Mohon tunggu...
Jelajahnesia
Jelajahnesia Mohon Tunggu... Writer enthusiast

Menulis karena suka, bukan karena harus. Main kata di waktu luang, nulis biar nggak hilang arah.

Selanjutnya

Tutup

Surabaya

Bozem Baru, Luka Lama: Bedak Kota di Atas Bekas Bangli

26 Agustus 2025   22:58 Diperbarui: 27 Agustus 2025   23:46 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Penggusuran bangunan Liar di Ketintang Permai (Sumber: https://www.antaranews.com/)

Surabaya sedang sibuk berhias. Kota ini seolah tengah bersiap mengikuti kontes kecantikan perkotaan tingkat dunia, semacam Miss Universe versi tata kota. Bedanya, alih-alih gaun malam dan tata rambut elegan, yang dipoles adalah kawasan semrawut, lalu diberi bedak bernama penataan. Kali ini, panggungnya ada di Jalan Ketintang Permai, Jambangan.

Di sana terdapat 22 bangunan liar, atau dengan istilah birokrasi yang terdengar lebih diplomatis disebut bangli. Lahan kosong yang dulu penuh kehidupan ala kadarnya kini disulap menjadi bozem, waduk mini yang dipromosikan sebagai "jurus baru" Surabaya dalam mengendalikan banjir. 

Sederhananya, yang dulu dianggap kumuh kini dipamerkan sebagai prestasi.

Dari kacamata tata kota, ini jelas pencapaian. Lahan semrawut kini berubah jadi aset rapi dengan pagar besi tegak lurus, papan nama Pemkot berkilau, dan janji-janji fungsionalitas yang terdengar modern. 

Dari kacamata warga yang dulu mencari sesuap nasi di situ? Mereka sudah hilang dari panggung cerita. Tidak perlu masuk narasi besar. Karena ini bukan kisah mereka, melainkan kisah Surabaya yang ingin tampil "wah" di depan turis.

Kepala Dinas Sumber Daya Air dan Bina Marga, Syamsul Hariadi, mempresentasikan proyek ini dengan bahasa yang terdengar futuristik: integrasi sistem, pengendali debit air, mitigasi banjir, optimalisasi drainase. Bozem yang sejatinya hanya galian tanah dan air kini dipoles seperti produk teknologi mutakhir. Kalau boleh hiperbola: sebentar lagi mungkin dijual sebagai smart bozem 5.0.

Tapi mari kita buka lapisan bedaknya. Bozem ini sejatinya bukan hanya soal air. Ia adalah kosmetik politik. Bedak tebal yang dioleskan di wajah kota agar tampil segar di kamera drone dan brosur pariwisata. Karena setiap kali kota merapikan wajahnya, selalu ada satu tujuan; dilirik, dipuji, diunggah di Instagram turis, dan kalau beruntung masuk majalah internasional sebagai kota dengan tata kelola terbaik.

Camat Jambangan, Ahmad Yardo, ikut memberi bumbu. Ia bilang lahan ini nanti juga untuk fasilitas umum. Frasa yang terdengar mulia, tapi sering kali lentur seperti karet. Fasilitas umum bisa berarti taman selfie dengan spot foto berwarna-warni, lapangan seremonial yang ramai hanya saat pejabat datang, atau ruang terbuka yang ironisnya lebih sering dipagari ketimbang dipakai warga. .

Narasi besar yang dijual pemerintah jelas, kiranya seperti, "ini bukan penggusuran, melainkan transformasi" ucapnya. Dari kawasan kumuh jadi senjata baru untuk  melawan banjir. 

Retorika yang apik, karena mampu menyulap kata kasar seperti "pengusiran" menjadi lebih elegan "penataan". Bangunan liar? Bukan tempat orang bernaung, melainkan noda yang akhirnya berhasil dibersihkan.

Tentu saja, warga sekitar yang masih tersisa ikut memberi komentar. Ada yang senang dan berharap banjir dapat berkurang. Tetapi, bagaimana dengan suara mereka yang kehilangan tempat tinggal dan ruang hidup sudah lama terkubur? Karena biasanya, dalam buku besar pembangunan, mereka hanyalah catatan pinggir, bukan isi utama.

Namun, ada satu kenyataan pahit yang tidak bisa disulap dengan kata manis, bahwa hujan tidak peduli pada pagar permanen atau papan nama Pemkot. 

Air selalu mencari celah, dan sering kali ia meluap di tempat-tempat yang tidak masuk dalam slide presentasi teknokratis. Bozem bisa jadi solusi. Tapi ia juga bisa jadi sekadar monumen; indah dari udara, tapi tidak cukup tangguh menahan derasnya air.

Akhirnya, Surabaya bisa menepuk dada. Kota ini tampak tertib, rapi, dan siap dipamerkan. Wajahnya mulus, pori-porinya tertutup sempurna, seakan siap difoto dari segala sudut.

 Lalu bagaimana dengan bangunan liar yang hilang? Mereka dikenang bukan sebagai kisah manusia, melainkan sebagai noda masa lalu yang berhasil dihapus.

Surabaya kini punya wajah baru. Cantik, bersih, modern. Tepat seperti yang dibutuhkan kota yang sedang mengejar predikat: paling wah. Dan seperti setiap dandanan tebal, pertanyaan selalu sama; cantik untuk siapa, dan tahan berapa lama?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Surabaya Selengkapnya
Lihat Surabaya Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun