Mohon tunggu...
Jemi Kudiai
Jemi Kudiai Mohon Tunggu... Pemerhati Governace, Ekopol, Sosbud

Menulis berbagi cerita tentang sosial, politik, ekonomi, budaya dan pemerintahan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Durkheim: Generasi Muda Papua di Tengah Badai Hoaks

21 September 2025   03:57 Diperbarui: 21 September 2025   01:22 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Generasi muda Papua tidak boleh dibiarkan hanyut dalam badai hoaks. (Sumber: smk22jakarta.sch.id)

Pandangan kekinian dalam mengamati situasi terkini dalam perkembangan teknologi bahkan pengelolaan media sosial yang merajah lela, dikalan sosial masyarakat lebih khusus di Papua. Dalam pandangan ini dapat saya amati bahwa genersi semakin bergeser secara mentalitas perindivu namun bergeser dari nilai mora.

Didasari pada etika berkomunikasi, tidak hanya pada konten atau palfrom digital tertentu, namum condong lebih individualistrik dan tidak produktif. Pada dasarnya pengelolaan media sosial sebenarnya pada nilai positif, kemampuan manajerial waktu serta adaptasi dengan pengelolaan. Ini justru dampaknya jahu dari kehidupan yang semestinya.

Secara umum media sosial hari ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan generasi muda Papua saat ini. Dari bangun tidur hingga menjelang malam, hampir setiap detik bersentuhan dengan layar ponsel. TikTok, Facebook, Instagram, dan WhatsApp menjadi ruang utama untuk berinteraksi, mencari hiburan, bahkan mencari pengakuan sosial. Namun, di balik segala manfaatnya, media sosial juga membawa dampak serius: maraknya hoaks, hilangnya solidaritas sosial, dan lahirnya pola hidup egoistis yang berpotensi merusak diri.

Fenomena ini sesungguhnya dapat dibaca melalui pemikiran Émile Durkheim, seorang sosiolog klasik yang menulis buku Le Suicide (1897). Durkheim mengklasifikasikan bunuh diri ke dalam empat tipe: egoistic, altruistic, anomic, dan fatalistic. Dari keempatnya, konsep egoistic suicide sangat relevan untuk menjelaskan tantangan generasi muda Papua di era digital saat ini.

Egoistic Suicide: Bunuh Diri Sosial di Era Medsos

Egoistic suicide terjadi ketika ikatan sosial seorang individu melemah. Ia merasa terasing, kehilangan makna hidup, dan tidak lagi terhubung dengan komunitas. Bunuh diri egoistis tidak hanya bisa dimaknai secara fisik, tetapi juga secara sosial. Seseorang bisa saja tidak benar-benar mengakhiri hidupnya, namun secara perlahan “membunuh masa depan” dengan perilaku destruktif: putus sekolah, kecanduan alkohol, narkoba, terjebak dalam kekerasan, atau larut dalam dunia maya yang penuh ilusi.

Di Papua, fenomena ini tampak jelas dalam cara sebagian anak muda menggunakan media sosial. TikTok Live misalnya, sering dipakai untuk berteriak tanpa arah, mengganggu kenyamanan warga sekitar. Facebook dipenuhi postingan foto demi like, balas komentar, atau berburu bintang untuk sensasi sesaat. Alih-alih menjadi ruang produktif, media sosial justru menjadi jerat yang mengurung generasi muda dalam siklus egoisme digital.

Hoaks: Racun yang Memecah Solidaritas

Lebih dari itu, hoaks menjadi ancaman nyata. Di Papua, isu-isu sensitif seperti politik, konflik, kesehatan, hingga isu identitas sering dipelintir di ruang digital. Hoaks tidak hanya menyesatkan, tetapi juga merusak kepercayaan sosial. Masyarakat jadi mudah curiga satu sama lain, bahkan antar saudara bisa saling bermusuhan.

Durkheim menekankan bahwa ketika solidaritas melemah, individu rentan kehilangan pegangan hidup. Hoaks memperparah kondisi ini: ia memutus ikatan sosial, membuat generasi muda semakin tidak percaya pada institusi, adat, atau agama. Akibatnya, mereka larut dalam isolasi digital kesepian di tengah keramaian dunia maya.

Budaya Papua: Benteng yang Mulai Terkikis

Padahal, Papua memiliki modal sosial yang sangat kuat. Nilai-nilai adat tentang gotong royong, solidaritas keluarga besar, dan ikatan kampung merupakan benteng alami terhadap individualisme. Dalam budaya Papua, identitas tidak pernah terpisah dari komunitas.

Namun, globalisasi dan digitalisasi mulai mengikis nilai itu. Generasi muda lebih sering berinteraksi dengan “teman maya” ketimbang hadir dalam acara adat atau kegiatan sosial di kampung. Mereka lebih mengenal algoritma TikTok daripada cerita rakyat yang diwariskan leluhur. Inilah gejala nyata “bunuh diri sosial” dalam versi Durkheim.

Jalan Solusi: Dari Konsumsi ke Produksi

Lalu, apa yang bisa dilakukan? Solusi bukan dengan melarang anak muda Papua bermedia sosial, melainkan mengubah cara mereka memanfaatkannya. Ada beberapa langkah solutif yang bisa ditempuh:

  • Ubah konten hiburan jadi produktif. TikTok Live bisa dipakai untuk menampilkan musik Papua, tarian, atau obrolan budaya. Dengan begitu, siaran langsung tidak lagi sekadar teriakan, tetapi bisa mendatangkan gift dan apresiasi nyata.
  • Facebook sebagai etalase ekonomi. Generasi muda bisa menjual noken, ukiran, atau kuliner khas Papua lewat Facebook, bukan sekadar posting foto untuk mencari like. Facebook juga bisa dijadikan marketplace kreatif yang menguntungkan.
  • Bangun personal branding positif. Anak muda bisa tampil sebagai kreator konten yang mengangkat identitas Papua: musik hip hop lokal, sepak bola, kisah adat, atau keindahan alam. Identitas digital yang kuat bisa membuka peluang kerja sama dengan brand maupun lembaga.
  • Komunitas kreatif online. Lebih baik saling mendukung ketimbang saling menjatuhkan. Komunitas kreator Papua bisa menjadi wadah solidaritas baru, sehingga medsos tidak lagi memecah, tetapi menyatukan.
  • Literasi digital sebagai investasi. Pemerintah daerah, gereja, dan lembaga adat perlu mengadakan pelatihan tentang literasi digital: cara membuat konten kreatif, teknik monetisasi, serta etika bermedia. Dengan begitu, generasi muda lebih siap menjadi produsen konten, bukan korban hoaks.

Profit dan Solidaritas Bisa Sejalan

Kuncinya adalah mengubah paradigma. Media sosial tidak harus menjadi musuh, melainkan alat pemberdayaan. Profit bisa berjalan seiring dengan solidaritas. Anak muda Papua tetap bisa mencari penghasilan dari TikTok, Facebook, atau YouTube, tetapi dengan cara yang sehat dan bermanfaat. Mereka tidak hanya menjadi konsumen hiburan, melainkan produsen konten yang memberi manfaat bagi diri, komunitas, dan masyarakat luas.

Durkheim mengingatkan bahwa bunuh diri adalah cermin kesehatan sosial. Jika generasi muda Papua terjebak dalam egoisme digital, kesepian maya, dan hoaks, maka itu pertanda ikatan sosial kita sedang rapuh. Namun, jika nilai solidaritas adat dihidupkan kembali dalam ruang digital, media sosial bisa menjadi jembatan menuju masa depan.

Generasi muda Papua tidak boleh dibiarkan hanyut dalam badai hoaks. Mereka harus bangkit sebagai agen perubahan yang cerdas, produktif, dan berdaya saing. Saatnya media sosial tidak lagi menjadi ruang bunuh diri sosial, melainkan ruang pemberdayaan yang membawa profit sekaligus memperkuat solidaritas Papua.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun