Tentu saja, warga sekitar yang masih tersisa ikut memberi komentar. Ada yang senang dan berharap banjir dapat berkurang. Tetapi, bagaimana dengan suara mereka yang kehilangan tempat tinggal dan ruang hidup sudah lama terkubur? Karena biasanya, dalam buku besar pembangunan, mereka hanyalah catatan pinggir, bukan isi utama.
Namun, ada satu kenyataan pahit yang tidak bisa disulap dengan kata manis, bahwa hujan tidak peduli pada pagar permanen atau papan nama Pemkot.Â
Air selalu mencari celah, dan sering kali ia meluap di tempat-tempat yang tidak masuk dalam slide presentasi teknokratis. Bozem bisa jadi solusi. Tapi ia juga bisa jadi sekadar monumen; indah dari udara, tapi tidak cukup tangguh menahan derasnya air.
Akhirnya, Surabaya bisa menepuk dada. Kota ini tampak tertib, rapi, dan siap dipamerkan. Wajahnya mulus, pori-porinya tertutup sempurna, seakan siap difoto dari segala sudut.
 Lalu bagaimana dengan bangunan liar yang hilang? Mereka dikenang bukan sebagai kisah manusia, melainkan sebagai noda masa lalu yang berhasil dihapus.
Surabaya kini punya wajah baru. Cantik, bersih, modern. Tepat seperti yang dibutuhkan kota yang sedang mengejar predikat: paling wah. Dan seperti setiap dandanan tebal, pertanyaan selalu sama; cantik untuk siapa, dan tahan berapa lama?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI