinas Sumber Daya Air dan Bina Marga, Syamsul Hariadi, mempresentasikan proyek ini dengan bahasa yang terdengar futuristik: integrasi sistem, pengendali debit air, mitigasi banjir, optimalisasi drainase. Bozem yang sejatinya hanya galian tanah dan air kini dipoles seperti produk teknologi mutakhir. Kalau boleh hiperbola: sebentar lagi mungkin dijual sebagai smart bozem 5.0.
Tapi mari kita buka lapisan bedaknya. Bozem ini sejatinya bukan hanya soal air. Ia adalah kosmetik politik. Bedak tebal yang dioleskan di wajah kota agar tampil segar di kamera drone dan brosur pariwisata. Karena setiap kali kota merapikan wajahnya, selalu ada satu tujuan; dilirik, dipuji, diunggah di Instagram turis, dan kalau beruntung masuk majalah internasional sebagai kota dengan tata kelola terbaik.
Camat Jambangan, Ahmad Yardo, ikut memberi bumbu. Ia bilang lahan ini nanti juga untuk fasilitas umum. Frasa yang terdengar mulia, tapi sering kali lentur seperti karet. Fasilitas umum bisa berarti taman selfie dengan spot foto berwarna-warni, lapangan seremonial yang ramai hanya saat pejabat datang, atau ruang terbuka yang ironisnya lebih sering dipagari ketimbang dipakai warga. .
Narasi besar yang dijual pemerintah jelas, kiranya seperti, "ini bukan penggusuran, melainkan transformasi" ucapnya. Dari kawasan kumuh jadi senjata baru untuk  melawan banjir.Â
Retorika yang apik, karena mampu menyulap kata kasar seperti "pengusiran" menjadi lebih elegan "penataan". Bangunan liar? Bukan tempat orang bernaung, melainkan noda yang akhirnya berhasil dibersihkan.